“Bapak! Minta duit, pak!” teriak Sekar. Tak lupa dia menggendor-gedor pintu kamar sang Bapak. “Bapak!” Sekar berteriak lebih keras. Ia menggedor pintu bilik itu lebih kuat. Lama gadis bergaun merah muda potongan pendek itu berkutat. Belum ada jawaban dari dalam bilik. Gadis molek berpoles make up ala tante-tante itu melongok ke arah jam dinding yang tergantung di dinding tepas rumahnya.
“Astaga!” Dia tercengang. Kembali ia menggedor pintu bilik.
“Bap—” Seorang pria tua bersarung dan berpeci membukakan pintu sebelum Sekar kembali berteriak. Wajah keriput penuh letih itu menyuguhkan senyum setelah tahu kalau anak semata wayangnya yang berada di balik pintu.
“Minta duit pak!” Sekar menadahkan satu tangan, meminta.
Pria tua itu menunjukkan telapak tangannya, mungkin maksudnya, “Tunggu sebentar!”. Dia masuk ke dalam bilik. Lalu keluar membawa sejumlah rupiah. Kini ia berkalung buku tulis ukuran kecil, serta membawa pensil jadul yang sudah sangat pendek.
Dia menulis sesuatu sebelum menyerahkan uang itu kepada Sekar. “UANG BAPAK CUMA SEDIKIT!” Begitu tulisnya. Lantas Sekar merebut uang yang Bapak genggam.
“Ya ampun, Bapak! Bapak kerjanya bener nggak sih?! Kok, cuma dapet segini?! Aduh, Pak! Segini mana cukup! Bapak ngerti nggak sih, aku tuh mau kumpul bareng orang-orang kaya. Malu dong, Pak kalau aku nggak bawa uang banyak! Emang bapak mau anaknya dihina cuma gara-gara miskin, nggak punya uang!” Sekar membentak Bapaknya habis-habisan. Ia bercacak pinggang, kesal.
Bapak tertunduk sedih. Jarinya sibuk mencorat-coret buku yang dikalungkan di lehernya. “BAPAK AKAN AMBIL UANG TABUNGAN, BAPAK. BIAR KAMU NGGAK DIHINA DAN MERASA MALU”. Tulisan yang tak terlalu rancak terlukis di atas kertas bercak air mata itu. Ah, Sekar mana tahu kalau Bapaknya diam-diam menangis! Bahkan malah membentak, “Cepetan!”
Bapak masuk ke bilik. Menyisir setiap sudut lemari di mana ia biasa menyimpan uang hasil jerih payahnya. Dua lembar rupiah berwarna biru dan selembarnya lagi berwarna hijau, hanya itu yang ia temukan setelah membongkar lemari.
Bapak keluar dengan senyum memperlihatkan gigi ompongnya. “INI!”
“Ya ampun, Bapak! Masih kurang!” Sekar berteriak lantang. Mata merahnya melotot tajam. Memperhatikan bapak yang asyik tertunduk. Bukan takut, lelaki itu hanya menyesal, merasa tidak bisa membahagiakan putri semata wayangnya.
Sekar mengacak rambutnya, frustrasi. Menghela napas jengkel ketika memperhatikan jam dinding, “Ya udah deh, daripada nggak ada.” Nada bicaranya lebih menenangkan. Walau datar dan berintonasi kesal. Kali ini Bapak memberanikan diri melihat wajah molek anaknya. Ia tersenyum lagi. Tak ada habisnya memang. Mungkin senyuman adalah harta satu-satunya yang bisa ia berikan tanpa ada habisnya.
“Tapi besok kerjanya yang bener! Cari duit yang banyak! Dan ingat, sebelum dapat duit banyak, bapak nggak boleh pulang! Ngerti?!” Sekar berkata.
Bapak mengangguk. Ia menawarkan jabat kelingking pada putrinya. Mungkin berarti, “BAPAK JANJI, NAK!” Tapi Sekar tak selera berjabat kelingking dengan pak tua. Ia berlalu dengan terburu-buru meninggalkan gubuk sumpek itu.
🌿
Bapak masih tersenyum memperhatikan punggung anak gadisnya, hingga hilang dimakan tikungan jalan. Ia masih berdiri di depan pintu. Ingin rasanya menjadi sosok orang tua yang pantas. Sosok yang bisa membahagiakan putrinya. Dan yang terpenting adalah kesempurnaan. Jika bisa memilih takdir, tak seorang pun ingin bernasib buruk. Bukankah begitu?
🌿
Sugiono namanya, salah seorang tukang ojek pengkolan di kota Malioboro. Penghasilannya tidak seberapa. Laris di hari libur dan saat bulan Ramadhan. Banyak turis maupun wisatawan lokal yang akan berburu becak di Malioboro ketika weekend dan ngabuburit, bulan Ramadhan.
Sekarang paceklik, virus corona menghambat perkonomian. Membuat turis atau wisatawan lokal tak lagi menampakkan batang hidungnya. Penghasilan menurun drastis.
Tapi beliau adalah seorang yang gigih. Ia terus berusaha memenuhi keinginan Sekar, putri semata wayangnya. Sebenarnya Sekar adalah bayi temuan. Ia menemukan bayi itu tujuh belas tahun lalu di teras sebuah toko. Hati selembut sutra yang Pak Sugino miliki, ia tidak membiarkan bayi itu kedinginan di tengah gelapnya malam. Membiarkan orang lain menemukannya esok hari. Maka dibawa pulanglah bayi itu dan diadopsinya.
Pak Sugiono selama ini tinggal sendiri, tanpa pasangan hidup. Terlahir dari bisu membuat siapa pun tak ingin mendampingi pria yang rajin bekerja ini. Sekar dirawatnya sampai sedewasa ini. Tumbuh menjadi gadis berparas elok. Namun ya begitulah, banyak manusia memandang sebelah mata. Begitu pun Sekar, anak angkatnya sangat minder jika harus mengakui bahwa pria tua bisu dan kusam itu adalah bapaknya.
Kau harus tahu akhir cerita ini ....
🌿
Pagi hari yang mendung. Sekar terburu-buru berangkat sekolah. Semalam dia berpesta sampai larut malam. Dia hanya tidur beberapa jam.
“MAU BAPAK ANTAR?” Sekar mengernyitkan kening ketika membaca tulisan itu.
“Bapak mau malu-maluin aku?! Bapak ini kan bisu! Nanti kalau temen-temen aku pada tahu, gimana? Udah deh, Pak nggak usah repot-repot. Aku juga nggak pernah ngarepin bapak nganter aku ke sekolah. Apalagi naik becak butut itu!”
Deg! Kata-kata itu? Benarkah keluar dari mulut putri tersayangnya? Benarkah? Batin terasa teriris. Meraung, menangis sangat dalam.
Sekar meninggalkan gubuk kumalnya. Dan seperti biasa Bapak memperhatikan dari daun pintu, sampai bayangan putrinya lenyap dimakan tikungan jalan. Ia menghembuskan napas panjang, mendongak. Menahan tangis.
Sebelum pergi kerja dan benar-benar meninggalkan rumah. Bapak menyisir seluruh pandangan, manik mata Bapak tertuju pada sebuah kotak berwarna hijau terikat pita. Benda berbentuk kubus kecil itu tergeletak di meja.
“Mungkin ini milik Sekar,” pikir Bapak. Maka cepat-cepat ia menyusul Sekar ke sekolahnya untuk memberikan kotak yang tertinggal. Ia mengayuh becaknya dengan cepat. Berharap sampai di sekolah sebelum Sekar menyadari ketertinggalan kotak itu.
🌿
Sekar tampak kebingungan, mengacak-ngacak tasnya. Mencari sesuatu.
“Nyariin apa sih, Kar?” tanya Maya.
“Ini lhoo, kado buat Irwan kayaknya ketinggalan deh! Gimana dong?” tanya Sekar bingung.
“Aduh, Sekar .... Ceroboh banget sih!” Rena melipat tangannya.
“Ih, kok jadi nyalahin gue!”
“Habisnya lu itu dari dulu nggak berubah. Setiap ke sekolah, ada aja barang yang ketinggalan!” ujar Rena.
“Udah-udah nggak usah ribut!” Maya melerai. “Lagian ya, Kar. Lu ‘kan bisa kasih kadonya di luar jam sekolah. Kapan kek, sore nanti atau malam. Bisa ‘kan? Lu ajak dia ketemuan, beres!” ucap Maya enteng.
“Nah!” Rena mencibir.
“Apaan sih Ren, nyebelin banget!” semprot Sekar.
“Woy, Sekar! Ada yang nyariin tuh!” Salah seorang siswa berteriak ke dalam kelas.
“Siapa?” tanya Sekar.
“Ono noh, orang gagu. Hahaha ....” Siswa itu mempraktekkan gaya orang bisu.
Maya dan Rena saling pandang. Siapa?
Deg! Sekar sudah menebak siapa orangnya. Ia bergegas keluar kelas. Mengabaikan kedua temannya yang masih berbisik-bisik.
Benar saja, di koridor kelas pria tua itu! Sekar meremas jari. Bapak jadi ledekan banyak teman-temannya. Pipi Sekar merona menahan malu. Sontak ia menyeret pria tua itu, menjauh dari kerumunan.
“Bapak ngapain ke sini?!”
“BAPAK MAU KASIH INI KE KAMU. INI PUNYA KAMU ‘KAN? TADI BAPAK TEMUKAN DI MEJA, KETINGGALAN.” Sekar membaca tulisan itu.
“Bapak nggak usah sok baik, sok peehatian ke aku!” Malah kalimat kasar yang bapak dengar dari Sekar. “Bapak tuh malu-maluin!”
Kau tahu apa yang Bapak rasakan? Hancur! Ini kali pertama pria tangguh itu menunjukkan tangisnya kepada Sekar.
“BAPAK SAYANG SAMA SEKAR.” Begitu tulisnya.
“Aku nggak butuh kasih sayang dari bapak! Bapak tuh malu-maluin! Sekarang mereka semua udah tahu kalau aku punya Bapak gagu! Aku benci bapak! Sekarang bapak pergi dari sini!” usir Sekar.
Bapak tersedu. Tapi ia benar-benar tidak ingin beranjak. Ingin sekali dia memeluk Sekar, membuktikan bahwa kasih sayangnya sangatlah besar.
Sebelum Sekar mengusir Bapak sekali lagi, seorang pria tampan lewat di hadapan Sekar. “Sekar?”
“Eh, Irwan.” Sekar menggandeng pacarnya itu pergi menjauh dari Bapak.
“Itu siapa?” tanya Irwan. Wajahnya jelas menampakkan ketidaksenangan.
“Bapaknya!” celetuk seorang siswa yang sedari tadi menonton pertunjukan Sekar dan Bapak. Dan celetukannya itu membuat orang-orang di sekitar Sekar tertawa keras dan mengejek.
“Jadi itu bapak kamu?” tanya Irwan.
“Aku bisa jelasin, Wan. Kalau dia itu—”
Belum selesai Sekar menjelaskan Irwan memotong “Gue nggak suka pacaran sama anak dari orang gagu! Malu-maluin tahu nggak. Kita putus!”
“Tapi aku bisa jelasin, Wan!” Sekar mencoba menggapai tangan Irwan. Walaupun dihempaskan jua.
Ini semua gara-gara bapak!
🌿
Terik matahari serasa membakar kulit. Sekar menyeka peluh, kesal dan benci ketika melihat mantan kekasihnya memboncengi perempuan dengan mobilnya.
“Dasar playboy!” batin Sekar.
Di bawah pohon waru, depan gerbang sekolah, Bapak melambaikan tangan ke arah Sekar. Sekar menatap jengkel lelaki tua itu.
“Eh, ada yang mau pulang naik becak, nih!”
“Cantik-cantik naik becak!”
Cemoohan menghunjam Sekar. Sekar semakin malu. Ia berjalan cepat meninggalkan sekolah. Menghindari ejekan tak sedap itu. Sementara Bapak, beliau mengejar putrinya, naik becak. Membujuk Sekar agar mau ikut dengannya.
“Bapak apa-apaan, sih?! Aku malu, pak! Malu! Udah berapa kali aku bilang, nggak sudi naik becak Bapak. Bapak sadar nggak sih, sama kekurangan Bapak? Bapak tuh, selalu buat aku malu!” Meleleh air mata Sekar ketika menyampaikan unek-uneknya. Tapi siapa yang lebih sakit dalam hal ini? Bapak!
Sekar melanjutkan langkahnya. Di tengah perjalanan tiba-tiba saja dia pingsan. Bapak yang sedari tadi membuntutinya segera turun dari becak. Mengguncang-guncang tubuh Sekar. Menepuk pelan pipi gadis itu. Namun tak kunjungan siuman. Dengan sisa tenaga rentanya ia menggendong Sekar. Membawa Sekar ke rumah sakit naik becak. Tak peduli cemoohan dan bisik-bisik tak sedap dari beberapa siswa yang melihat kejadian ini. Bapak mengayuh cepat sepedanya.
🌿
Anakku sayang, Sekar.
Maafkan bapak yang tak pernah bisa membahagiakanmu. Maafkan bapak karena tidak bisa memberi banyak dan apa yang kau mau. Maafkan bapak dan segala kekurangan bapak yang membuatmu malu. Maafkan bapak, nak ....
Tersenyumlah, nak. Tersenyumlah! Bapak ingin melihat senyummu. Walau dalam bayangan, gelap dan tak tampak. Bapak sangat menyayangimu.
Apalah arti sebuah ginjal daripada kasih sayang bapak kepadamu. Kau berulang tahun ‘kan hari ini? Maafkan bapak yang tidak bisa memberi banyak. Andai kau akui ginjal itu, nak. Jadikanlah sebagai kado terjelek di ulang tahunmu ini. Besok atau kapan, bapak akan pulang membawa banyak uang. Untuk kau bisa beli rumah mewah, mobil, dan apa pun yang kau mau. Biar cemoohan itu tidak lagi terdengar. Dan kau tenang saja, bapak akan pergi agar kau bahagia dan setelah engkau bahagia.
Sekar menangis sejadi-jadinya kala membaca surat bercak air mata itu. Ia benar-benar tidak yakin dengan ini semua. Bapak pergi! Dan Sekar? Apakah dia akan terus begini setelah apa yang sudah Bapak beri. Oh, Sekar.
Sekar menyeret kakinya dengan cepat. Menyisir pangkalan becak di mana biasanya Bapak mangkal. Ia berharap, Bapak berada di sana. Dan jika ada, untuk yang pertama kalinya Sekar ingin mengakui semuanya. Mengakui kesalahannya, mengakui betapa besar pengorbanan dan kasih sayang Bapak. Hingga beliau rela mendonorkan ginjalnya untuk Sekar. Karena ia terkena gagal ginjal.
“Pak,” sapa Sekar ragu-ragu.
“Iya, nduk. Mau naik becak?” tawar pria paruh baya yang Sekar sapa.
Sekar menggeleng. “Saya mau tanya. Bapak lihat Pak Sugiono tidak? Yang biasanya mangkal di sini.”
“Oh, bapak nggak lihat, nduk. Biasanya dia emang mangkal di sini. Tapi sejak pagi tadi, pak Sugiono tidak kelihatan. Mungkin dia mangkal di tempat lain yang lebih ramai penumpang,” jelas bapak itu.
“Oh, makasih informasinya ya, pak. Saya permisi ....”
Sekar memutar langkah, pergi. Ia bingung, dia tidak tahu harus mencari Bapak ke mana lagi. Sampai senja menjemput ia belum menemukan Bapak. Sekar menangis. Menyeret langkah penuh keputusasaan.
Langit meredup. Remang-remang cahaya lampu jalan menerangi langkahnya pulang. Beberapa meter dari tempat ia berpijak. Gadis itu memicingkan mata, ada keramainya di sana.
“Ada apa?” batin Sekar.
Entah apa yang membuat hatinya tergerak dan melangkah ke arah kerumunan itu. Menyelip masuk dalam kerumunan. Deg! Ya Tuhan!
“Bapak!” Sekar berteriak sejadi-jadinya. Matanya membelalak tak percaya. Air mata mengucur deras tanpa aba-aba. Ia tersungkur bersama darah yang mengucur dari kepala seorang pria tua. Bapak jadi korban kecelakaan. Becaknya hancur dan ia terpental di tepi jalan, kepalanya membentur aspal.
Mata sayup pria itu terpejam. Bibirnya memancarkan senyuman. Dia benar-benar pergi. Seperti janji yang ia tuliskan pada kertas itu. Tapi bukan rumah mewah, mobil, dan uang yang ia hadiahkan. Melainkan sebuah kepergian yang membuat Sekar tidak merasa malu selamanya. Satu hal yang selalu Sekar inginkan. Pergi!
“Bapak, bangun, pak! Maafin Sekar! Bapak jangan pergi! Sekar janji nggak akan nakal lagi. Sekar janji nggak akan minta yang aneh-aneh. Bapak, bangun, pak!”
Orang-orang di sekitar Sekar berbisik-bisik. Entah apa yang mereka katakan. Sebagian merasa pilu. Ada juga yang menyeringai. Penyesalan datang di akhir!
“Pak, bangun, pak! Sekar ingin naik becak bersama bapak!” Sekar memeluk tubuh kaku itu.