2

44 5 2
                                    

Aku meraup oksigen sebanyak mungkin selepas berlari tadi. Tatapanku mengarah pada laki-laki itu beberapa saat sebelum auman singa terdengar menggelegar ke seluruh penjuru hutan. Aku semakin takut dan tanpa sadar mengeratkan peganganku pada laki-laki itu.

"Kau tidak ingin memohon pertolongan padaku, eh?"

Orang ini benar-benar membuatku putus asa. Perlahan aku melepaskan peganganku darinya lalu membuang wajah ke samping.

"Hanya untuk kali ini saja, percayalah!"

Aku melirik reaksinya dari ekor mataku. Dia menarik sudut bibir kirinya ke atas tanpa memandangku kemudian melangkah ke depan.

"Kau tahu, Nona? Tidak sopan meminta pertolongan dengan memalingkan wajahmu itu."

Jemariku meremas kuat gaun yang kupakai. Kalau ibu tahu aku melakukan ini, aku pasti akan diberi wejangan tanpa henti. Selanjutnya ibu akan menjelaskan etiket keluarga bangsawan yang memuakkan itu. Harus melakukan ini tidak boleh melakukan itu sudah terekam jelas di memori ibu. Tapi, hei! Kenapa aku harus melakukan hal semacam itu tanpa kenal tempat dan waktu? Beruntunglah aku kali ini melakukannya tanpa sadar dan juga tidak ada ibu di sini. Jadi, tidak masalah bukan?

"Berlindunglah di balik pohon beringin tadi dan jangan bertindak bodoh!"

Aku tersentak setelahnya. Belum sempat aku menjawab perkataannya, aku kembali dikejutkan dengan kedatangan singa di depan sana, tak jauh dari kami berdiri. Singa itu terlihat berbeda dari terakhir kali kulihat, karena kali ini aku melihatnya dari jarak yang dekat. Kalau boleh aku berkomentar, singa itu terlihat gagah dan besar. Rambut di bagian kepalanya panjang dan lebat, menambah kesan ganas dan elegan dalam pandanganku.

"Kubilang bersembunyi!" Teriak laki-laki di depanku.

Segera saja aku tersadar dan langsung berlari menuju ke balik pohon beringin yang berada tak jauh dari sini. Aku bersembunyi di balik pohon beringin itu sambil berjongkok. Deru napasku cepat, sehingga aku bisa mendengar suara napasku sendiri. Aku menyenderkan tubuhku di batang pohon. Perlahan dengan pasti, deru napasku berangsur-angsur kembali normal.

Aku tidak menyadari sudah berapa lama aku menenangkan diri. Tapi sekarang bahkan aku tidak mendengar suara gaduh apapun. Entah dari auman singa itu sendiri, atau teriakan kesakitan dari laki-laki itu jika dia terluka. Aku sama sekali tak mendengar apapun. Keadaan ini membuatku kesal setengah mati.

Aku menegakkan tubuhku lalu berdiri. Beberapa kemungkinan hinggap di pikiranku sekarang. Kemungkinan pertama adalah yang terburuk, bahwa laki-laki itu telah mati terbunuh oleh singa. Yang ke dua, bisa saja laki-laki itu belum terbunuh tapi kehabisan tenaga untuk melawan. Berteriak minta tolong saja kesusahan, bagaimana dia mau melawan? Kemungkinan terakhir, laki-laki itu telah mengalahkan singa tapi berlagak biasa saja, tidak heboh sudah bisa mengalahkan si raja hutan itu. Ya, kuharap kemungkinan terakhir lah yang benar. Tapi, kenapa lama sekali? Aku merasakan rasa keingintahuan meningkat tajam yang membuatku tak sengaja menggigit ujung lidahku sendiri.

Aku menghirup napas dengan panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Sudah kuputuskan bahwa aku akan mengintip sedikit apa yang terjadi. Semoga saja tidak terjadi hal buruk pada laki-laki itu.

Aku melongokkan kepala sedikit di samping batang pohon. Hanya mata sebelah kananku yang melihat, sedangkan mata kiriku masih tertutupi batang pohon. Tapi itu tidak menutupi fakta mencengangkan yang barusan kulihat. Aku dengan cepat kembali bersembunyi di balik batang pohon sambil menutup mulutku rapat.

"Oh, apa ini nyata?" Ucapku sambil mengetukkan dahi berkali-kali ke batang pohon.

"Seseorang tolong katakan ini tidak nyata! Aku masih tidur dan ini hanya mimipiku! Ya, ini mimpi tidur siangku. Pasti!" Gerutuanku terdengar bodoh, bahkan oleh diriku sendiri.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 10, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Just MoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang