kilas balik dan konversasi di bibir pantai

479 44 7
                                    


Matanya menerawang jauh di antara gemuruh ombak, ia biarkan surai sewarna arang menari dengan sepoian angin yang berhembus lembut. Selepasnya ia merebahkan dirinya di pasir, ia menghela napas panjang, semerbak air laut menyapa indra penciumannya. Ia tersenyum tipis, serasa seperti rumah. Damai.

"Aku sudah mengira kamu ada disini, Laut." ujar gadis itu sembari mendudukkan dirinya disamping laki-laki itu, Laut.

Laut menatap gadis itu, Jani lalu setelahnya ia menutup matanya, seraya bergumam pelan, Laut bertanya, "Kenapa?"

Jani tersenyum pelan, "Seharusnya aku yang bertanya demikian, kamu kenapa disini? Sudah mau malam, nanti kamu masuk angin kalau lama-lama disini."

"Cuma lagi malas dirumah. Langit mengoceh terus tentang festival minggu depan."

Jani tertawa pelan, tawa yang menghadirkan senyum di wajah Laut, walau laki-laki itu mencoba untuk menyembunyikannya.

"Kalian itu ya, walau saudara kembar tapi perangainya jauh beda. Seperti dua kubu yang berlawanan, Langit yang terlalu ceria dan punya energi yang menggebuh-gebuh, sedangkan kamu dingin sekali dan jarang sekali berbicara,"

Aku mendengus pelan, "Aku hanya menghemat energi, lagipula kembar tidak harus memiliki perangai yang sama, bukan?"

Jani berujar pelan dengan pipi merona "Iya aku tahu. Langitnya indah ya?"

"Iya," sama seperti kamu Jani, lanjutnya dalam hati.

"Gimana kabarmu hari ini, Jani?"

"Aku baik-baik aja kok, Kiran tadi ngajakin aku ke toko roti yang baru di buka itu. Rotinya enak, kapan-kapan kita mampir disana ya? Ajakin Langit juga."

"Iya, nanti aku kasih tau Langit."

Lalu sunyi pun bertahta diantara mereka, hanya ada suara gemuruh ombak sepoi angin, dan matahari yang beranjak tenggelam.

Laut berdeham, merasa malu "Mau datang bareng ke festival minggu depan?"

Jani menoleh, lalu tersenyum lembut, "Boleh."

Laut pun bangun, ia menatap gadis di sampingnya yang kembali menatap cakrawala yang menjingga. Jani yang sekarang berada disampingnya selalu nampak sangat indah, matanya yang sekelam jelaga namun nampak berbinar-binar seolah-olah gemintang bersemayam didalamnya, surai coklatnya yang tampak bercahaya diterpa sinar matahari serta bagaimana gaun berwarna khaki nampak begitu cantik menyelimuti dirinya, ditambah gelang kerang— hadiah ulang tahun dari Laut— yang melingkari pergelangan tangannya. Rinjani itu mahakarya Tuhan yang keterlaluan indahnya.

Apapun tentang Jani selalu saja membuat Laut terpana dan jatuh cinta berkali-kali. Laut selalu suka apapun yang ada pada Jani, matanya, tawanya, perangainya, surainya, apapun itu. Setiap bersama Jani, ia selalu saja merasakan jantungnya berdegup kencang, dan perutnya merasakan sensasi aneh, seperti ada kupu-kupu yang berterbangan didalamnya. Aneh namun Laut menyukai sensasi tersebut.

Laut tersenyum, mengingat kembali masa dimana ia pertama kali bersua dengan Jani. Musim panas dua tahun lalu, tatkala Ibunya menyuruhnya untuk menghantarkan kue pada tetangga baru di depan rumahnya.

[]

Laut berguling malas ditempat tidurnya, sambil menggerutu pelan kepanasan. Kipas angin yang sudah berkecepatan maksimal itu masih tak dapat mengusir rasa panas yang ia rasakan. Ia pun mengambil ponselnya, melihat suhu yang menunjukkan angka 38°C.

"Ck! Yang benar saja! Bisa-bisa berubah jadi cumi bakar gua." Laut menggerutu kesal.

"Laut!" teriakkan mamanya menyapa gendang telinga laki-laki itu.

Laut menghela napas panjang, dengan langkah gontai ia menghampiri mamanya yang tengah berada di dapur.

"Kenapa Ma?"

Tari, mama Laut menggeleng pelan melihat kelakuan anak sulungnya yang terlihat seperti tidak memiliki semangat hidup.

"Ini tolong, antarkan bolu coklat ke tetangga baru depan rumah ya." Ujar Mama Tari sembari memberi bolu tersebut pada Laut.

Ah, tetangga baru ya?

Laut kemarin memang melihat truk penghantar barang mondar-mandir didepan rumahnya.

Laut mengerutkan keningnya, "Kenapa nggak suruh Langit aja sih? Biasanya kan mama nyuruh dia."

Mama Tari berdecak pelan, "Langit lagi keluar, udah jangan banyak alasan. Sekali-kali kamu keluar juga kenalan sama oranglain. Sudah sana cepetan!"

Laut mencibir pelan, lalu menghantarkan bolu tersebut dengan muka yang sama sekali tidak terlihat ikhlas. Ia pun mengetuk pelan pintu rumah tetangganya, ia berdeham pelan guna mengusir gugup yang tiba-tiba hinggap. Tak butuh waktu lama, pintu di depannya terbuka. Sejenak, Laut termenung melihat gadis dihadapannya, surai coklat panjangnya, mata hitamnya dan wajahnya yang rupawan. Manis. Indah.

Gadis tersebut berdeham pelan, menyadarkan Laut dari keterpanaannya. Laut pun mengaruk tengukknya canggung, lalu menyodorkan bolu tersebut, "eng, ini ada bolu dari Mama buat kalian. Sebagai  ucapan selamat datang katanya."

Gadis itu mengangguk pelan, menerima bolu itu dengan canggung, "Makasih banyak, btw kenalin nama aku Rinjani, panggil aja Jani. Kalau kamu?"

"Panggil aja Laut."

Gadis itu, Rinjani tersenyum, "Salam kenal Laut. Semoga kita jadi teman baik, ya?"

Setelahnya Laut kembali terpana, ia sadar akan dua hal. Bidadari dan cinta pada pandangan pertama.

[]

Dan selepas pertemuan pertama mereka hari itu, Laut dan Jani pun menjadi kawan baik.

Mereka kerap menghabiskan waktu bersama-sama. Mengajak Jani keliling desa sambil bersepeda. Berbincang-bincang di bibir pantai sembari menatap matahari tenggelam, ataupun bermain ombak.

Bersama Jani, Laut jauh lebih bahagia.

Bersama Jani, Laut menjadi lebih hidup.

Bersama Jani, Laut selalu berharap waktu jadi lambat agar ia bisa menghabiskan waktu lebih lama lagi dengannya. Mendengar suara lembut itu, tawa ataupun presensi Jani sendiri.

Bersama Jani, Laut merasakan euforia-euforia manis dan kehidupan yang jauh lebih berwarna.

Bersama Jani, Laut kerap kali merasakan jantungnya berdebar keras.

Bersama Jani, seolah-olah kupu-kupu berterbangan di dalam perutnya.

Bersama Jani, Laut jadi tahu yang namanya jatuh cinta.

Laut mencintai Rinjani. Terlampau mencintainya.

[]

wise man say
only fool rush in
but i can't help
falling in love
with you~

[]

lesapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang