PELITA KITA

663 122 26
                                    

NHFD 11

Pelita Kita

   Disclaimer Masashi Kishimoto

Romance Family
Sedikit mature content
anniserde


Kami bernapas pada masa kini tapi dipersatukan oleh metode kuno. Kata perjodohan mampu menggelitik indra pendengaran penduduk bumi. Maknanya bahkan lebih antik dari sepasang gigi palsu yang benderang ketika nenek terbahak riang.

Aku tak pernah menjumpainya sebelum sosok tegas itu menghuni kursi ruang tamu rumahku diapit kedua orangtuanya. Tatapan irisnya sejuk namun tajam. Tak ada gentar dalam nadanya. Dia mengutarakan niat penuh keyakinan. Pemuda pirang berkulit manis seolah optimis mendambaku, Hyuuga Hinata, si gadis pemalu yang enggan ceriwis. Entah apa yang membuat hasratnya menggebu untuk menyegerakan hari pernikahan. Uzumaki Naruto, Tuhan menggerakkan kalbu ini untuk membalasnya dengan anggukan.

Ibu bercerita singkat tentang pria tampan yang akan menggiringku ke pelaminan sebentar lagi. Syarat keelokan raga dan gelimang dunia bukan bagian rancangan masa depannya. Naruto tak pernah mengandaikan bagaimana diriku. Namun saat dia mengenal Hyuuga Hiashi, ayahku, terlebih awal, hatinya mantap meminangku. Ayah yang hanya seorang pengajar sekolah dasar, begitu bersahaja dan gemar berbagi kebaikan. Materi maupun pikiran. Beliaulah yang menyihir Naruto, mantan siswa bengalnya menjelma pemuda bertanggung jawab dan istimewa.

Detik merangkak menit. Menit menggapai hitungan jam. Jam melangkah menuju hari. Hari-hari terajut hingga membentangkan lembaran bulan. Puluhan purnama berlalu. Wujud penuhnya selalu membagi senyuman ketika menyaksikan kebahagiaan kami. Hingga satu dasawarsa tak terasa meskipun belum menimang buah cinta.

Kami merindukan putra. Namun asa yang tersemat dalam doa belum menyapa alam nyata. Naruto sehat jiwa raga. Organ reproduksinya selalu prima. Aku wanita subur dengan jadwal bulanan yang teratur. Beberapa kali memeriksakan diri selalu hasil terbaik yang menyapa indra penglihat kami.

Kami tak pernah putus ikhtiar. Harapan selalu terdepan bersama permohonan tulus pada Sang Maha Pencipta. Berserah diri pada Sang Maha Kuasa terasa menentramkan jiwa. Naruto selalu sama meskipun kondisi belum berpihak pada kami. Kelembutannya tak pernah berkurang. Tutur santunnya semakin penuh kasih sayang. Namun kalimatnya selalu lugas dan tegas di luar rumah. Entah pada rekan pria atau wanita.

Aku berulang kali terjatuh pada hatinya. Terkadang aku menyerupai remaja tanggung yang baru memulai mengenal pria. Berhias ceria. Melukis rona pada pipi cerahku. Ingin kusampaikan hasrat merah muda yang menggebu dalam hatiku. Namun lebih dari sepuluh tahun berlalu, aku tak mampu mengusir malu. Apalagi belum pernah kudengar lisan Naruto mengutarakan kalimat cinta seperti kehidupan drama layar kaca. Aku semakin memendam kata tapi tak ragu taburi sejuta perhatian padanya.

Kesabaran kami menyuburkan pohon asa kini berbuah bahagia. Tanda-tanda denyutan mulai terbaca dalam alam kandungan. Sujud kami sebagai pembuka kalimat syukur yang akan selalu terlantun. Kunikmati masa menggandung dengan riang bermandikan perhatian. Bahkan nutrisi selalu memenuhi lemari es dan meja sajian tanpa kupesan. Aura hangat Naruto mengganda hingga persalinan tiba. Hari jadi kesebelas tahun ikatan suci kami akan dianugerahi nikmat dari langit. Seorang penerus yang menjadi tumpuan harapan orang tua di akhirat kelak.

Naruto menggenggam jemari pucatku yang tengah melawan rasa perih terbukanya jalan lahir. Segala daya upaya kusalurkan untuk berjuang dari guncangan raga yang tak terkendali. Tangan kekar itu membelai rambut gelapku telaten ketika aku berusaha keras menahan desakan mengejan yang begitu besar. Bertambahnya menit, meroket pula tingkatan sakit seolah meremukkan sekujur tulangku.

Setelah beberapa lama menahan diri, akhirnya perintah bertarung menyentuh gendang telingaku. Bertarung dengan klimaks rasa sakit.

“Nyonya Uzumaki, tarik napas dalam-dalam!” perintah dokter Tsunade yang tengah siap pada posisi persalinan diikuti beberapa bidan dan perawat yang mengelilingiku.

Bisikan Naruto menghembuskan energi besar dalam perjuanganku. Kulahap udara sepuasnya lalu mengejan sepenuh tenaga. Kurasakan getaran pita suara Naruto merambati genggaman tangannya. Parasnya kepayahan mendengar rintihan kecilku. Namun rapal doa tak jua mereda.

Dr. Spesialis kandungan membakar semangatku dengan kabar baik. “Bagus, Nyonya! Kepala pirang si tampan mulai terlihat. Dua kali mengejan lagi pasti akan segera melihat dunia!”

Kukerjakan patuh petunjuk dokter Tsunade. Dengan sokongan kedua tangannya, putraku meluncur melalui perbatasan dua dunia dan menjerit kencang merasakan udara membelai kulit polosnya.

Dokter Tsunade mendesah lega. "Selamat, keluarga Uzumaki bertambah satu jagoan."

Seorang bidan sigap memberikan perawataan khusus untuk putraku yang baru lahir. Sementara dr Tsunade asyik menutup luka jalan lahir yang entah seberapa parah. Gerakan cekatan sepasang tangan ahli yang menyatukan kembali bagian robek tak mengirim rasa perih pada syarafku. Semua nyeri yang tak mampu tergambar lenyap tersapu tangisan Uzumaki Junior.

Aku sedikit terenyak merasakan beberapa tetes cairan menerpa pipiku. Cairan bening itu meluncur dari sepasang mata samudera yang terpejam di dahiku.

Aku membelai helai pirang yang sedikit kusut. “Sayang?”

Naruto beranjak. Lengan kemejanya berusaha menyapu banjir di pelupuk matanya tetapi sia-sia. Arus deras terus mengguyur parasnya yang tampan.

Mataku membola. Butiran bening seolah memberi penjelasan seutuhnya. Tatapan cemas terlindung kelopak basah tak akan berdusta pada empunya. Ungkapan asmara tanpa kata seakan nyaring di telinga. Bagai ribuan malaikat berkhidmat mengirim doa.

Naruto mendekap bahuku. “Hinata, selamat hari jadi kita. Aku sangat mencintaimu!”

Lengkap sudah pendukung kebenaran yang kunantikan. Ungkapan mata dan tutur kata yang selaras sejalan.

Kuberanikan suara lelahku membalas. “Aku menantikan kalimat itu, Sayang! Aku pun sangat mencintaimu.”

Naruto terkekeh. “Maaf, Hinataku. Sebenarnya aku gugup ungkapkan cinta.”

Tatapan salah tingkahku menghindarinya.

“Apa mungkin aku akan menikahi wanita yang tidak aku cintai?”

Aku menunduk dalam bersama rasa malu yang ingin kutenggeleamkan.

“Aku jatuh cinta bahkan sebelum mengenalmu!”

Aku menengadah heran.

“Kebaikan Ayah Hiashi ketika masih mengajarku di sekolah dasar memberiku pandangan hidup akan masa depan. Saat beranjak dewasa, aku bahagia mengetahui beliau memiliki seorang putri. Aku merindukanmu yang bahkan tak kukenal sosoknya.”

Pipiku bersemu. “Bagaimana jika aku tak sesuai keinginanmu?”

Naruto mengusap satu butir terakhir yang melintasi pipinya. “Aku tidak pernah menetapkan syarat fisik untuk pendampingku. Karena aku tidak hanya mencari pasangan di dunia tapi juga belahan hati hingga ke surga, Hinata.”

Kini banjir bandang melanda kedua bola mataku. Aku tergugu haru. Begitu melimpahnya suka cita hingga air mata tak kuasa berdiam diri saja. Telunjuk Naruto membelai sudut mataku.

“Saat meminangmu adalah saat pertama pertemuan berkesan kita. Sebelas tahun lalu. Aku merasa bumi dan langit bersatu memihakku karena Tuhan menyempurnakan langkahku dengan hadirmu!”

kkiittssuunnee

Kimonoz

PELITA KITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang