ㅡ Kukepakan sayap-sayap patahku mengikuti hembusan angin yang berlalu menancapkan rindu disudut hati yang beku, dia retak hancur bagai serpihan cermin, berserakan sebelum hilang diterpa angin, Khalil Gibran ㅡ
Sejujurnya, aku marah.
Setiap untaian kata yang sengaja kamu tulis di dinding kamar membuatku makin muak. Dan aku ingin sekali menghapusnya, entah dengan amplas atau cat ulang.
Namun sial! Kuas yang kugenggam jatuh berserakan berkat sejemang bayangmu yang tertinggal di dinding kamar.
Senyap.
Rintik hujan adalah pengiring rindu sewaktu kurekam kembali pilinan nasib yang dititipkan pada sang bayu.
Kita serumah. Dan aku membencinya. Kebencian yang semakin menumpuk ketika aku tahu bahwa aku satu-satunya yang harus membersihkan pekarangan di akhir pekan. Oh, bahkan sekarang kamu enggan matikan lampu kamar kala malam menjelang.
Kamu adalah kebencian yang sengaja kutanam, kurawat, dan kunikmati sendirian.
Kebencian yang membawaku terbang sejauh 1.335 kilometer melintasi lautan. Habiskan hampir empat jam guna menulusuri 101,1 kilometer dalam keterasingan yang membuatku makin bungkam. Jalanan licin berkat turun hujan adalah yang kutapaki begitu turun dari karoseri berjalan.
"Lixiano?" Suara berat namun lembut bersamaan mengalun pelan sebagai bentuk sapaan, membuatku menoleh dan mendapati senyum teduh yang pria itu hadiahkan.
Namanya Calvin. Kita berkenalan dalam peristirahatan di Masjid menjelang Ashar sewaktu perjalanan telusuri jalan aspal berlubang.
Dia ramah. Tidak seperti kamu ketika marah. Dan seketika aku sadar begitu dia ajukan tanya mengenai alasanku ada disini, untuk pertama kali dalam 912 jam yang kuhabiskan sendiri dalam kelam kekecewaan, baru kali ini aku terlibat dialog panjang.
"Tim gue cuma tiga orang. Kalau berkenan, gabung aja. Daripada lo sendirian kek bocah ilang" tawarnya sembari bercanda.
"Boleh" jawabku kemudian.
"Mereka lagi istirahat di kedai. Lo mau ikut? Sekalian minum kopi atau susu anget"
Aku melongok, menelisik kearah orang-orang yang duduk di kedai. Harap-harap cemas kalau saja menemukan sekelompok asing yang menatapku sangsi karena ras.
"Yang pake hoodie biru itu Bang Bayu, kalo yang pake topi itu Bang Ino"
Calvin mengenalkanku pada kedua temannya. Tidak ada yang spesial, mereka baik, menganggukan kepala ketika Calvin katakan aku akan bergabung dengan tim.
Sungguh, disaat seperti ini kenapa kamu malah kembali mengendap dalam ingatanku. Mengulang memori lama ketika kamu memperkenalkan diri sebagai Mahesa, anak Om Ibnu.
"Gue gak mau manggil lo Kakak. Kata Ayah, kita seumuran" begitu ucapmu dulu. Enggan hormati aku sebagai yang lebih tua.
Semilir angin menerpa. Hembusannya syahdu, mengalun lembut, menelisik tiap telinga yang terjaga. Aroma seduhan kopi memaksa masuk ke dalam garda depan penciuman.
Aku benci kopi, membuatku ingat bagaimana Mama melarang kamu teguk minuman berkafein itu. Kamu dengan bebalmu sembunyi-sembunyi abaikan larangan Mama, jadikan aku sebagai nama yang dituju layanan pesan-antar sewaktu mereka datang kirimkan segelas es kopi favoritmu.
"Lo emang sering pergi sendirian, Lix?" Pria yang kukenal sebagai Kirino mendatangiku. Duduk bersila disebelahku dengan segelas kopi instan yang kepulkan asap, goda siapa saja yang melihat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bingkisan Rindu
FanfictionKamu tahu, apa yang lebih kubenci dari perkara kita serumah? Yaitu, kenyataan bahwa kita tidak sedarah.