Pernah mendengar istilah 'dari mata turun ke hati?'
Namanya, Altair.
Cowok yang teramat biasa saja jika kamu hanya melihatnya sekali dua kali. Tetapi aku tak bisa menjamin pandanganmu akan berubah seperti aku jika kalian melihatnya tiga kali. Altair sebiasa-biasa saja itu sampai aku tak mengingat bagaimana kesan pertemuan pertama kami. Aku tak ingat bagaimana dia mengenalkan dirinya pada minggu-minggu pertama kuliah. Aku tak tahu bahwa Altair itu ada sampai ketika suatu hari di kelas, ketika dosen sedang mengabsen, kebetulan aku sedari tadi menunggu siapa nama orang yang duduk semeja denganku. Ternyata nama orang tersebut hanya berbeda dua nomor dengan namaku di buku daftar hadir. Diantara kami ada nama Altair.
Entah apa alasannya, aku mencari pemilik nama Altair tersebut.
Hari itu, aku melihat Altair duduk di kursi pojok kanan, mengangkat tangan dan berkata 'hadir' dengan malas. Matanya sayu seperti telah memikirkan begitu banyak hal, bibirnya mengerucut tetapi lalu tersenyum konyol ketika anak-anak kelasku melemparkan pandang heran serta kesal kepadanya atas suara ‘hadir’ yang kurang enak didengar. Kata guru SMAku dulu, penting untuk menyahuti dengan seramah mungkin ketika mereka sedang mengabsen. Itu akan memberikan kesan kalau kita senang mengikuti kelasnya.
Beberapa detik sebelum aku mengalihkan pandanganku kepada hal lain, mata kami bertemu. Altair menatapku lurus. Dia tidak mengangkat alis atau menggerakan bibirnya untuk menunjukkan ekspresi heran kenapa aku masih saja memandanginya. Altair hanya menatapku seolah memberi izin kalau aku boleh menyelami indra penglihatannya.
Adli--teman semeja yang akhirnya ku ketahui namanya- menepuk lenganku, orang-orang yang tadi menatap Altair kini tengah menatapku.
“Ah, oh. Hadir, pak.” Aku mengangkat tangan lalu tersenyum.
"Bumi."
"Clairine."
"..."
"..."
Sementara nama lain disebut bergantian, nama Altair seperti memaksa masuk untuk aku pikirkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
To The Crush I've Never Talked To
Short StoryAku tidak mengharapkan apa-apa kecuali yang terbaik. Mulanya begitu. Sampai aku mulai menebak-nebak, dan merasa memiliki kesempatan meskipun hanya sebatas mungkin.