Bagian 5

28 1 0
                                    

Mama:
Dek, kak gamma engga dateng interview kemaren
Dia enggak ada kasih kabar juga
Kamu dikabarin dia engga?

Hafiedz:
BERANGKAT BARENG YAAA
Gue abis dari rumah bawa motor jadi sekalian aja jemput lo

Freya:
Tugas resume kamu udah kelar belum?

Kelazzz: Nauli:
gaissss kelasnya dimana?

Pertama-tama aku membalas pesan Hafiedz, dia berisik kalau tidak segera dijawab. Akan tetapi aku tidak merasa kesal, Hafiedz adalah satu-satunya orang yang bersedia pergi dan pulang kuliah bersamaku meskipun rutenya pendek yaitu dari gerbang depan kampus sampai kelas. Setidaknya aku tidak perlu terus menunduk sambil berpura-pura bermain ponsel karena berjalan sendirian, dan tidak terlalu risih ketika melewati mahasiswa yang bergerombol.

Kemudian aku membalas pesan Freya dengan mengirimkan capture gambar tugas mata kuliah pengantar ilmu hukum sekalian memintanya menjawab chat Nauli di grup.

Kelazzz: freya:
di J202

Setelah mendapat pesan dari hafiedz kalau dia sudah sampai di depan kosku, aku segera memakai sepatu, mengambil bekal untuk sarapan dan berpamitan kepada ibu kos.

"Hati-hati nduk," teriak ibu kos ketika aku sudah akan membuka pintu gerbang.

Hal pertama yang aku lihat sewaktu gerbang berhasil terbuka adalah sebuah motor besar juga tinggi yang tak pernah aku sukai. Aku menelan ludah. Bagaimana caranya aku naik? Hafiedz lupa atau bagaimana sih kalau di kampus kami mahasiswi diwajibkan memakai rok dan rok ku sangat amat tidak mendukung untuk dipakai menaiki motornya?

Hafiedz menaikkan kaca helmnya, "Bener-bener, kayaknya motor gue emang lebih ganteng dari gue sampe lo melongonya engga kelar-kelar."

Aku mendekat menghampiri motor mengerikan itu, meraba jok penumpangnya untuk mengukur sebarapa tinggi dia.

Hafiedz tertawa, "naksir lo sama motor gue? Naksir sama gue juga nggak?" Katanya. Aku tidak sempat untuk merasa kesal dianggap sebegitu menyukai motornya karena kelewat pusing memikirkan cara menaiki benda tersebut.

"Cepet naik, ntar keburu telat."

"Ngga bisa," aku melengos membuat hafiedz kebingungan beberapa detik.

Lalu dia menatap rokku dan terkekeh, "pegangan ama tangan gue, aman," Hafiedz membukakan pijakan motornya, mengulurkan tangan dan memintaku untuk segera naik.

"Kalo jatoh gimana?" Tolakku.

"Ya gue ketawain," jawabnya.

"IHHHH," aku berbalik ingin masuk ke dalam kos lagi.

Hafiedz terkekeh lagi, "yaaaak bocah ngambekan, ayo naik," ujar Hafiedz, dia memiringkan motornya sampai serendah yang dia bisa, "tenang, kalo jatuh gue udah sering disuruh manggul karung beras kok, tabung lpg ijo kayak lo mah ngga ada apa-apanya."

Akhirnya aku berhasil naik dan duduk dengan tenang, Hafiedz melajukan motornya seperti sedang mengayuh sepeda di sore hari. Kelewat santai. Aku sempat curiga, jangan-jangan dia masih belajar naik motor? Sepanjang perjalanan yang kurang dari sepuluh menit, meskipun aku duduk dengan nyaman, mulutku tak bisa berhenti menggumamkan lafadz bismillahirrahmanirrahiim.

"Wee kok kelen berdua ada disini?" Seseorang berteriak dari belakang ketika kami tengah berjalan menuju kelas. Suara yang sangat khas sehingga tanpa perlu menoleh pun sudah tertebak dia siapa.

"Naik motor soalnya," jawab Hafiedz, dia menghentikan langkahnya menunggu orang yang berteriak tadi mendekat.

Namanya Ilyas, ketua kelas yang kami banggakan tapi boong.

"Dari mana, Yas?" Tanyaku, heran juga karena Ilyas muncul dari gerbang belakang bukan dari gerbang depan.

"Kos nya Altair. Aku berangkat pagi banget tadi jadi numpang dulu disana," katanya, dagunya menunjuk ke arah belakang kami. Aku ikut menoleh, tetapi orang yang dimaksud tak berada disana.

"Makan dulu dia, bareng Fajar bareng Adli," tambah Ilyas.

Sesampainya di kelas, aku duduk bersama Freya. Di depan kami Hafiedz duduk bersama Ilyas. Dua pria itu memutar kursinya untuk mengobrol dan menyalin tugas, melemparkan banyak lelucon yang sesekali disahuti oleh tawa Freya. Aku ikut menyimak.

Keadaan di kelas begitu tenang. Anak-anak perempuan berhenti membahas Altair. Mereka mulai sibuk dengan persiapan ujian tengah semester. Di kampusku, UTS sama menakutkannya dengan UAS. Bedanya, UAS sedikit lebih dekat dengan drop out sedangkan UTS terkadang harus menunggu uas dulu untuk menentukan apakah yang bersangkutan drop out atau tidak.

Beberapa kali aku melemparkan pandangan ke arah pintu, Altair belum juga datang.

Pada yang kesekian kalinya, akhirnya aku melihat altair memasuki ambang pintu. Dia datang bersama Saras. Dari tempatku, bisa kulihat mereka tengah mengobrolkan suatu hal yang seru, Saras bahkan tertawa setelah mendengar sesuatu yang Altair katakan.

Aku menghela napas. Bukannya aku mudah cemburu, Saras adalah teman sekelas kami, wajar sekali apabila mereka berpapasan di jalan kemudian berangkat ke kelas bersama sambil asyik mengobrol. Akan tetapi, meskipun aku juga teman sekelasnya Altair dan kami berpapasan di jalan, baik aku maupun altair tak pernah saling menunggu untuk berangkat bersama apalagi sambil mengobrol. Aku dan Altair tak pernah terlihat sedekat itu. Sampai sini, apa kalimatku terdengar seperti orang yang cemburu?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 27, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

To The Crush I've Never Talked ToTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang