Panggilan Darurat

5 0 0
                                    

Selama hampir setahun aku bekerja, baru malam ini aku menyadari bahwa menjadi seorang operator panggilan darurat adalah pekerjaan yang butuh nyali besar.
Ya, semuanya berawal saat sebuah panggilan masuk padaku.
“Dengan *786. Apa situasi darurat anda?” tanyaku, dengan kalimat pembuka yang selalu kami—sebagai operator—gunakan.
“Tolong aku!” jerit suara seorang pria di seberang sana.
“Iya, Pak. Apa situasi darurat anda?”
“Tolong kirimkan polisi! Dia ada di depan rumahku!” pria itu terdengar panik.
Aku mengernyit. Biasanya yang seperti ini mengarah pada kasus perampokan. “Siapa dia?” tanyaku.
“A-aku tidak tahu. Dia tiba-tiba muncul dan menggedor pintu rumahku sekitar sepuluh menit lalu,” ujar pria itu, “Aku takut menemuinya. Aku sempat mengintip lewat jendela dan melihatnya membawa kapak berlumur darah,” lanjutnya.
“Di mana alamat anda?” tanyaku.
“Jalan melati, rumah nomor tiga belas. Cepatlah! Dia mulai menghancurkan pintu depanku dengan kapaknya,” desak pria itu dan benar saja, samar-samar aku dapat mendengar suara pintu yang sedang dihancurkan.
Di sisi lain, setelah mengetahui alamatnya, para petugas langsung bergerak cepat ke tempat kejadian.
“Baik, Pak. Para petugas sudah dalam perjalanan.
"Siapa nama anda?”
“Aku Danny.”
“Baik, Danny sekarang kamu harus cari tempat aman untuk bersembunyi. Namun kamu harus tetap tenang. Ingat, jangan matikan sambungan ini,“ anjurku.
“B-baik,” jawab Danny meski masih dengan nada ketakutan.
Aku dapat mendengar langkah kakinya dengan cepat menapak permukaan kayu. Dari suaranya, sepertinya dia menaiki tangga. Tidak lama kemudian, aku bisa mendengar suara genjrengan kunci. Selang beberapa detik aku mendengar suara seperti pintu yang ditutup.
“Aku sudah di dalam lemari baju di kamarku. Apa yang harus aku lakukan sekarang?” Danny bertanya dengan suara berbisik.
“Sekarang kamu harus tenang dan tetap diam di sana sampai para pet-“
“Sial!”
“Ada apa?”
“Sepertinya dia berhasil masuk ke rumahku. Kapan para petugas sampai?!” suaranya terdengar serak.
“Tenang, Danny. Mereka sudah dalam perjalanan.” ujarku, kembali menenangkan.
“Dia menaiki tangga!” jerit Danny tiba-tiba dengan nada tertahan.
“Danny, kamu … kamu harus tenang.” Sialnya, kini aku juga terdengar panik disaat seharusnya aku berusaha menenangkan pria itu.
“Dia di depan kam-SHIT!” umpat pria itu bersamaan dengan suara dobrakan pintu yang terdengar dari luar.
“Danny?”
“Dia sudah di dalam.”
“Danny?
“Sial! dia menuju lemari.”
“Danny, kamu harus tetap ten-”
“Dia seorang wanita.”
“Wanita?”
“Dia membuka lemarinya.”
“Danny …”
“Hai, aku Marry!”
“ARGHHHH! KAU BUKAN MANUSIA!”
Tut … tut … tut
Sambungan terputus.
Keringat dingin tiba-tiba saja membanjiri tubuhku. Pasokan oksigen di sekitarku seakan lenyap. Suara seorang wanita yang menyebut namanya Marry, dan suara teriakan Danny di akhir telephone benar-benar membuat bulu kudukku meremang. Apa itu tadi?
“Rani?!”
Aku tersentak saat Devi, rekan kerjaku memanggil.
“Kenapa?” tanyaku. Aku berusaha menetralkan ekspresiku.
“Kamu tadi memberikan alamat yang benar, ‘kan?” Tanya Devi dengan nada sedikit panik.
“Iya, jalan Melati, rumah nomor tiga belas. Kenapa?”
“Para petugas sudah sampai di sana. Mereka juga sudah memeriksanya. Tapi rumah nomor tiga belas itu kosong!”
Aku melebarkan mataku detik itu juga.
“Dan dari informasi orang-orang yang tinggal di sekitar situ, katanya rumah itu sudah lama tidak ditempati setelah peristiwa pembunuhan seorang pria bernama Danny tiga belas tahun yang lalu.”

#Neror

Horor And Mystry CreppypastaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang