𝕀

24 17 34
                                    

Perjalanan yang membosankan, tidak ada yang bisa dilihat dari jendela mobil kecuali pepohonan, permainan berhitung, menebak jenis pohon, ataupun menyapa burung yang hinggap. Tidak lagi bisa dinikmati. Semesta berbaik hati mewarnai langit dengan matahari yang begitu terik. Panasnya merasuk melalui sembarang celah, merambat melewati rongga-rongga udara.

Tak henti-hentinya Kyouka mengeluhkan panas yang luar biasa menyengat itu sambil sesekali menggumamkan lirik demi lirik yang bersumber dari satu-satunya hiburan yang bisa dia nikmati. Semua masih terasa menyenangkan hingga Aran—Akutagawa tertua angkat bicara.

"Kyouka, apakah kamu siap tinggal bersama Kakakmu?"

Bola mata Kyouka seketika berputar, menyuguhkan perasaan muak tersurat melalui gerak geriknya. Waktu yang berbeda, pertanyaan yang sama. Sungguh omong kosong. Lelaki maaf—beruban—maaf yang menduduki kursi kemudi itu tidak pernah lelah bertanya.

"Aku kira Ayah sudah mengetahui jawabannya."

"Biarkan aku mendengarnya lagi."

Kali ini Kyouka mengangkat sebelah alisnya. Mulutnya menganga, sesekali berkedip hebat demi merespons pertanyaan Sang Ayah.

"Ayolah, aku masih ingat hari kamu kehilangan ingatanmu—,"

"Bisakah kita tidak membahas itu?"

Berhari-hari persoalan itu dibahas, berkali-kali pertanyaan itu keluar. Kyouka jengah, Sang Ayah pun tahu itu, namun dia masih tidak bisa menyembunyikan rasa khawatirnya. Kini Aran memilih diam. Sesekali memberikan ruang untuk sang putri tidak ada salahnya.

"Aku bukan orang yang lemah, Ayah." Kyoka menambahkan, membawa kembali topik yang sudah direlakan Ayahnya. "Berapa kali aku harus menegaskan itu?"

"Ayah tau, kamu mungkin lebih dari mampu. Tapi ada hal yang tidak kamu mengerti, Kyouka. Aku harap kamu tidak melupakan misi yang diberikan untukmu sebelum datang kemari?"

Kyouka mengangguk.

"Menjaga Shunsuke Akutagawa, 'kan?" Jujur saja, kata misi dan bagaimana mereka menyebut misi itu sangat mengganggu Kyouka. Namun gadis itu tampaknya lebih tertarik untuk melepas rindu daripada memikirkan misinya. Menjaga Shunsuke Akutagawa—sebut saja Kakaknya, apa yang salah dengan pemuda itu? Memangnya Kakaknya ini satwa?

"Benar. Shu itu berbahaya—"

"Berhenti perlakukan dia seperti alat, Ayah. Tidak ada orang bodoh yang menjalani tujuh tahun masa percobaan dan menghabiskan waktunya untuk mendekam di mansion yang ada di bawah pengawasan penyihir kelas atas hanya untuk bersenang-senang, kecuali dia memang sesuatu. Apakah Kakak kriminal? Aku rasa tidak. Apakah dia memiliki potensi untuk menghancurkan dunia? Itu berlebihan, tapi mungkin iya. Nah, itu hanyalah pendapatku. Yang berhak membenarkan hanya Ayah dan para tetua."

Helaan singkat terdengar dari lisan Aran. Pendapat Kyouka tidak sepenuhnya salah, namun ada hal yang tidak dia ketahui. Memberi tahunya sekarang juga akan menyebabkan keributan, apalagi mengingat sumbu pendek yang sudah menjadi kebiasaan Kyouka.

"Baiklah. Hanya saja, jangan sampai kehabisan darah."

Rancu. Lagi-lagi kalimat rancu. Kemana perginya lubang dari alur ini? kemana perginya prolog yang seharusnya memberikan detail? Kenapa hanya ada kebingungan merajai bab ini?

Untuk yang kesekian kalinya, alis Kyouka bertaut. Yang benar saja, aku bahkan menguasai teknik regenerasi dengan lebih baik daripada milikmu. Dia putuskan untuk mengambil sandaran ternyaman yang bisa dia dapatkan demi merangkul lelap sebagai teman perjalanan. Sementara Aran tetap memandu mobilnya melewati jalan berkelok.

Setelah beberapa kali mendaki gunung, lewati lembah, mereka pun sampai.

Kyouka masih terlelap, alat pendengar musik yang masih bergantung di telinganya membuat indra pendengar miliknya tidak menangkap suara Sang Ayah. Pun, indra peraba yang mati rasa itu tidak dapat menyadari guncangan yang hinggap pada tangannya. Sesekali lisannya mengeluarkan keluh, namun kesadarannya 'tak kunjung kembali.

Kesabaran yang entah setipis apa wujudnya kini telah hilang, digantikan kerutan yang muncul di dahi Akutagawa tertua. Muncul satu dua sengatan petir pada telapaknya. Tidak kuat, namun cukup membawa Kyouka kembali ke alam sadar.

"Ayah! Kalau begini kulitku jadi belang!" Kyouka menatap nanar tapak hitam mendidih yang kini menaungi lengannya.

"Kyouka, kalau begini Ayah bisa terlambat pulang dan meninggalkan wanita Ayah terlalu lama."

Alis Kyouka terangkat sebelah, bibirnya mengulum senyum jahil seraya dia menambahkan, "wanita yang mana?" Pertanyaannya berakhir mendapat pitakan dari Ayahnya. Wanita, tentu saja yang dimaksud adalah Sang Ibu, Akutagawa Koga. Kembang desa kompleks perumahannya yang entah bagaimana bisa dimenangkan oleh Aran. Peraih nilai tertinggi dalam ujian fisik sebuah akademi dahulu kala. Lelaki ubanan itu mana punya keberanian untuk mendua.

"Cepat ambil barangmu."

Aran berucap, lantas berlalu begitu saja meninggalkan Kyouka yang masih setengah sadar membayangkan bagaimana dia akan mengangkat tiga koper dan satu tas jinjingnya. Sihir? Oh tentu tidak, dia payah dalam sihir dasar dan telekinesi. Semua orang tahu itu. Terpaksa dia putuskan untuk membawa satu ransel dan memindahkan sisanya nanti dengan teleportasi. Toh, siapa pula yang mau mencuri? Landak liar tidak akan repot-repot menusukkan dirinya ke koper yang keras itu kan?

Baru sekilas satu paragraf monolog itu terpikir, Akutagawa tertua sudah memimpin jalan di depan, siap mengetuk pintu rumah. Ralat, bangunan sebesar itu rasanya tidak sopan jika disebut rumah. Halaman yang luar biasa luas, lengkap dengan kebun dan air mancur di depannya. Kyouka baru menyadari, saat ini dia menjejakkan kaki di tengah-tengah pekarangan mansion, sudah memasuki gerbang. Padahal tadinya Kyouka kira ini masihlah jalanan.

Jelas bangunan ini terlalu besar untuk dihuni satu orang. Kecuali... kakaknya membuka kos di sini. Membayangkan tiap hari harus berjalan dari pintu depan ke gerbang saja sudah lelah apalagi melakukannya.

Kyouka menyeka peluh di dahinya, gadis itu kini melangkahkan kakinya menuju mansion, apalagi setelah melihat mata Akutagawa tertua sempat menyalak kearahnya.

Satu dua ketukan terdengar, butuh beberapa menit sebelum akhirnya pintu itu terbuka, menampakkan seorang pemuda dengan wajah bantal dan saliva membekas di pipinya. Jangan lupakan kaos oblong putih yang dipadu dengan celana kolor hitam—keduanya pendek.

Speechless, raut wajah yang tidak mampu berkata-kata itu jelas terpatri di wajah Kyouka. Lisannya kelu tidak sanggup menyuarakan sepatah pun kalimat. Saking kalutnya dia biarkan ransel yang hanya melingkar di satu tanganya terjauh.

TBC.

MirrorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang