Sedelo maneh

28 2 1
                                    

Suara genjrengan gitar berhenti menghormati azan yang mengumandang dari arah musala. Matahari telah berjalan menuju ufuk barat meninggalkan warna oranye dan merah keruh yang mewarnai langit. Kawanan bangau berkoar melakukan manuver terakhir sebelum terjun ke dalam pepohonan yang ujungnya mencium langit.

Elsa berjalan tanpa alas kaki untuk mengambil air wudu dari pompa air manual yang harus dipompa menggunakan kekuatan otot bisepnya. Ia membuka telapak tangan, pelupuk mata terpejam khusyuk menggumamkan niat atas nama Yang Maha Esa kemudian mengumpulkan air jernih untuk diusapkan ke bagian pergelangan tangan hingga lengan. Tato bertuliskan kaligrafi Arab pada bagian lengan kanannya berbunyi forgive me turut dibasuh, dilanjut wajah dan bagian tungkai untuk melengkapi syarat sebelum berserah diri kepada-Nya.

Gemercik pompa air bisu. Elsa bisa merasakan lumut menggelitik telapak kakinya. Ia menyambar mukena yang disampirkan pada pagar kayu lalu menutup aurat yang sebelumnya hanya mengenakan kaus lengan pendek dan celana jins di atas lutut. Sandal jepit dengan ukuran jumbo menghiasi kakinya, Elsa melambai-memanggil salah satu teman lelakinya yang masih asyik bercengkrama di beranda rumah untuk menghampiri dengan segera.

"Anterin aku ke musala sebentar, ya," kata Elsa memohon-wajahnya terlihat lebih bulat sewaktu mengenakan mukena.

"Aduh, lo takut emang, Sa? Ini kan daerah rumah Nenek lo," nego lelaki berambut ikal dengan rahang tegas itu. "Ajak aja Ari atau Mustofa biar mereka sekalian salat," lanjutnya seraya menunjuk orang berbadan gempal bernama Ari yang duduk di ambang pintu dan satu lagi berambut panjang berjatuhan di atas pundak bernama Mustofa.

Namun Elsa menolak tegas seraya memutar bola matanya malas. "Mereka mana mau. Ayo Jo, temenin please keburu dimulai."

Akhirnya Jojo meng-iyakan permintaan Elsa. Keduanya berjalan di atas jalan beralaskan tanah yang lengket membuat langkah mereka sedikit berat. Suasana terlihat senggang, langit mulai redup disusul penerang jalan berpendar kuning tua menyinari malam temaram yang mulai perkasa.

Selawat yang disenandungkan menggaung, merekah kesunyian daerah perkebunan dan rumah-rumah berjarak di desa tersebut. Saat pelantun selawat menjeda untuk menghela napas, giliran orkestra katak dan jangkrik saling menyahut dari arah rawa-rawa yang terdapat di dalam kebun itu. Elsa mengulum bibir sambil mengajak Jojo untuk ngobrol demi menangguhkan pikiran-pikiran negatif.

Ada satu alasan kuat yang membuat Elsa was-was untuk pergi ke musala sendirian selepas magrib. Waktu itu, umurnya masih menginjak 7 tahun. Ia dikenal suka bermain petasan dengan teman sebayanya apalagi memasuki bulan puasa, sementara neneknya sudah memperingatkan Elsa untuk tidak melakukan itu.

"Ampun dolan bada Magrib, pamali! (jangan main sewaktu Magrib, pamali!)"

Namanya anak kecil, Elsa malah cekikian bersama temannya dan tidak menggubris peringatan nenek. Ia ingat betul jawaban yang diutarakan kepada mendiang nenek.

"Dalem dolan wontenmriki, Mbah. Mboten mlampah tebeh. (saya main di sini, Mbah. Tidak jalan jauh-jauh.)"

Elsa bersama ketiga temannya menyalakan sebuah petasan korek yang menghasilkan bunyi ledakan-ledakan kecil dalam senyapnya malam. Salat tarawih tengah berlangsung, tetapi percikan api terlihat jauh lebih menarik membuat dopamin Elsa mengalir deras untuk mendorongnya menyalakan petasan lagi dan lagi, disusul gelak tawa mungil empat sekawan tersebut.

Manik-manik netra Elsa bertaut pada satu titik. Sebuah gubuk reyot hanya bermandikan sinar rembulan berwarna keperakan menjadi target operasi selanjutnya. Gadis kecil berambut di atas bahu itu tertawa nakal lalu merogoh cadangan petasan yang tersimpan manis dalam sakunya.

"Aja! Aja! Nyong wedi (jangan! Jangan! Saya takut)" seru salah satu temannya seraya menarik-narik lengan Elsa.

"Sinten sih wedhoke nangkene? (siapa sih yang cewek di sini?)" Elsa menjawab sambil menjulurkan lidah.

Petasan itu dilempar tepat ke arah gubuk yang diselimuti akar dan semak belukar. Mereka bersorak kegirangan-terutama Elsa. Namun tiba-tiba ada suara pekikan yang berasal dari dalam kebun. Seketika kelompok bermain itu bergeming, tangan-tangan jahil yang mereka angkat ke angkasa tertahan. Sorot mata tertuju pada sumber suara.

Ketika suara itu muncul kembali, para anak lelaki langsung berlari tunggang langgang seraya menjerit ketakutan. Namun tidak untuk Elsa. Gadis itu justru membeku-kedua kaki kecilnya terasa berat dan keringat dingin mulai mengucur membasahi punggung.

Puncaknya saat semak belukar di sebelah gubuk bergoyang tanpa dorongan angin lalu memunculkan sesosok nenek dengan rambut lusuh beruban-terkulai tatkala ia menggoyang-goyangkan kepala ke kanan dan kiri. Elsa dapat merasakan napasnya memburu senada dengan degup jantung yang berdetak tak keruan. Ia mencoba untuk berteriak tetapi lidahnya terkelu dan suaranya menyangkut di tenggorokan.

Nenek itu akhirnya mendongak, menampilkan tatapan sinis dan senyum lebar hingga menampakkan gigi-gigi hitamnya. Jarak mereka memang jauh, tetapi lama kelamaan ia bisa meraih Elsa yang tak mampu bergerak ditelan kegelapan. Mulut gadis itu terbuka dan tertutup dengan cepat, pelupuk matanya telah menerjunkan butiran embun membasahi pipi belum lagi bulu-bulu kecil di tengkuk yang berdiri karena ditusuk hawa dingin.

Makhluk itu tertawa, sayup-sayup Elsa dapat mendengar kalimat yang menyapa gendang telinganya.

"Sedelo maneh. Sedelo maneh. Sedelo maneh (sebentar lagi. Sebentar lagi. Sebentar lagi)."

Kuku panjang hitamnya hendak meraih pundak kecil Elsa yang tak berdaya. Sampai secercah harapan muncul dari kegelapan. Sebuah motor butut dengan knalpot terbatuk-batuk berhenti di dekat Elsa. Lampu yang hampir dimakan umur membuat matanya berkelabat.


"Putrane sinten iki? (anaknya siapa ini?)" tanya seorang pria dengan peci hitam menghiasi kepala dan sarung masih membebat bagian pinggul ke bawah.

"M-Mbah!" Elsa akhirnya dapat berseru disusul tangis tersedu-sedu setelah dirinya hampir diculik oleh sesosok makhluk mengerikan di gubuk tua itu.

Jentikkan jari berhasil menyadarkan Elsa dari lamunannya. Selawat telah berganti dengan kumandang ikamah yang merekah suasana magrib. Setelah kejadian pilu itu, Elsa berjanji akan rajin ibadah walaupun tahu dirinya tak perlu hadir ke musala. Namun, ia percaya ada kekuatan lebih besar ketika dirinya mampu membenamkan sujud lebih dalam dan melafalkan doa di tempat yang suci.

"Sa, ayo nanti lo telat," Jojo mengingatkan, tetapi Elsa bergeming saat menatap gubuk tua itu-seakan-akan melambai ke arahnya dalam kegelapan untuk mengundangnya agar menyelesaikan permainan yang belum sempat ia selesaikan 18 tahun lalu.

"Sa, ayo nanti lo telat," Jojo mengingatkan, tetapi Elsa bergeming saat menatap gubuk tua itu-seakan-akan melambai ke arahnya dalam kegelapan untuk mengundangnya agar menyelesaikan permainan yang belum sempat ia selesaikan 18 tahun lalu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(Elsa)

Sebentar LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang