Prolog

29 6 13
                                    


Amelia Kim, gadis bertubuh sedikit gempal dengan kantung mata yang terlihat menonjol menambah ciri khas di wajahnya, tampak memasukkan buku kuliahnya, sebelum akhirnya ia keluar meninggalkan kelas.

Wajahnya kini tampak sayu daripada pagi tadi, senada dengan dandanannya. Rambut dikuncir satu dengan tali rambut bermotif polkadot berwarna biru navi dan membiarkan poninya terlihat.

Derap langkah kaki saling beradu memenuhi suara kelasnya pertanda mahasiswa-mahasiswi akan segera pulang.

Jam sudah menunjukkan pukul 14.00, ia segera beranjak menuju parkiran kampus. Tak ada senyum yang terlukis di wajahnya. Ekspresi wajahnya sangat masam. Ia berbeda dengan teman sejawatnya.

Hal ini dilakukan karena keterpaksaannya mengikuti perkuliahan ini. Bukan mimpinya untuk berkuliah di jurusan bahasa Jepang. Mempunyai keluarga yang kaya raya membuatnya sangat merasa lelah mengikuti semua aturannya. Karena keluarganya ingin dirinya kelak akan bisa menjadi penerus keluarganya. Banyak orang mengira dirinya bahagia, segala hal yang ia butuhkan selalu tercukupi. Namun, ia menyembunyikan ketidakbahagiaannya.

Inginnya hanyalah ia ingin menjadi seorang yang kreatif tanpa harus ada aturan dari orang lain. Karena hal itulah, ia menjalani kehidupan dengan datar. Orang tuanya yang merupakan pebisnis terbesar yakni ponsel selalu tak ada waktu untuknya.

Ia melamun tak jelas, merenungi nasibnya. Sesaat ia terhenyak. Keyla Kim, sang adik perempuan menepuk kasar bahunya.

"Eonnie, kenapa melamun seperti itu?" tanya gadis yang selisih usianya tujuh tahun dengannya. Tangan kanannya membawa makanan ringan yang hanya tinggal sedikit.

"Aku hanya merasa jenuh," dalih Amelia

Ia juga tak suka bergaul dan lebih memilih sendiri dengan mendengarkan musik, membaca atau melukis. Walau ia tahu hasil lukisannya tak sebagus orang lain tapi ia merasa nyaman melakukannya. Ia ingin membuka usaha sendiri dengan caranya. Nyatanya jadi anak orang berada membuatnya selalu diatur. Pada awalnya ia merasa sangat lelah hingga akhirnya ia biasa saja karena mau bagaimana lagi, ia harus menuruti permintaan orangtuanya. Terkadang ia bentrok namun itu hanya berlangsung sebentar. Ia hanya ingin berbagi saja dengan orang yang memahaminya.

Berbeda dengan dirinya, Kim Jinhwan adalah seorang yang sangat dingin, namun ia mudah akrab dengan siapapun. Dirinya selalu mengalami karir yang cemerlang, namun hambatan selalu saja datang termasuk dari lawannya. Keahliannya di bidang menulis membuatnya terkenal. Ia anak orang kurang mampu sehingga apapun yang ia lakukan adalah untuk dirinya dan keluarganya. Keluarganya pun bangga mempunyai anak sepertinya kecuali saudaranya. Saudaranya membenci dirinya karena sebenarnya mereka sama-sama menyukai kepenulisan hanya saja kakaknya lebih unggul. Kerap kali orangtua mereka juga membandingkan.

Jihoon mempunyai teman dekat bernama Park Jihoon yang sulit untuk ditemui.
"Mungkin, Jihoon sibuk. Jadi sekarang ia sulit kutemui." Jinhwan memasukkan ponselnya ke dalam tas.

Ia seperti kehilangan teman baik. Lelaki berkulit putih bersih ini merebahkan punggungnya ke tumpuan kursi. Padahal ia dulu sering menjadi motivator pada Jihoon. Jihoon yang selalu ia anggap seperti saudaranya sendiri.

Amelia dan Jinhwan sama-sama meraih mimpi dengan hambatan yang berbeda. Mereka seumuran dan banyak kesamaan yakni mimpi harus diperjuangkan.

MimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang