Tuhan, boleh aku membuat permintaan?
Mungkin suatu hari nanti aku akan menatapnya dan berkata kalau aku menginginkan buku ini menjadi milikku. Entahlah, aku hanya merasa senang saat melihat kata 'Maaf' itu tertuang di dalamnya, aku... ingin sekali melihatnya selama mungkin dan menjadikannya kenangan paling manis.
Seperti saat pertama kali aku menyadari kehadirannya, saat dia mengembalikan diary milik Ibuku. Bara William, dengan wajah yang tak semanis dulu, dengan wajah angkuh nan dingin itu kini berada di sampingku.
Dia teman kecilku, orang yang selalu menghina karyaku, orang yang selalu menjatuhkanku dan membuatku menangis. Dan—dia juga orang yang selalu membuatku tertawa sekaligus marah dalam bersamaan.
Tanpa di sadari, setelah kepergiannya, aku malah semakin merindukannya.
Sepertinya memang benar, kita harus kehilangan orang itu terlebih dahulu agar kita tahu, seberapa berarti orang itu untuk kita.
Lalu... apakah aku seberarti itu baginya?
Menyebalkan, saat dia selalu keras kepala kalau aku adalah Anastasia. Apakah dia tidak mengingat nama Ibuku yang seperti malaikat itu?
Kadang aku ingin tertawa sekaligus merasa bersalah. Sungguh, aku ingin tahu bagaimana reaksinya saat tahu kalau aku Alistasia, apakah dia akan berkata hai? Apa kabar? Atau malah menjauhiku?
Ada banyak yang ingin aku bagikan, ada banyak cerita dan pertanyaan yang belum aku sampaikan sebagai Alistasia.
Salah satunya mengenai Ayahku.
Aku sangat menyayanginya, Ayahku pun demikian, aku dapat merasakan itu. Tapi hubungan kami tidak sedekat dulu. Semenjak kejadian itu, Ayahku menghindar, seolah takut aku bertanya apa yang sebenarnya terjadi.
Aku ingin bertanya, aku ingin bercerita, aku juga ingin memeluknya seperti dulu. Tapi yang terjadi, aku malah melampiaskannya pada Kakekku.
Apa kamu tahu apa yang sebenarnya terjadi, Bara William?
Sampai-sampai kamu kehilangan senyummu.
Sampai-sampai awan gelap meliputi dirimu.
Sampai-sampai aku tidak bisa melihat warna di hidupmu lagi.
Apakah seberat itu masalah yang terjadi sampai aku tidak boleh tahu apa-apa?
Sampai kau tidak menepati janjimu untuk terus bersamaku selama mungkin.
Yang harus kamu tahu, aku terus memikirkan situasi ini. Di luar, sekolah kami yang bersebrangan, keluarga kami pun bertentangan.
Apakah ini pertanda kalau semesta tidak mengizinkan kita untuk bersama? Apakah ini pertanda kalau kita ditakdirkan seperti lautan di Teluk Alaska?
Aku ingin segera mengetahui jawabannya, tapi aku takut. Yang aku mau, aku hanya ingin melihat senyummu kembali, seperti Bara William yang aku kenal. Tanpa memandang sekolah ataupun keluarga.
Tuhan, bisakah aku meminta Baraku kembali?
Aku... merindukannya.
—Alistasia Reygan
KAMU SEDANG MEMBACA
ALISTASIA'S DIARY [FROM TELUK ALASKA 2]
Teen FictionIni hanya tentang permintaanku pada semesta, mengenai aku yang terlalu egois dan menginginkan dia terus selalu bersamaku. Ini tentang aku, yang terlalu takut kalau semesta hanya akan membuat kamu bertemu, tanpa bisa bersatu. Seperti lautan di TELUK...