Tujuh

1K 97 11
                                    

Apa sebutannya semua ini? Ah, benar! Hancur namanya.

Matanya berat, kepalanya sakit dan tubuhnya hancur. Ruangan itu sama seperti tadi malam, tidak ada yang berbeda.

Bangkit, rasa ngilu di seluruh tubuhnya berteriak, sakit sekali. Memungut sisa-sisa pakaian Anggita berjalan gontai mendekati lemari. Melempar sisa-sisa pakaian sobek pada tempat pakaian kotor.

Mengambil asal pakaian dilemari wanita itu terlalu kalut bahkan hanya untuk menangis. Menelan ludahnya, Anggita terdiam menatap  bayangannya dicermin, dia menjijikan.

Langkahnya tertatih, ngilu dibawah sana hampir membuatnya ingin pingsan lagi. Tapi tidak sekarang. Di luar sama ada kenyataan pahit yang harus Anggita temui dahulu. 

Suara dering handphone genggamnya mengusik, Anggita mengintip nama Devian ada disana.

Uh, sejak kapan dia memiliki nomor pria itu?

Meraih ponselnya Anggita menerima telepon itu.

"Selamat pagi Anggita, maaf aku mengganggu pagi mu." Anggita tidak menyahut. Tetap berjalan tenang mendekati pintu.

Menghela nafas sekali lagi, Anggita membuka pintu, mata itu kosong menatap lurus, disana dua tubuh itu terbaring kaku, dipenuhi darah tanpa pergerakan napas.

Tangan wanita itu bergetar, suara nafasnya terdengar jelas. Matanya menatap tubuh kedua orang tuanya, telepon itu masih terhubung.

"Anggita?" suara disebrang sana terdengar khawatir.

"De-Devian." Suaranya bergetar, menelan ludahnya, Anggita tetap berusaha tenang.

"Ada apa?" Suara pria itu terdengar khawatir.

"Tolong aku, kumohon. Orang tuaku mati."

Apa?

"Sebentar apa? Anggita kau baik-baik saja?" Apa yang terjadi? Semalam semua baik-baik saja, bahkan Ibunya Anggita menjemput wanita itu didepan rumah.  Apa wanita itu masik mabuk?

"Aku-aku tidak tahu cara menjelaskannya, kumohon Devian datang aku tidak tahu harus berbuat apa." suara wanita itu bergetar, nafasnya terdengar tidak beraturan dan dia panik.

"Aku akan kesana sekarang, kau diam disana dan jangan kemana-mana." Suara pria itu terdengar tajam dan tegas. Terduduk dilantai Anggita menatap kosong.

Dia bahkan tidak berani mendekat, jelas sadar bahwa kedua orang tuanya tidak mungkin selamat, tubuh mereka sudah dingin dan kaku.

Bahkan matipun mereka bersama.

Air mata Anggita meluruh, akan jadi seperti apa kehidupannya sekarang?

Entah berapa lama, berjongkok dilantai yang dingin Anggita terlalu takut untuk bergerak.

Suara langkah kaki mendekat terdengar jelas, mendongak mata Anggita bertemu dengan mata sosok itu lagi.

"Ya Tuhan Anggita. "

Wanita itu Duduk terdiam, menatap tubuh orang tuanya yang sangat jelas Devian ketahui sudah meninggal.

Mendekati tubuh itu, Devian memeriksa kedua mayat. Ada luka tusuk di dada wanita dan luka sayatan serta tusukan di badan pria, kelihatannya pria paruh baya itu sudah berusaha melawan.

Menoleh tenang kearah Anggita, Devian sadar dia tidak boleh terlihat panik. Wanita itu pasti sedang terguncang saat ini.

Melangkah mendekat, mata Devian menyipit menemukan luka lebam lebam pada wajah wanita itu.

"Kau aman sekarang." Devian meraihnya dengan pelukan, mengusap punggung wanita itu lembut.

Langkah kaki lain terdengar, cukup ramai. Dua orang polisi datang dengan wajah terkejut, disusul banyak tetangga yang ikut masuk penasaran. 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 28, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

She Is AnggitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang