Aku hanyalah gadis perantau. Satu dari ribuan orang yang bergulat mencari pekerjaan di teriknya sinar matahari.
Sebetulnya aku bisa saja mengurus usaha milik Ibuku, atau membuka kedai seperti yang Ibu pernah tawarkan. Tapi aku menolak. Aku tak ingin menghabiskan waktuku hanya berada di rumah.
Apalagi semenjak usiaku menginjak 22 tahun. Aku mulai jengah dengan sikap Ibu yang semakin hari semakin overprotective.
Maka sore itu, aku memutuskan untuk pergi dari kotaku. Mencari kerja seadanya demi mengisi perut kecilku, juga mencari kebahagiaan yang belum pernah ku temukan di sepanjang usiaku.
Aku sempat menjadi tukang sapu jalan. Pernah menjadi cleaning service. Kasir di salah satu minimarket. Bahkan, pernah menjadi SPG rokok yang selalu menjadi sasaran catcall oleh sekumpulan pria berhidung belang.
Semua pekerjaan itu aku syukuri. Aku jalani dengan ikhlas. Dan tak terasa, aku pun mulai terhanyut dengan ingar-bingar Ibukota.
Aku terkagum, sangat terkagum. Segala sesuatu yang kemarin ku lihat di layar kaca, kini terpampang jelas di depan mataku. Meski lambat-laun, dunia fana ini semakin membosankan.
Hari demi hari berlalu begitu saja. Hari-hariku terlihat semakin sempurna, setidaknya begitu kata Ibuku. Ya, mungkin inilah yang disebut bahagia meski sesungguhnya, aku belum menemukan kebahagiaanku.
Selama ini, aku hidup dengan Ibu dan Adikku. Aku tak pernah mengenal sosok lelaki, baik Ayahku maupun yang seusia denganku. Bagiku, lelaki seperti hal yang tabu.
Suatu hari, Ibu pernah berkata,
"Nak, tak perlu kau berteman dengan seorang lelaki. Ibu tak ingin melihatmu menangis."
Setelahnya aku mengangguk paham. Pasalnya, aku selalu menimba ilmu di satu sekolah yang di khususkan untuk perempuan. Tak ada satu pun lelaki, baik itu murid, guru, maupun staff tata usaha.
Begitulah hidupku jika di jabarkan secara singkat.
***
Pada suatu malam aku merasa ada yang berbeda. Seusai aku mengantarkan pesanan pada sudut meja. Aku terkagum pada satu sosok lelaki.
Begitukah rasanya jatuh cinta? Entahlah, aku pun tak mengerti arti cinta yang sesungguhnya. Yang ku tahu, aku mengangguminya dengan waktu yang sangat singkat. Saat ia berjalan seorang diri. Aku melihatnya, lalu aku merasakan jatuh cinta.
Ia pengunjung setia di Cafe tempat ku bekerja. Penampilannya sangat mengesankan. Rambut hitam tersisir rapi. Wajah rupawan. Dengan raksi parfum yang selalu ku ingat sampai berbulan-bulan kemudian.
Aku terpesona tiap kali melihatnya. Teralirkan perasaan bahagia di sekejur tubuhku yang membuatku selalu semangat dalam bekerja. Aku sadar, jika perasaan ini tak wajar. Maklumlah, aku hanya seorang waitress, tukang antar pesanan.
Aku mencintainya dalam diam. Sampai di bulan ke sembilan, aku mencoba untuk mengusir segala perasaan ini. Tapi, aku tak bisa. Aku selalu gagal, meski aku dengannya tak saling mengenal.
Aku selalu menanti kedatangannya. Memperhatikannya dalam diam dan menikmati keindahan di tiap lekuk wajahnya.
Aku pun selalu memohon pada Hinata, untuk membiarkanku mengantarkan pesanannya. Berdalih bila tak lelah, meski sebetulnya aku butuh duduk sejemang.
Aku selalu menunggunya tersenyum saat aku telah selesai menyajikan pesanannya. Dan aku harus selalu menahan diri untuk tak kecewa, jika ia hanya mengangguk kecil tanpa membalas tatapanku. Tapi menghirup raksi parfumnya yang telah menjadi candu, sudah cukup membuatku bahagia.
Aku selalu senang saat melihatnya tengah mengusap bibir tegasnya setelah menyesap Hot chocolate favoritenya. Namun berbeda dengannya, ia selalu senang melihat keramaian kota lewat jendela kecil yang berada di dekatnya. Tampaknya, ia menemukan kebahagiaan pada keramaian kota. Seperti halnya aku yang selalu menemukan kebahagiaan pada dirinya.
Kadang aku merasa konyol. Bagaimana bisa aku merasakan bahagia jika hanya memandang lelaki asing itu? Namun bukankah kebahagiaan orang, bukanlah sesuatu yang dapat di ukur?
Setahun berlalu. Aku tetap bahagia dalam diam. Hingga suatu malam aku sempat merajuk kala Hinata tak memberikan pesanannya untukku.
Jujur, aku sangat kecewa. Namun tak lama, puncak kebahagiaan itu pun hadir. Ia memanggilku dengan senyum khasnya dan memberiku sedikit tip yang terselipkan note,
Sakura ya? Terima kasih selalu mengantar pesananku.
-Sasuke.
End.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bahagiaku
Fanfiction[ONESHOOT] Kebahagiaan bukanlah sesuatu yang dapat di ukur. . . . Warning: OOC Disclaimer: All characters belong to Masashi Kishimoto. Bahagiaku © Maydee | 2020.