Jalanan yang subuh tadi tertutupi salju putih kini berubah kotor menyisakan jejak-jejak kaki manusia. Sakusa menolak melihatnya terlalu lama, sebab cuma bakal membuat pusing membayangkan berapa banyak jenis amoeba tengah membelah diri di bawah kakinya, mungkin sebagian sudah menempel pada sepatunya yang menimbulkan bunyi lucu tiap ia mengayunkan tungkai. Mengerikan—fakta bahwa salju baru turun di akhir bulan Maret saja sudah mengusik akal sehat.
Seraya mempererat pegangan di gagang payung, Sakusa menyeret kaki ogah-ogahan. Beban di sepatunya terasa semakin berat seolah gravitasi bumi berusaha menariknya sebagaimana butir salju masih terus turun menutupi pohon dan semak-semak. Kenapa salju hanya ada di bumi? Seingatnya, dulu ia pernah membaca kalau salju pun turun di planet lain hanya saja dengan wujud sama sekali berbeda. Sama halnya dengan hujan di Saturnus yang berupa berlian dan ‘gunung berapi’ di Pluto yang sebenarnya berisi es.
Mengapa pula salju repot-repot menyelimuti permukaan bumi bila akhirnya hanya akan terinjak-injak oleh manusia?
Kala membatin demikian, netra Sakusa menangkap jalan setapak tanpa jejak kaki. Putih, sebersih kemeja seragam SMA Itachiyama yang baru dicuci. Langkah sang pemuda melambat. Jalan kecil itu sedikit curam, mengarah ke taman kecil dengan lapangan basket yang dikelilingi pohon sakura. Hujan salju masih deras dan lapisan putih di permukaan jalan bertambah tebal. Sakusa menengadahkan kepala, mendapati sakura yang mekar sempurna dilapisi salju putih serta es tipis.
Pemandangan yang aneh. Seolah hendak menjawab pertanyaan Sakusa—bahwa salju tidak turun hanya untuk mendarat di tanah kotor di bawah kaki manusia, namun juga di atas kepala mereka, di sosok keindahan yang tak terjangkau tangan mereka. Seperti sakura yang mekar di akhir bulan Maret. Seperti gadis yang berdiri di ujung jalan setapak itu.
🌸
“Arai-san.” Sakusa memberi jeda sebentar, menatap lekat-lekat lawan bicaranya. “Sudah mencuci tangan?”Arai mencoba menahan tawa kecilnya. “Sudah, kok.”
Sang pemuda mengangguk, seperti ibu yang mengapresiasi anaknya setelah menghabiskan seporsi brokoli. Lima detik berikutnya ia habiskan untuk mengambil napas dari balik masker, tersadar akan kecepatan detak jantung yang sedikit di atas rata-rata. Kali pertama tangan Sakusa bersentuhan dengan jemari mungil Arai, kejadiannya benar-benar tidak sengaja dan keduanya sama-sama mengenakan sarung tangan—yang tentu saja membuat Sakusa terjengat kaget dan Arai berkali-kali meminta maaf. Sang gadis tak menyadari bahwa sumber ekspresi tidak nyaman Sakusa bukan berasal dari kontak fisik yang ditakutkan menyebar kuman, melainkan alasan lain yang Sakusa sendiri sulit untuk mengerti.
Kini, setelah belajar memahaminya sedikit, Sakusa membayar permintaan maaf Arai dengan sentuhan hangat ujung jarinya di antara udara awal musim semi. Tak ada sarung tangan untuk menangkal dingin. Hanya ada suara debar jantungnya sendiri, suhu tubuhnya yang melonjak naik, dan warna sakura di pipi Arai yang tersembunyi syal rajutannya.
🌸
“Mungkin Kawayagi-san tidak menyukaimu sebanyak kau menyukainya.”
Terdiam, Sakusa membuang muka ke arah jendela. Ia tak suka mendengar Komori dengan santainya mengucapkan kalimat kejam sambil berlatih oper bola bersama dinding. Bagaimana Komori bisa semudah itu mengasumsikan apa yang cuma didengarnya dari cerita Sakusa? Komori bukan orang yang berhadapan dengan Arai sore itu, bukan saksi mata dari respon Arai sesaat setelah Sakusa menyatakan perasaannya, Komori bahkan masih memanggil gadis itu dengan nama belakangnya.
“Jangan marah, Sakusa.” Pemuda berambut cokelat itu melempar lirikan.
“Aku tidak marah,” sanggah Sakusa, masih sibuk menatap keluar jendela.
“Dengar,” lanjut Komori selepas membiarkan bola yang dilemparnya jatuh menggelinding menjauh, “aku tidak bilang Kawayagi-san tidak menyukaimu. Kurasa dia sebenarnya menyukaimu.”
Bila mau, Sakusa bisa mengajukan banyak pertanyaan pada Komori. Seperti dari mana datangnya asumsi-asumsi Komori, bukti macam apa yang mendasarinya, atau sekadar meminta saran soal apa yang harus dilakukan Sakusa setelah ini. Komori adalah kawan baiknya, tapi Sakusa tengah kesulitan memercayai orang lain. Sulit memercayai kata-kata Komori yang berkontradiksi dengan apa yang dialami Sakusa sebelumnya. Sulit memercayai Arai yang tersenyum padanya setelah Sakusa berkata ia menyukai gadis itu. Sulit memercayai dirinya sendiri.
“Mungkin kalian hanya memilih saat yang tidak tepat.”
Suara Komori menggema di rungu Sakusa, selagi atensinya tak bisa lepas dari pohon sakura yang bunganya nyaris gugur sepenuhnya. Kelopak merah muda bertumpuk melapisi tanah di bawahnya, mengingatkan Sakusa akan lapisan salju yang dilihatnya hari itu.
🌸
‘Kiyoomi-kun, berdiri di sebelahmu membuatku merasa seperti sedang berada di penatu. Tapi itu bukan hal buruk. Sejujurnya, aku menyukainya.’
Kalimat itu tertulis di bagian teratas kertas dalam amplop yang ditemukan Sakusa di loker sepatunya.
🌸
“Kiyoomi-kun?”
Napas Sakusa masih terengah ketika pandangannya berserobok dengan manik cokelat Arai. Ada banyak jenis bunga yang mekar di sepanjang jalan dari sekolah menuju ke sini, Sakusa tidak bisa menyebutkan namanya satu persatu namun aroma manisnya masih tersisa di bawah hidungnya. Ia lantas tersadar sedari tadi belum sempat mengenakan masker dengan benar, membiarkannya terlipat menutupi dagu.
“Aku tidak suka caramu bercanda, Arai-san.” Sakusa membiarkan posisi tangan kananya yang tadi terulur menepuk bahu gadis itu. Keduanya masih bertemu pandang sampai Arai terpaksa melirik gugup beberapa kali ke langit keunguan di balik sosok tinggi Sakusa.
“Maafkan aku.”
“Aku tidak menginginkan permintaan maafmu lagi.”
Kini atensi Arai segera jatuh mengarah ke ujung sepatunya. Di hadapannya ada sepatu hitam Sakusa yang biasa menimbulkan bunyi berdecit acapkali bertemu permukaan lantai jingga lapangan voli. Kala menyadari jarak yang terpaut di antara mereka, genggam tangan sang pemuda bergerak turun ke lengannya—hingga kemudian menemui jemarinya kembali, seperti terakhir kali.
“Tidak ada artinya meminta maaf jika kau masih berbohong pada diri sendiri, kau tahu?”
Sakusa menggenggam tangan gadis itu seperti kelopak sakura yang jatuh di telapak tangannya bersama sebutir salju—berharap bunga musim semi tak segera layu dan butiran salju tak segera mencair, berharap ia bisa berhenti dan mencegah segala di depan matanya berakhir jika ia berkedip. Jika Arai menganggap Sakusa beraroma mirip penatu, maka Sakusa mendapati wangi musim semi dari diri gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Evanescent
Fanfictionev·a·nes·cent (adj.) soon passing out of sight, memory, or existence; quickly fading or disappearing. Sakusa Kiyoomi fanfiction [OC Insert] cover oleh Jessie Willcox Smith