Mungkin mereka tak memiliki kisah seromantis banyak pasangan kisah cinta lainnya. Rama-Shinta bukan panutan keduanya. Kisah yang tak sempurna, begitulah kiranya. Terkadang tak akan ada duka bila tak ada bahagia, begitupun sebaliknya. Maka dari itu, keduanya percaya tak akan ada bahagia bila tak ada duka. Dan mungkin, kini adalah mula duka yang selalu mereka dapatkan dalam hubungan cinta. Cinta yang sebenarnya tidak berjalan apa adanya.
"Aku baru lihat kamu berani pakai baju itu." Kata Djati.
Sempurna dengan uang dan penampilannya, tak mengurangi eksistensi Djati sebagai suami yang kaku bukan main. Anjani Sita merasakannya. Kebosanan sampai melandanya karena fase kekakuan suaminya.
"Ini gaun tidur, bukan baju seperti yang kamu bilang."
Djati mengendikkan bahunya. Pernyataannya mengenai baju ataupun gaun tidur itu tak menjadi masalah. Yang bermasalah adalah bagaimana Sita tak mau membuka diri agar hubungan mereka bisa maju, meski hanya selangkah.
"Apa kamu akan tidur dengan gaun tidur itu kalo begitu?" tanya Djati kembali.
Mulai muak dengan pertanyaan Djati, perempuan itu membalikkan tubuh. Perlahan tapi pasti, Sita melihat kedalaman mata Djati yang sangat misterius.
"Jawabannya iya. Tapi aku nggak akan tidur di sini, di kamar ini."
"Lalu buat apa kamu ada di sini?"
Sita melebarkan tangannya, menunjukkan pada Djati mengenai keberadaan seluruh kebutuhan rias serta pembersih wajah rutin istrinya itu.
"Kamu bisa membawanya ke kamar yang selalu kamu tempati ketika malam hari. Kenapa masih bersikeras menaruhnya—bahkan menatanya di kamar ini?"
Sita mendengus keras. "Apa kamu bercanda, Djati? Kamu sendiri sangat paham kalo asisten rumah tangga yang mamamu bawa kemari itu akan melapor setiap kejadian di rumah ini sesuai dengan perintah mamamu. Apa kamu sedang sengaja menjerumuskan aku? Kamu menjadikan aku pihak yang terlihat jahat karena memilih tidur di kamar lain, tidak memilih dengan kamu!? Begitu!?"
Djati mendekatkan tubuh, menatap Sita lebih dekat dengan tinggi yang sangat kontras. Otomatis Sita harus mendongak untuk menatap berani pria yang sudah dijodohkan dengannya dan resmi menjadi suaminya selama empat bulan ini.
"Kamu nggak perlu beralasan panjang dan rumit seperti itu, Sita. Kamu hanya perlu pergi dan aku akan membuat asisten rumah tangga kiriman mama diam."
Sita meradang. Dia menahan gejolak amarahnya sendiri karena tingkah Djati yang sangat sombong itu.
"Kamu dan egomu memang tinggi. Kamu membuat seolah kamu mengusirku, tapi orang lain akan tetap berpikir buruk tentang aku!"
Tak menunggu Djati memberikan balasan lagi, Sita memilih membawa asal kebutuhan pembersih rutin malamnya dengan susah payah. Membuka pintu kamar dan sengaja tidak menutupnya membuat Djati menatapnya.
Sita tak pernah tahu, bahwa aroma yang ditinggalkan perempuan itu membuat Djati mabuk dan ingin mencoba sedikit saja merasakan aroma itu menyatu dengan miliknya. Sita tak pernah tahu, bahwa usaha Djati selama ini menahan diri hanya untuk menunggu perempuan itu siap. Bukan sengaja untuk menjauhkan Sita dari Djati.
Memilih membiarkan pintu kamar tidak tertutup rapat, Djati mulai melucuti pakaiannya sendiri dan berjalan kesana kemari guna menaruh barang penting dalam kantung celana serta jasnya, lalu memasukkan pakaian kotornya pada keranjang di ujung lemari.
Ketika hendak mengambil handuk dari gantungan yang tersedia, suara terkesiap membuat Djati langsung menoleh. Wajahnya masih santai, tapi sejujurnya begitu malu karena ereksinya dilihat oleh Sita yang sukses terkejut.
"Kenapa nggak ditutupin, sih!!?? Pintu sengaja dibuka lagi! Tahu gitu aku masuk nanti!"
Djati memakai handuk segera, meski begitu dia menahan senyumannya yang melebar. Gerutuan Sita membuat Djati senang.
"Kenapa ke sini lagi?"
"Ada yang ketinggalan!" Jawaban Sita tak membuat Djati bertanya lagi.
Perempuan itu segera berlari terbirit untuk keluar, sebelum ada kesempatan Djati si kaku bertanya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
SAILOR#1
General FictionThe sailors were glad to be arriving at home after their long voyage. Roedjati Klan #1 Djatiraga Pratama Roedjati