Daun maple yang berwarna kuning keemasan makin memenuhi taman yang Ji-eun tatap melalui jendela tempat tinggalnya. Semua orang juga tahu jika daun itu jelas merupakan sampah tapi Ji-eun malah menganggapnya cantik dan merasa sayang saat petugas kebersihan menyapu bersih daun itu, karena pemandangan seperti ini akan datang pada musim gugur saja. Ia menyukai fakta bahwa ia tinggal di negara empat musim karena ia dapat menikmati suasana yang lebih bervariasi daripada hidup di negara beriklim tropis. Seperti yang dulu Kim ssaem-guru pelajaran geografi saat di sekolah menengah- bilang, jika negara beriklim tropis terasa sangat monoton tanpa adanya bunga sakura yang mekar dan akan gugur saat berganti musim, salju yang jatuh dan akan meleleh juga saat pergantian musim, lalu juga daun maple yang gugur bersamaan pergantian musim seperti saat ini.
Suhu udara makin menurun karena musim dingin akan segera tiba. Ji-eun mengeratkan sweater rajut yang membalut tubuhnya. Ia kembali menyeruput secangkir teh krisan yang sejak tadi ia genggam, seketika hangatnya teh yang masuk ke dalam kerongkongannya menyebar ke seluruh bagian tubuhnya. Tinggal seorang diri di sebuah studio apartemen yang hanya berukuran 39 meter persegi selama dua tahun terakhir membuatnya makin terbiasa hidup seorang diri. Dengan pekerjaannya sebagai fotografer freelancer dan desainer produk membuatnya lebih sering menghabiskan waktu di rumah. Kadang ketika merasa bosan, Ji-eun akan pergi keluar dengan berjalan kaki ke café yang belum pernah ia kunjungi hanya sekedar untuk membaca buku kecuali saat musim panas. Ia sangat benci untuk keluar rumah saat hawa panas dan teriknya matahari membakar kulitnya.
Ji-eun menyunggingkan senyumnya ketika mengingat dua orang yang menularkan kebenciannya pada musim panas. Ia menghela nafasnya berat lalu bergumam, "Bagaimana kabar kalian ya? Aku rasa aku juga sudah terlalu lama tidak pulang."
Tidak akan ada yang menjawab pertanyaannya walaupun Ji-eun telah menggumamkan pertanyaan itu hampir setiap akhir musim gugur selama lima tahun terakhir jika ia tidak menemui objek yang berada di pikirannya selama ini.
•••
"Ya, Yoon Ji-eun!"
Ji-eun mengalihkan pandangannya dari tumpukan baju yang sedang ia rapikan kepada gadis yang sedang berjalan cepat ke arahnya dengan mata yang sudah berkaca juga wajahnya yang memerah karena menahan tangis. Di belakangnya ia melihat pria kesayangannya yang berjalan mengikuti gadis di depannya dengan senyuman yang sangat dipaksakan. Saat tiba di hadapannya gadis itu hendak memukulnya tapi tangannya tertahan di udara ketika Ji-eun sudah bersiap untuk menerima luapan amarahnya dengan menutup kedua matanya.
Saat Ji-eun membuka matanya, gadis itu malah memeluknya dengan erat. Sedetik kemudian gadis itu melepas pelukannya lalu memukul lengan Ji-eun bertubi-tubi.
"Ya! Kenapa kau tidak menungguku dan Jung Pil pulang dulu hah?! Kau sengaja ingin pergi tanpa berpamitan kan?! Dasar gadis jahat!!!"
"Kau yang terlalu lama di luar, Yi-eun. Aku tahu kau pasti pergi ke pantai lagi kan? Kenapa malah aku yang disalahkan disini? Ah, dasar." Ji-eun berpura-pura kesal lalu menghentikan tangan Yi-eun yang tidak berhenti memukulnya.
"Tetap saja kau-"
"Yoon Yi-eun..." Ibu Lim mengacungkan telunjuknya pada Yi-eun, mengisyaratkannya untuk berhenti bertingkah. Di belakangnya sudah berdiri seorang wanita paruh baya bersama dengan seorang laki-laki yang masih mengenakan seragam sekolahnya.
Yi-eun memicingkan matanya untuk melihat tulisan pada seragam laki-laki itu.
"SMA... Apgujeong." Yi-eun menegakkan badannya lalu kembali memukuli Ji-eun dan berteriak, "WAH, KAU AKAN PUNYA SEORANG OPPA!!! AKHIRNYA KEINGINANMU TEWUJUD HUWAA!!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
[I] Steady
FanfictionDunia diciptakan dengan seimbang. Seperti Tuhan menciptakan langit dan bumi, lautan dan daratan, malam dan siang, panas dan dingin, baik dan buruk, dan seterusnya. Semua itu bertujuan agar peristiwa di dunia ini tidak hanya condong ke satu sisi, dik...