🔳
Tenang, aku merasa sangat tenang berada di sini. Semua terlihat mengecewakan dari sini, tidak ada satu pun kebahagiaan yang menerimaku untuk tetap tinggal. Apakah seperti ini karma yang banyak dibicarakan orang-orang?
Aku melangkah tenang di jalanan desa yang becek dan lumayan berlumpur ini, masih terasa sekali suasana sehabis hujan tadi, aroma khas hujan pun masih terasa segar terhirup oleh indra penciumanku. Tempat pelarian dari segala masalah yang sangat sempurna, sudah lama rasanya tidak mendapat ketenangan seperti ini.
Sangat ingin rasanya saat ini menghilang sesaat bukan hanya dari bumi, tapi juga menghilang dari ingatan orang-orang yang mengenalku. Jika bisa memilih, aku menolak untuk terlahir di dunia ini. Bukan tak bersyukur, hanya saja sangat sulit untuk menerima segala kenyataan yang dihempas sekaligus.
Lembayung jingga mewarnai kemilaunya langit senja. Pertanda mentari akan berpamitan sebentar lagi pada seluruh makhluk bumi, mempersilakan semua umat untuk rehat sejenak dari letihnya. Juga pertanda dimulainya sunyi menemani raga.
Aku duduk di pinggiran sawah, menyaksikan mentari yang sebentar lagi terbenam, walau terhalang rimbunnya pepohonan tapi tidak mengurangi indahnya.
Saat-saat seperti ini, mengingatkanku kembali pada kisah rumit yang tidak ingin lagi kuingat, tentang permasalahan yang membuatku seperti bukan sosok pria seperti yang ada di benakmu---aku, seseorang yang lebih pantas disebut sebagai pecundang.
Kerapuhan.
Kata yang selalu melekat dan dikait-kaitkan dengan sesosok wanita. Namun, itu adalah kata yang paling mewakili keadaanku saat ini.
Serasa dihujani panah tepat di satu titik secara berulang-ulang, dan hanya bisa pasrah untuk menerimanya, karena mau tidak mau itu adalah takdir yang memang harus di jalani.
Jika wajar seorang pria untuk menangis di mata semua orang, aku akan menangis seperti anak kecil yang kehilangan mainannya---walau lukanya hanya sementara---tidak peduli pada tatap mata dan pikiran orang-orang terhadap tingkahnya.
Sudahlah aku sudah sangat lelah. Semakin aku mencoba untuk lupa, semakin aku akan ingat dan luka ini terasa makin koyak. Sulit rasanya saat mencoba mengikhlaskan semua rasa percaya yang sudah berganti dengan kecewa.
Kenapa air mata ini tidak bisa kubendung, langit malam sepertinya sedang tertawa menatap lelaki yang merasa dirinya paling terluka ini sedang menangis. Memang tidak adil rasanya jika aku merasa seperti orang paling terluka di muka bumi, padahal masih banyak kisah yang lebih menyedihkan dari ini. Biarlah langit malam ini tertawa, setidaknya hanya ia tempat mengadu paling terpercaya. Jangan pernah sampaikan deritamu pada orang lain, sekalipun ia adalah orang yang paling kau percaya. Karena belum tentu mereka paham perihal dukamu yang lara itu. Juga belum tentu mereka bisa menampung dukamu itu sendirian, banyak kemungkinan mereka membagi sedihmu pada orang lain.
Bahkan orang yang kugenggam erat tangannya, yang kutaruh seluruh cinta, kasih dan kepercayaanku sudah membuktikan padaku bahwa dirinya bukanlah orang yang bisa kupercayai.
"Arghh." Aku mengacak kasar kepalaku dan meleparkan sebuah batu ke tengah sawah, tampak beberapa orang yang baru saja pulang salat magrib memandang ke arahku. Kualihkan pandanganku dari mereka, dan tak lama mereka melepaskan pandangannya dariku kembali fokus pada jalanan yang dipijaknya.
Aku tahu persis memang bumi selalu berputar dan aku bukanlah porosnya. Aku sabar dan aku memaklumi semua rasa sakit ini. Tapi? Apa harus sekejam ini dunia memperlakukanku? Tidak ada keinginan khusus yang aku minta pada, Tuhan.
Aku tidak minta dunia berjalan sesuai mimpiku, tapi kenapa seluruh isi bumi menentangku? Menentang sesuatu di dalam diriku yang bahkan tidak aku mengerti apa yang mereka tentang. Aku tidak pernah minta dibela, apalagi diperjuangkan tapi kenapa dunia malah berbalik memusuhiku? Apa takdirku sebenarnya. Aku mencoba memandang dari sudut pandang Tuhan, tetapi Tuhan bukanlah sudut pandang.
Aku sudah cukup puas dengan cara Tuhan membuka semua topeng orang-orang di sekelilingku. Putih telah membawa cahaya dalam gelap hidupku.
Sudahlah, memikirkan takdir, masa depan, jodoh juga rezeki bukanlah bagianku. Tugasku hanyalah menyukuri apa yang telah terjadi padaku dan menjalani apa yang menjadi bagianku. Perihal kesakitan, duka, luka, juga lara, serahkan saja pada waktu, ia akan menyembuhkan, memperbaiki dan mendewasakan.
Plagiator please out from my story!
Tekan musik di atas! Rasakan sensasinya!👆
Salam hangat,
Nataliart.
KAMU SEDANG MEMBACA
Balon [Novel]
Romance[Jeda] [Update setiap Kamis, Sabtu dan Minggu] Akankah yang pergi akan pulang? Apakah putih bersedia membawa sinar datang ke dalam kegelapan lagi? Apakah yang telah ditaburnya tidakkan pernah ia tuai karena segalanya telah layu dan mati? Apakah hidu...