Berkah Kehidupan

8 1 0
                                    


Pusaran angin kecil sedikit menyejukkan bercampur dengan suara kipas tua, aku terpaku pada foto lama yang telah usang mengingatkanku pada jaman ketika aku masih mencari sekarung kulit padi untuk makan ternak Bapak.

Usia telah termakan waktu berjalan pun rasanya enggan, tapi lucunya kenapa kulitku seolah lebih bersih dari pada saat gadis dulu. Jangankan perawatan untuk bisa beli bedak saja aku sudah bersyukur.

Aku sudah tak lagi bekerja keseharianku hanya diisi dengan olahraga ringan setiap pagi. Siangnya hanya membaca majalah atau koran yang di bawa suamiku.

Meski sudah renta tapi suamiku masih juga bekerja, karena tak ingin merepotkan anak kami. Asuransi hari tuaku baru cair bulan depan, rencananya suamiku akan pensiun setelah asuransiku cair.

Untuk makan sehari-hari aku lebih sering beli dari pada masak sendiri bukan karena sudah tak kuat masak, tapi karena lebih sering lupa memasukkan gula yang selalu ku ganti dengan garam berulang-ulang.

Suamiku memahaminya mungkin karena aku di rumah jadi lebih cepat pikun dari pada dia yang bekerja di toko.

Anakku yang pertama bekerja di luar Kota hanya pulang sebulan sekali. Sedang yang terakhir masih kuliah S2 nya di luar Negeri.

Aku tak pernah kuliah tapi aku berusaha agar anakku sekolah setinggi-tingginya. Tak lupa pendidikan agama selalu ku utamakan. Dan Alhamdulillah mereka berdua sudah mengenyam pendidikan pesantren sejak kelas 7.

Pagi ini suamiku mengajakku berolahraga di taman Desa,  yang dibangun bersamaan dengan jalan tol yang ada di Desa kami.

Sejuk dan menenangkan sambil mendengarkan merdunya mp3 sholawat, ku berjalan menyusuri Taman. Suamiku masih kuat untuk berlari sedang aku hanya berjalan tanpa alas kaki.

Mataku tertuju pada pengamen kecil yang ada di tengah taman.  Suasana yang sama saat aku masih tinggal di Kota. Banyak anak kecil yang seharusnya belajar di Sekolah, namun harus mengamen di Pasar dan Taman Kota. Yang membuatku selalu bertanya-tanya kemana kah orang tuanya?

Membuatku merasa beruntung yang memiliki orang tua lengkap sampai menikah dan punya anak, meskipun berbagai percekcokan ku alami.

Dari mulai cara mereka yang keras dan kasar saat bicara, hingga kesalah pahaman yang tak kunjung reda. Setidaknya itu lebih baik dari pada harus hidup tanpa orang tua.

"Ayo pulang sayang" lamunanku terbuyarkan dengan ajakan suamiku.

Taman yang tak jauh dari rumah  membuatku memilih jalan kaki saja dari pada naik motor. Di ujung jalan aku di buat kaget dengan kedatangan anak dan menantuku yang sudah ada di depan pagar.

Ku percepat langkahku untuk menyambut mereka.
"Kok gak ngabari dulu sih nak, kan biar Ibu bisa siapkan makanan"

"Sengaja Bu, Fitri gak mau merepotkan Ibu"

Aku beruntung sekali punya menantu yang menggapku seperti ibunya sendiri, dari kecil orang tua Fitri sudah meninggal. Dia tinggal bersama Kakek dan Neneknya sementara Ayahnya bekerja di Kota.

Didikan yang santun dan lembut membuat pribadi Fitri penuh kasih sayang, wajahnya yang manis dan perangainya yang menyenangkan, menjadikannya wanita idaman setiap mertua. Kulit sawo matangnya seolah tertutupi oleh semua itu. Dia cerdas meskipun tak lulus kuliah karena terhalang biaya.

"Tadi Ibu lihat ada info beasiswa di Taman, bisa di coba itu Fit"

"Gak usah bu, bisa melayani mas Faisal aja dah seneng kok"

Setiap di beritahu ada beasiswa kuliah Fitri seolah menolak, padahal aku tahu pasti di benaknya ada keinginan untuk kuliah.

Andai dulu suamiku menyarankanku untuk kuliah mungkin sudah ku ambil, karena bosan tidak diizinkan bekerja di luar ku putuskan untuk berbisnis online.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 22, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Berkah kehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang