Telepon

214 21 1
                                    

Malam itu dingin. Rembulan bersinar terang di langit hitam tak berbintang. Sunyi senyap selimuti malam. Lampu-lampu rumah dan jalan menemani bulan menyinari bumi, menggantikkan bintang-bintang yang tak Nampak. Orang-orang berlalu lalang, berjalan-jalan atau pulang ke rumah setelah pekerjaan yang melelahkan. Mencari hangatnya rumah yang dirindukan sepanjang hari.

Di sebuah rumah sederhana berlantai dua, di sebuah kamar kecil berantakan, tampak sosok seorang gadis muda mengenakan gaun tidur merah berbaring menatap layar ponsel nya yang menyala. Sebuah foto berisikan sosok 5 remaja dengan senyum bahagia menjadi fokus perhatiannya. Manik coklat sang gadis menatap masing-masing sosok remaja dalam foto itu.

Seorang pemuda berhidung panjang dan berambut hitam keriting tertawa lebar dengan tangan kanannya merangkul pundak seorang gadis berambut jingga. Sang gadis cantik memiliki senyum yang lebar dan membuat bentuk telinga kelinci di atas kepala seorang pemuda berambut hijau pendek. Pemuda itu menyeringai dan menatap tajam seorang pemuda berambut pirang dan beralis keriting yang balas menatapnya, namun senyum lebar dapat terlihat terlukis indah di wajah tampannya. Di depan keempat orang itu tampak seorang gadis pendek berambut hitam yang tersenyum lebar dengan sebuah boneka rusa dipelukkannya. Kelimanya nampaknya berada di sebuah festival.

  Maniknya berkaca-kaca, bibirnya bergetar. Suara isakan kecil muai keluar dari bibir marun sang gadis. Ponsel itu ia letakkan di sebelahnya dengan kasar, tak kuat melihat foto yang menyakitkan hati itu. Dengan pandangan kabur, ia menangkap sosok boneka rusa dari foto. Kedua tangannya terulur cepat dan memeluk boneka kecil itu, tangisannya kian kuat, namun tak terdengar dari balik lautan bulu coklat halus boneka itu.

“Oh Chopper… apa yang harus kulakukan…”

Jemari lentiknya membelai lembut boneka itu, berusaha menahan memori akan bagaimana ia mendapatkan boneka kesayangannya itu. Tentang bagaimana Ussop memenangkannya dari di festival saat melihatnya murung. Tentang Sanji yang marah-marah dan berujung pada pertengkaran antara dia dan Zorro. Tentang Nami yang emosi dan menagih hutang berlebih dari ketiganya. Tentang bagaimana Luffy yang tertawa bahagia melihat tingkah mereka…

Tangisnya mereda, namun pandangannya kosong. Pelukannya pada bonekanya mengerat, seolah takut akan kehilangan lagi. Ia tenggelam dalam lautan memori, mengenang kenangan indah yang kini terasa pahit.

Lamuannya buyar tat kala ponsel nya berdering. Heran, tak tahu siapa yang menghubunginya malam-malam. Dulu, dikala ponselnya berdering, Luffy dengan semangat akan mengangkatnya, tak peduli dari siapa, dan membalas mereka dengan suara cemprengnya. Namun sekarang, mengangkat tangannya saja ia lelah. Dengan pandangan masam ia membalikkan badan, berpura-pura seolah taka da bunyi yang mengganggu. Waktu berselang, tetapi suara menyebalkan itu tak kunjung berhenti. Dengan hati panas ia pun mengangkatnya.

“Ya halo!”

Jawabnya kok nggak sopan banget. Seperti inikah biasanya kamu mengangkat telepon?

Sebuah suara berat menyambutnya, dengan tubuh panas dingin Luffy membalas, “A-ah, Traffy, maaf. Aku kira siapa.”

Desahan nafas terdengar dari ujung sana, membuat pipi tembam Luffy sedikit memerah, “Sudah berapa kali kubilang, namaku Trafalgar. Kalau memang susah, panggil saja aku Law.

“Tapi aku lebih suka Traffy, dan Law terdengar membosankan. Shishishi.”

Senyum merekah di wajah manisnya. Meski belum lama saling kenal, ia sudah merasa nyaman bersama sang pemuda keturunan Jerman itu. Banyak yang bilang bahwa sang ketua OSIS adalah orang yang serius dan dingin, bahkan terkadang sadis. Namun ia sekarang tahu bahwa semua itu tak lain hanyalah kesalah pahaman dan rumor semata, walau Law tampaknya sangat menyukainya.

RumorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang