MENEMU KUNTUM-KUNTUM RINDU DI JEJAK SAJAK

494 0 0
                                    

Oleh : Muhammad Rois Rinaldi

(Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Kota Cilegon)

Sebuah puisi yang termuat dalam “JEJAK SAJAK” yang merebut perhatian saya lantaran meski dibaca berkali-kali seakan saya tetap ada di dalamnya, ada degup yang dapat saya rasakan begitu sabar juga amat debar menghampar doa-doa yang seakan tiada habisnya. Sajak tersebut berjudul “KUNTUM-KUNTUM RINDU”  Karya Rahayu Wilujeng seorang pensiunan PNS di akademi kepolisian semarang yang aktif dalam berbagai kegiatan sastra, meski saya tidak membahas tentang kumpulan puisinya namun secara garis besar karya-karya Rahayu tercipta atau terinspirasi dari hal-hal yang dekat dengan dirinya sehingga karyanya terasa nyata. “KUNTUMKUNTUM RINDU” ini akan terasa benar menguntum jika kita kaji lebih mendalam terutama pergulatan batin yang disajikan. Mari kita menikmati  sajak  tersebut :

KUNTUMKUNTUM RINDU

Sore ini alangkah indahnya, Ra, ingin kujumputi kuntumkuntum bunga kering

yang dahulu kerap kau kumpulkan lalu kau letakkan sebagai penghias buku cerita

Saat mentari merah saga mengumbar senyum, aku pun tersipu karenanya

aku tak peduli, tetap kupunguti kuntumkuntum rindu tak henti

wajahmu menari sepanjang sore di antara reranting bunga taman ini

Senja hampir tenggelam, Ra, tak jua ku sua letih, memungut senyummu

yang menyemburat guncang dadaku, betapa memikat, Ra, biar kusunting

kuntumkuntum rindu itu lantas kusematkan di hatiku, selalu

Candibaru, 13/10/2011

Kuntum-kuntum yang dipintali seorang Rahayu untuk mengenang dekap kebersamaan di masa lalu beriring doa-doa yang kesemuanya bermuara pada rindu, terasa amat debar dan gemetar juga degupnya dapat terasa sedemikian rupa. Pengolahan kata yang sederhana ternyata mampu menyergap emosi pembaca dan menyeret imaji masuk dalam-dalam di kedalam puisi tersebut. Rasa yang melintasi ruas-ruas perasaan penyair terasa amat tegas tanpa menghilangkan kesyahduan. Sekali lagi saya katakan jika dibaca sekilas “kuntum-kuntum bunga kering” yang terdapat dalam larik pertama di bait pembuka sebagai sebuah lanskap keadaan mungkin saja hal yang sederhana, namun di tangan seorang penyair tentu tidak lantas sesederhana itu.

Di dalamnya tersirat sebuah rasa yang memang tidak dapat dibaca secara benderang namun masih dapat diterawang apa gerangan yang hendak diungkapkan dan larik berikutnya menjadi sebuah pintu gerbang bagi pembaca untuk mengetahui hal tersebut “yang dahulu kerap kau kumpulkan lalu kau letakkan sebagai penghias buku cerita” dengan membaca larik kedua yang sekaligus sebagai penutup bait pertama dapat ditemukan symbol “kuntum-kuntum bunga kering” adalah sebentuk keadaan yang mungkin tidak begitu indah lantaran bukan warna-warni kelopak namun kekeringanlah yang menjadi penghias “buku cerita” symbol buku cerita pun tidak serta merta dapat ditafsirkan secara denotative namun kita dapat menafsirkannya secara konotatif yang dalam artian lain “buku cerita” adalah kehidupan itu sendiri, kehidupan yang terjadi secara nyata pada waktu dan keadaan tertentu.

Lantaran teks puisi selalu berisi pemikiran-pemikiran yang rumit, struktur rumit, serta ditulis dengan pemilihan bahasa yang rumit untuk menuliskan sebentuk rasa yang memang tidak untuk dibuat seperti curhat atau catatan harian.(Walau disajikan sesederhana mungkin, puisi tetap menggunakan metafora sebagai symbol pengungkapan yang terlepas sebatas kata itu sendiri, ada makna yang perlu dikuak dan mesti dilakukan secara hati-hati)  Oleh karena itu, teks puisi perlu ditafsirkan untuk memperjelas artinya. Teks puisi adalah karya seni. Oleh karena itu, harus diterangkan sampai sejauh manakah nilai seni karya teks puisi itu. Analisis dan penafsiran teks puisi harus dihubungkan dengan penilaian (cf. Wellek, 1968:156). Dan yang lebih saya amini adalah pendapat Shelley yang mengemukakan bahwa puisi adalah rekaman detik-detik yang paling indah dalam hidup. Misalnya saja peristiwa-peristiwa yang sangat mengesankan dan menimbulkan keharuan yang kuat seperti kebahagiaan, kegembiraan yang memuncak, percintaan, bahkan kesedihan karena kematian orang yang sangat dicintai. Semuanya merupakan detik-detik yang paling indah untuk direkam. Maka belumlah kita temukan apa gerangan puncak rasa “KUNTUM-KUNTUM RINDU” maka perlu menelisik lebih dalam lagi :

Waktu seperti isyarat-isyarat yang senantiasa mengikuti jejak langkah manusia, karena waktu pada saatnya menjadi garis finis yang tidak dapat terelakkan, bahkan Alloh SWT sebagai Robb alam semesta pun bersumpah atas mahluknya, yakni “Demi Masa” dalam surat “Al-Asr” juga bersumpah demi “Matahari” dalam Surat Asy-Samsy yang kesemuanya menjadi symbol-simbol waktu. dan penyair ini pun menggunakan symbol “mentari merah saga” atau lebih umumnya matahari saat senja : “Saat mentari merah saga mengumbar senyum, aku pun tersipu karenanya” larik pembuka bait kedua ini dapat ditafsirkan bahwa si aku lirik dalam keadaan yang sudah tidak muda lagi, dan si aku lirik sadar betul akan hal itu “aku pun tersipu karenanya” namun meski dalam usia yang terbilang tidak muda lagi aku lirik enggan peduli tetap ia memunguti kuntum-kuntum rindu, karena dengan begitu ia bisa menyaksikan wajah-wajah menari, sambil menyapanya dengan senyuman sebagai sesaji paling indah di setiap sore hari.

Di antara reranting taman bunga “aku tak peduli, tetap kupunguti kuntumkuntum rindu tak henti/ wajahmu menari sepanjang sore di antara reranting bunga taman ini” di sini pun dapat diambil cara penyair ini dalam memilih diksi selain sanggup memberi gambaran tentang sebuah keadaan lengkap dengan sikap si aku liriknya, pemilihan diksi nya pun menurut saya sangat cermat, kenapa? Jika sudah menulis “kuntum-kuntum bunga kering” akan sangat berbahaya bagi sebuah teks puisi jika di larik pembangun berikutnya terdapat larik yang mungkin jika penyair kurang jeli akan menulis seperti ini “wajahmu menari sepanjang sore di antara bunga bermekaran” namun selamatlah mengambil symbol “ranting” yang memang telah ditinggalkan kelopak yang mengering.

Sejauh ini masih saja samar dan tentu kesamaran ini adalah bagian dari kenikmatan sebuah teks puisi, lantaran pembaca akan dibuat penasaran untuk terus membaca (Walaupun fenomena hari ini adalah, kebanyakan pembaca puisi amat mencendrungi puisi berdasarkan kemudahahannya, saya berkata demikian karena saya melakukan penyisiran di beberapa FP dan FP dengan model puisi ala kadarnya yang hanya mengedepankan kata “cinta” dan kata-kata yang cenderung bukan puisi melainkan semirip kumpulan kata bijak yang dirangkai berbait-bait seolah-olah itu adalah puisi yang banyak digandrungi dan inilah tugas penyair untuk mengembalikan mentalitas pembaca agar mau membaca bacaan yang benar-benar layak untuk dibaca.) mari melanjutkan penelisikan :

"Senja hampir tenggelam, Ra, tak jua ku sua letih, memungut senyummu/yang menyemburat guncang dadaku, betapa memikat, Ra, biar kusunting/kuntumkuntum rindu itu lantas kusematkan di hatiku, selalu"

pada bait ketiga yang merupakan bait penutup puisi “KUNTUMKUNTUM RINDU” ini seakan memberikan titik perenungan bagi pembaca yang merupakan titik sadar aku lirik “Senja hampir tenggelam” namun mungkin inilah yang disebut dengan cinta yang tulus tak mengenal waktu dan tak mengenal letih untuk tetap memungut cinta meski kini menjelma jadi kuntum-kuntum rindu yang boleh jadi menyiksa hati namun di sisi lain begitu nikmat untuk diresapi “tak jua ku sua letih, memungut senyummu” dan di larik selanjutnya siksa hati itu digambarkan dengan sangat jelas “yang menyemburat guncang dadaku, betapa memikat” symbol “semburat” yang dalam kamus memiliki arti “memancarkan cahaya; bersinar” disandingkan dengan symbol “guncang” yang berarti “goyah” adalah pengikatan diksi yang apik, bahwasanya dalam keadaan yang menyakitkan lantaran hanya bisa memunguti kuntum-kuntum rindu sedangkan pertemuan tidak juga tersaji sebagai jamuan yang menghangatkan di senja hari: cinta tetap terjaga dan harap tetap mendekap erat. “biar kusunting kuntumkuntum rindu itu lantas kusematkan di hatiku, selalu” larik terkahir ini telah menggenapkan rasa dengan selamat sehingga terbaca sangat nikmat juga memikat untuk ditelisik lebih dalam oleh setiap pembacanya.

Ketulusan dan penyerahan habis-habisan terbaca apik di dalamnya. dan “Ra” yang dalam puisi ini disebut sebanyak tiga kali, yakni satu kali di bait pertama dan dua kali di bait ketiga, menurut kacamata baca saya, di sinilah titik kekuatan puisi ini, “Ra” adalah panggilan atau sebutan terbaik bagi orang yang amat disayangi dan dicintai oleh aku lirik sehingga rasa cinta yang sebegitu tulus dapat pula dirasakan oleh pembaca, ya! Seakan saya sendiri ikut menyeru “Ra…” bahkan lebih dari tiga kali.

Demikianlah apresiasi sederhana ini, lantaran kekaguman saya terhadap cinta si aku lirik yang begitu tulus. Semoga bermanfaat. Salam sastra.

Cilegon-Banten

28 Agustus 2012

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 07, 2012 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

MENEMU KUNTUM-KUNTUM RINDU DI JEJAK SAJAKWhere stories live. Discover now