hiraeth

726 34 14
                                    

Bias jingga terlukis pada saat mentari hendak membenamkan diri. Dari balkon lantai 4 itu Kawamura Kazuma mengamati hiruk-pikuk di bawahnya. Kini jalanan kota cukup padat karena sudah memasuki jam pulang sekolah dan kerja. Halte bus dipenuhi antrean panjang para pengguna transportasi umum. Rombongan anak SMA menyerbu kafe dan sisanya ada yang berjalan-jalan di taman untuk menghilangkan suntuk sebelum kembali ke rumah masing-masing.

Lintingan tembakau yang terselip di antara kedua bibirnya ia tarik menjauh, membiarkan kandungan nikotin di dalamnya untuk singgah ke paru-paru dulu sebelum ia embuskan keluar mengepul dan mengkontaminasi udara sore musim semi yang hangat. Matanya menatap batang rokok di antara jari telunjuk dan tengahnya, itu merupakan rokok terakhirnya.

Ini rekor pertamanya menghabiskan setengah bungkus rokok hanya dalam waktu yang singkat. Sebagaimana lelahnya ia menjalani hidup, ia tidak pernah segila sekarang. Mengingat jadwal tour solonya akan tiba dalam beberapa minggu ke depan dan ia juga disibukkan dengan rekaman album bersama The Rampage. Gawat kalau pihak agensinya bernaung itu tahu apa yang ia lakukan.

Bulan keempat, cuaca yang cerah dengan warna-warni bunga bermekaran berhasil mengukir senyuman di bibir setiap warga kota. Hal itu sangat kontras dengan kondisinya saat ini. Wajahnya memang tidak menyiratkan ekspresi, tetapi siapa sangka kepalanya dipenuhi dengan berbagai pernyataan, kebohongan dan penyesalan yang terus bercabang dan meluas selama ia termenung? Kekalutan menyelimuti hatinya, emosi bercampur menjadi satu. Ia pun bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi?

Siapapun tolong beritahu pemuda ini kalau ia sedang merindukan seseorang.

Kazuma masuk ke dalam apartemennya. Mencari lemon sour kesukaannya di dalam lemari pendingin. Setelah menemukan minuman kaleng itu, ia menutup pelan-pelan untuk melihat lampunya mati. Di usianya yang telah menginjak 28 tahun, konyol sekali memang. Ia mengambil tempat duduk di sofa beludru, sedikit banyak bisa memberikan kenyamanan padanya. Berapa jam tadi ia berdiri di balkon? Ia melirik ke arah jam dinding. Pukul enam sore, sekarang. Wajar saja kalau kakinya pegal dan sedikit kebas, ia sudah merenung di sana sejak pukul empat tadi.

Kaleng minuman itu mendesis sebagai tanda penutupnya telah dikoyak. Kazuma meneguk dengan rakus untuk mengaliri tenggorokannya yang kering sehabis merokok tadi. Kalau Riku-san ada di sini sekarang ia pasti dimarahi habis-habisan oleh yang lebih tua itu. Hari libur, yang sebelumnya menjadi hari yang paling ia tunggu-tunggu kini menjadi hari yang paling ia inginkan untuk cepat berakhir. Ia lebih suka berdebat dengan Zin-san atau menggoda Hokuto ketika rekaman. Ia butuh guyonan tidak penting dari Shohei. Ia tidak bisa menelepon Takuma untuk mampir ke apartemennya hari ini, ia sedang di rumah orang tuanya. Tidak juga menelepon Makoto yang mengaku sedang ada janji berkencan. Kazuma tertawa miris, sial, ia kesepian.

Pikirannya melambung jauh mengundang kenangan manisnya dengan seseorang. Benar 'kan kalau ia sedang merindukan seseorang? Merindukan juga hari-hari dimana kepulangannya selalu disambut dengan kehangatan. Seperti pada salah satu hari tanggal belasan di musim gugur hampir dua tahun lalu.

"Tadaima!" Suara feminim terdengar bersamaan dengan terbukanya pintu. "Ah! Okaeri Kazuma-kun!" Perempuan itu menghambur ke pelukan pemuda yang sedang dibalut celemek coklat muda.

"Kau yang baru pulang kenapa kau yang mengucap 'okaeri', huh?" Kazuma mengacak rambut panjang Kawanishi Miho, kekasihnya, seorang guru sekolah dasar yang sangat disayangi murid-muridnya. Ia lebih tua beberapa bulan daripada Kazuma.

"Tapi, kau yang benar-benar baru pulang!" balas Miho sambil menunjuk ke arah hidung Kazuma. "Perlu aku bantu memasak?" Perempuan itu melepas kardigan krem dan menyisakan tubuhnya dibalut dress selutut tanpa lengan. Surai gelapnya ia ikat tinggi-tinggi.

hiraeth [kazuma kawamura/the rampage from exile tribe]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang