Your first impression for me
Ketika dua orang bertemu untuk pertama kali, mereka akan saling memberikan kesan. Apakah dia pendiam, ramah, atau merupakan sosok yang ceria. Seperti kesan pertamaku untuk Aji yang sangat enerjik, yang membuatku bisa berteman dengannya bahkan sampai sekarang.
Memberikan kesan pertama pada seseorang merupakan hal yang wajar. Mungkin untuk sebagian lain tidak, karena kesan pertama kadang tidak pernah sejalan dengan kenyataan.
Orang lain kadang sering memanipulasi diri, entah untuk sebuah tameng, atau mungkin untuk sebuah citra yang diinginkan.
Cukupkan pikiranku untuk teori matakuliah kali ini, terlalu banyak berpikir bisa membuat otak kelelahan. Aku sedang berjalan ke sebuah kerumunan, dimana Aji sedang menungguku.
Setelah ulang tahunnya dirayakan kemarin, Aji mulai menceritakan kepada semua orang bagaimana perayaan ulang tahunnya berjalan. Mulai dari lilin yang kembali menyala setelah ditiup, sampai seberapa lelahnya Aji setelah perayaan selesai.
Honestly, he's full of himself.
Aku tidak tahu kalau rencana Aji setelah meninggalkan fakultasku adalah pergi menjemput temannya yang lain, coba tebak siapa?
Yudha.
Sebenarnya tidak ada yang salah, hanya aku yang merasa canggung jika harus berada satu mobil dengan orang kaku seperti Yudha. Untungnya ada Aji.
Yudha langsung menyapaku satu detik setelah dia duduk dengan nyaman di kursi depan. Katanya, Aji tidak mau menyetir karena mengantuk, dan sekarang dia sedang duduk dibelakang sambil memeluk tasnya. Aku tak terlalu menggubris sapaan Yudha selain dengan sebuah dehaman sambil terus meperhatikan gawai.
"Gue numpang di rumah Aji, mau nginep," kata Yudha tiba-tiba.
Aku tidak bertanya, tapi memang sedikit penasaran kenapa Aji tumben membawa orang lain selain aku di mobilnya.
Tidak ada yang menarik di gawaiku, yang aku lakukan hanya menelusuri timeline media sosial barang kali ada kabar baru entah tentang apapun itu. Tapi nihil, yang ada hanya post biasa milik orang-orang yang menjadi mutualku.
"Di mobil enaknya denger lagu apa?" tanya Yudha, secara tiba-tiba lagi.
"Bebas."
Kebetulan mobil yang aku tumpangi ini berhenti di sebuah perempatan lampu merah. Aku diam-diam melihat pergerakan Yudha, mulai dari menyambungkan gawainya dengan mobil, sampai menyalakan lagu, entah lagu apa yang dia putar.
Volumenya tak terlalu besar, tapi tak terlalu kecil juga. Aku yakin kalau beberapa menit kemudian Aji akan bangun dan mengumpat karena speaker mobil tepat dibelakang Aji.
"Anjing! Ini lagu apaan sih berisik amat," kata Aji setengah sadar.
Betul 'kan.
Aku tidak tahu kalau selera Yudha adalah lagu yang seperti itu, aku tidak tahu judulnya apa, yang jelas penyanyinya berasal dari Indonesia.
"Bebas," kata Yudha sedikit memutar kepalanya untuk menjawab pertanyaan Aji.
Aku tak tahu ekspresi apa yang dibuat Aji setelah mendengar jawaban dari Yudha sampai tidak mengucapkan sepatah katapun. Aku juga sebenarnya tidak mengerti apa yang disebutkan Yudha barusan, bebas? Tidak mungkin Yudha memutar lagu berjudul bebas karena aku berkata bebas 'kan?
"Mala yang bilang lagunya enak," sambung Yudha.
Astaga... Yudha...
Selain orang dengan muka jutek, Yudha juga ternyata orang yang tidak berpikir panjang dan menarik kesimpulan dengan cepat.
Itu pendapatku. Lagi pula, masa aku berkata bebas dia langsung memutar lagu berjudul bebas? Padahal maksudku bebas adalah bebas mau lagu yang manapun pasti enak jika dibawa untuk mengemudi.
Setelah itu, Aji tertawa. Untung tidak sekeras biasanya karena Aji masih setengah sadar.
Pokoknya aku tidak mau lagi satu mobil dengan Aji kalau ada Yudha. Karena aku merasa tidak cocok untuk berteman dengan Yudha.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear My Sweetheart
Short StoryOrang bilang, kalau pengen kenal dekat sama Yudha harus naik turun gunung dulu. Kalau begitu, kenapa jalanku untuk mengenal Yudha bisa secepat dan selancar seperti mengemudi di jalan tol? Kata Yudha sih, "karena sudah nasibnya Nirmala, ngapain har...