A prompt;
Yin said, "After this is over, feel free to lose my number."
-----------------------------------------------------------------------------------
Langkah cepat yang terdengar berisik itu perlahan memelan, sambil si empunya kaki berbalik badan sedikit-memeriksa sekitar. Napasnya memburu, coba dia netralkan secepat mungkin. Dalam benaknya dia berharap, semoga nanti dan nantinya lagi orang itu tidak lagi-lagi mengikuti dan memaksanya.
"Woy!" Teriakan di telinga serta tepukan di punggung dia rasakan, membuatnya lagi-lagi merasa awas.
Menoleh pada orang yang sejajar dengannya, kemudian mendengus. "Anjing gue kira si Puan!"
Puan, perempuan rambut panjang dengan senyum manis dan mata teduh, mantan Yin, si laki-laki yang tadi berlari.
Yang menepuk hanya tertawa. "Tadi gue liat lo dikejar-kejar dari parkiran. Gila ya belum nyerah juga, salut!"
Yang diajak bicara lagi-lagi mendengus. Tak habis pikir kenapa bisa temannya merasa salut kepada orang yang jelas-jelas mengganggu.
"Gimana caranya ya, Prom, biar dia gak ngejar lagi? Sumpah gue capek, was-was banget hidup gue sebulan ini di kampus." Keluh Yin, sementara Prom-orang di sebelahnya, hanya bisa mengangkat bahu sambil mengelus punggung temannya untuk memberi emotional support.
*
Bukan salahnya jika dia kesal, ingin berhenti. Dengan teman, dengan keluarga, juga dengan hidup yang selalu dia anggap menyusahkan. Pikiran tentang untuk apa dia terus hidup jika hidupnya hanya untuk orang lain terlalu sering mengisi pikirannya akhir-akhir ini. Seperti tidak berarti tapi juga dia harus hidup.
Katakan saja dia labil, tapi Yin benar-benar harus hidup di bawah ekspektasi orang-orang, yang hanya punya dirinya sebagai satu-satunya yang bisa diandalkan. Dia ingin, hidup dengan dunianya sendiri, dengan caranya sendiri, tapi belum bisa dan mungkin tidak akan bisa.
Bayangan bagaimana Mamanya tersenyum sambil memeluk dirinya, bilang kalau wanita paruh bawa itu bahagia jika Yin mau menuruti keinginannya. Lagi, lagi dan lagi sampai Yin lupa kapan terakhir kali dia hidup dalam hidupnya.
Sedangkan Papa hanya berdiri di sana, di antara pintu ruang makan dan ruang keluarga. Tangannya bersedekap, mengangguk dua kali saat Yin menampilkan wajah memelas, lagi, lagi dan lagi.
Awan abu, di atas gedung tempat dia membaringkan badan. Matanya tertutup, meresapi angin yang tiba-tiba berhembus dingin dan agak kencang. Tanda akan datangnya hujan. Yin tidak sedikitpun bergerak, meski tahu nantinya akan buru-buru berteduh karena kehujanan.
"Fuck!"
Bukan hujan yang datang, melainkan suara umpatan yang dapat Yin dengar dengan jelas. Terusik, jelas sekali, karena sangat jarang ada orang yang datang ke rooftop gedung apartemen tempatnya tinggal ini. Dia bukan orang yang suka memperhatikan orang lain, tapi kali ini dia benar-benar terusik. Suara umpatan itu terdengar makin kencang dan membuatnya pusing.
"Bilang anjing, kalo nggak mau tuh bilang!" Teriak orang itu, posisinya ada di ujung kanan, tepat di depan pintu.
Yin duduk, dengan kepala yang dia pijit pelan. "Berisik banget."
Padahal suaranya cukup kecil, tapi orang di ujung sana menoleh, kemudian melebarkan matanya yang terlihat sedikit sembab. Buru-buru dia mengusap pipi yang sedikit basah, kemudian tersenyum canggung ke arah Yin. "Sorry, gue nggak maksud buat ganggu lo."
Yin mendengus. "Gak apa-apa. Gue juga udah mau pergi."
"Oh-yaudah, sekali lagi maaf ya. Gue pasti kelihatan aneh banget." Suara laki-laki itu masih terdengar bergetar.
KAMU SEDANG MEMBACA
PROMPTS
FanfictionSebuah project untuk diri sendiri agar lebih produktif selama WFH. request story by prompts. bxb ya tapinya😋