IRI by Selabld dan Fitrah K. A. F

634 42 4
                                    

Gore! +18 kekerasan. Tidak untuk ditiru.

Happy Reading.

Aku yang mengajarinya membuat Creepypasta. Aku yang mengajarinya membuat gore. Sialnya, dia yang lebih sukses daripada aku.

Maka dengan jabatanku sebagai gurunya, kumanfaatkan hal itu untuk menarik semua ilmu yang dia dapat. Mulai dari tangannya yang kupotong hingga dia berhenti menulis. Dilanjutkan kedua matanya kucungkil hingga dia menjerit histeris.

Rasakanlah, Fitto!

Suaranya yang memekakan telinga lantas membuatku tersenyum senang. Rasa bahagia hinggap di hati saat melihatnya tersiksa seperti ini.

Suara menyedihkan itu diiringi dengan isak tangis minta tolong darinya. Kuambil pisau dapur lalu kurusaki wajahnya dengan benda berkilau itu. Dia menjerit untuk yang sekian kalinya.

Wajah yang dulunya terlihat biasa saja, kini semakin cantik berkat lukisan indahku. Kulitnya terlepas, urat-urat di antara daging bahkan nampak sangat jelas di mata. Sungguh pemandangan yang luar biasa.

Meski sudah tidak bertangan dan berkulit wajah, tenaganya masih ada. Dia menendangku hingga terhuyung ke belakang. Sedikit terkejut, segera kuambil gergaji di dekat perkakas. Satu tarikan, dia menjerit. Dua tarikan, dia memohon ampun. Tiga tarikan, satu kakinya terlepas.

Belum puas dengan kaki yang lainnya, kulakukan hal yang sama pada kaki selanjutnya. Hingga daging beserta tulang kakinya terpotong dengan sempurna. Dia menjerit meminta ampun, tapi tak kuhiraukan.

Kuraih cutter yang berada di atas meja tempatnya dia duduk saat kuculik tadi, lalu memotong lidah manisnya yang selalu berkoar-koar memamerkan prestasi dalam Creepypasta. Untuk kesiakan kalinya, dia menjerit kesakitan, tak mampu berbicara lagi.

"Mhao muuuu apuuaahhh ...?" Meski lidahnya hanya tinggal beberapa senti lagi, dia masih bisa berucap walaupun tidak jelas.

Merasa geram, aku berjalan kembali ke arah perkakas. Mengambil satu benda panjang yang wajib menjadi alat penyiksaan selanjutnya. Linggis.

Besi panjang itu segera kutusuk lewat mulutnya. Badanya bergetar hebat, terlihat lucu karena tanpa tangan dan kaki. Lagi, kubenamkan linggis itu hingga masuk tiga seperempatnya.

Jika saja matanya masih ada, pasti dia sekarang tengah melotot menatapku dengan tajam. Sebagai tanda akhir hidupnya, dia menghela napas panjang kemudian diam membisu. Segera kucabut linggis itu, sebagian organ dalamnya tercabik dan menempel di besi panjang ini. Tak lupa, darah menetes begitu banyak. Bahkan sampai membuat lenganku banjir cairan amis itu. Sudah mati pun tetap saja dia selalu membuatku kesal!

Suara yang memekak penuh jeritan tak terdengar lagi di telinga. Terasa puas saat melihatnya terbujur kaku seperti ini, membuatku tersenyum senang. Lega sekali.

Sebagai kado terakhir untukmu dariku akan kuberikan obeng ini padamu, Fitto!

Kutancapkan obeng pada kedua mata tanpa bolanya itu, darah segar mengenai wajahku. Dapat kulihat matanya yang kosong kini terisi oleh obeng yang menancap pada kelopak matanya.

Kutarik napas lega saat melihat keadaanya lagi. Kini, muridku yang suka berkoar-koar akan prestasinya itu telah lenyap di tanganku sendiri.

End

Cerpen GoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang