1. Takut

64 6 7
                                    

Apa yang paling menakutkan? Adalah ketika yang sudah terkubur, bangkit kembali.

***

"Mala..., Mama takut."

Itu kalimat terakhir ibunya sebelum telepon ditutup. Diucapkan dengan teramat lirih dan sedikit terbata-bata, hingga Mala harus menempelkan ponselnya rapat ke telinga. Membuat debar jantung Mala berdentum aneh.

Ibunya tidak pernah meminta. Ibunya tidak pernah menangis. Ibunya tidak pernah ketakutan. Ini pertama kalinya dan Mala merasakan banyak emosi yang bergejolak menjadi satu. Tanpa pikir panjang, Mala memutuskan untuk pulang.

Mala menelepon Sonya, sahabat sekaligus rekan bisnisnya di butik. Ia meminta Sonya untuk mempir ke butik karena Mala ingin menitipkan butiknya.

Sembari menanti Sonya, Mala memberikan arahan ke Nindi—asistennya.

"I'm coming, Dear," sapa Sonya yang langsung duduk di salah satu sofa di ruang kerja Mala. Rambut keunguan panjang bergelombang dibiarkannya tergerai ke depan. Sonya selalu tampil seksi. Dress panjangnya memiliki potongan 'V' neck yang lebar, menampilkan dadanya yang putih, lebih terbuka.

Mala masih bicara dengan Nindi, setelah dirasa Nindi sudah memahami semua, ia meminta Nindi ke luar.

"Aku titip butik, ya." Mala membenahi beberapa berkas desain dan memilahnya menjadi beberapa kelompok.

"Gak masalah. Tapi..., kamu gak pa-pa?" Sonya mengkhawatirkan emosi Mala.

Keduanya sudah menjadi sahabat ketika sama-sama masuk Institut Seni Indonesia Denpasar jurusan fashion desain. Hampir sembilan tahun persahabatan terjalin, tak ada yang tersembunyi. Sonya sangat tahu keengganan Mala untuk pulang. Butuh dorongan kuat agar Mala mau pulang dan itu biasanya dari luar, bukan dari permintaan sang ibu di rumah; ini pertama kalinya.

"Entahlah. Mama tidak pernah sebegitunya." Mala duduk di kursi dan memijit keningnya. "Lagi pula, kenapa dengan adiknya? Bukankah harusnya dia senang adiknya pulang."

"Mungkin kaget aja. Bayangin..., dua puluh tahun lebih hilang, ujug-ujug datang. Pasti syok, dong."

"Ini bukan syok. Ini seperti...." Mala diam. Ia bingung bagaimana menjabarkan situasi dan perasaan ibunya yang menangis, histeris, menceracau, dan semua hal yang tidak dimengerti Mala. Jelasnya, sang ibu menjelma seperti anak kecil yang terpojok sendirian dan membutuhkan dirinya untuk keluar.

"Mal...."

"Oh..., ya mungkin begitu. Kamu gak kerepotan jaga dua butik, 'kan? Kamu harus bolak-balik dari butik yang di Seminyak dan di sini."

"Aku bisa membagi waktunya. Jomlo macam aku, apalagi yang bisa dilakukan selain memakan jalan." Istilah yang konyol, tetapi sanggup menciptakan tawa.

Tak banyak lagi yang perlu dibicarakan. Setelah dirasa beres, Mala segera pulang ke apartemennya.

***

Hanya membutuhkan waktu kurang lebih empat jam menuju kota kelahirannya. Cukup terbang dari Denpasar–Banyuwangi , kemudian menyewa mobil di Banyuwangi, tiga jam kemudian ia sudah sampai di kota kecilnya.

Namun, kali ini, Mala memilih jalur darat dari Denpasar. Ia membawa mobilnya sendiri.

Ada banyak alasan, di antaranya, Mala butuh banyak waktu untuk sebuah kesiapan. Siap diri, siap mental, siap semuanya. Konyol memang, karena ia hanya pulang ke rumahnya dan menemui ibunya yang ketakutan tidak jelas. Ada banyak hal yang sudah terjadi, yang melibatkan emosi Mala. Terutama adalah hubungan antara anak dan ibu yang aneh.

Ia juga butuh waktu untuk mereka-reka apa yang sebenarnya terjadi hingga ibunya bersikap seperti semalam? Ketakutan bagaimana yang ditimbulkan oleh adik perempuan ibunya?

KASAM - Pulang Untuk TenangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang