3. Dia siapa

5 0 0
                                    

Mata tak pernah benar-benar melihat apa yang terlihat. Ada ruang buta yang membuat cerita menjadi susah dimengerti. Sebuah kisah akan menjadi misteri di kemudian.

***

Memasuki ruang tengah, Mala merasakan udara menjadi sangat dingin. Kotanya memang diapit gunung yang tentunya akan terasa dingin. Namun, dingin yang ini berbeda. Seperti udara yang mengikat di situ-situ saja.

Ada dua kamar saling bersisian; kamarnya dan kamar ibunya. Ironi, ibunya dan Mala hanya terpisah tembok, tetapi jarak antara keduanya sangat jauh. Terbersit untuk menemui ibunya terlebih dahulu. Namun, diurungkannya. Masih ada waktu.

Mala melanjutkan langkahnya ke ruang depan, ada kamar almarhum kakeknya. Sekarang, pasti ditempati Tante Ratna. Mala mengetuk pelan pintu kamar depan. Tidak ada sahutan. Dicobanya sekali lagi dan masih senyap dari dalam.

"Tante Ratna. Ini aku, Mala. Boleh masuk?"

Tetap tak ada sahutan. Perlahan Mala membuka pintu kamar. Lagi, udara dingin menyapa Mala. Kali ini, bulu-bulu halus di lengan tegak berdiri. Salah satu tangan mengusap kasar lengan yang terasa sangat dingin.

"Permisi.... Tante Ratna...?"

Kamar almarhum kakeknya gelap. Aroma apak menguat, menandakan kamar itu belum pernah terjamah lagi dan belum pernah mendapat udara baru; jendela tidak pernah dibuka. Mala menekan sakelar lampu dan beruntung bohlam lampu masih berpijar.

Kosong, tak ada siapa pun. Belum ada kehidupan di kamar kakeknya. Mala keluar kamar dengan perasaan tak nyaman dan langkah yang lebar. Tersisa dua kamar dan menduga-duga di mana tantenya tidur.

Kini Mala berdiri di antara dua kamar. Di kamar ibunya adalah suatu kemungkinan benar. Ibunya dan Tante Ratna adalah saudara kandung yang terpisahkan puluhan tahun. Tentunya kebersamaan adalah yang paling dipilih, salah satunya, tidur sekamar.

Baru akan mengetuk kamar ibunya, Mala tiba-tiba ragu. Ibunya tidak suka aroma bunga menyengat dan sedap malam semakin malam semakin beraroma. Ibunya juga terdengar resah akan kehadiran adiknya. Jadi, hampir mustahil jika keduanya sekamar.

Tersisa kamar Mala. Seketika Mala merasa tidak nyaman. Akan tetapi hanya itu satu-satunya kamar yang tersisa sebagai kemungkinan terakhir.

Mala gelisah. Alasanya, ia tak suka jika kamarnya itu yang dijadikan kamar tamu. Ia belum benar-benar pergi dari rumah ini dan kamar itu masih adalah kamarnya. Alasan lainnya adalah ia hanya gelisah saja, tanpa tahu tepatnya kenapa, dan itu aneh bagi seorang Mala yang taktis dalam berpikir.

Di depan kamarnya sendiri, Mala untuk pertama kalinya harus mengetuk pintu.

Namun, belum sempat Mala mengetuk, pintu kamarnya terbuka. Seorang gadis kecil, mungkin berusia tiga belas atau empat belas tahun, berdiri dengan senyum manis terkembang. Tubuhnya tinggi kurus untuk anak seusianya. Rambutnya di kepang satu, wajahnya kecil dengan bola mata yang sendu dan ditutupi poni. Sekilas, gadis kecil itu mengingatkan Mala akan dirinya saat masih duduk di bangku akhir sekolah dasar.

"Hai. Aku mau meletakkan vas ini." Mala mengangkat sedikit vas berisi bunga sedap malam. Senyumnya terukir otomatis sebagai bentuk keramahan yang diajarkan sang kakek.

Si gadis kecil tersenyum sangat manis. Dalam kesederhanaannya, Mala bisa melihat kalau gadis kecil itu sangat cantik. Si gadis kecil tak menjawab apa-apa, ia juga seperti tak berniat untuk mengambil vas bunga dari Mala. Gadis kecil itu hanya meminggirkan tubuhnya dan membentangkan pintu lebih lebar. Isyarat bagi Mala masuk saja.

Mala pun melangkah masuk. Sesuatu seperti menghantam dadanya, halus, tetapi terasa. Tidak tahu apa, karena tidak ada apa-apa atau siapa pun yang sedang menyerang fisiknya. Mala mengedarkan pandangan dengan bingung.

KASAM - Pulang Untuk TenangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang