Aku melongok ke sisi lain pagar rumahku. Kulihat sesosok gadis sedang duduk santai sambil membaca sebuah novel. Aku terus memandanginya, hingga ia juga balik memandangku.
“Hai,” sapaku dengan nada usil. Dia hanya menatapku tajam sejenak dan lanjut membaca novelnya.
Namanya Chane. Dia berumur delapan tahun, setahun lebih muda dariku. Dan dia gemar membaca novel yang tidak seharusnya. Contohnya Lolita, novel yang sedang dibacanya. Dan kurasa itu novel favoritnya.
“Chane,” panggilku. Tapi gadis itu mengacuhkanku.
Ah baiklah. Aku menyerah. Aku melangkah masuk ke dalam rumah.
.
.
“Chane,” panggilku sambil mencolek lengannya saat kami berjalan pulang.
“Hentikan. Kau mau aku menghabisimu di sini?” desis Chane tanpa melepaskan pandangannya dari buku yang dibacanya. Dan itulah alasan aku di sini, di sampingnya, pulang bersamanya. Aku mendapat kehormatan untuk menjaganya karena dia mulai punya kebiasaan baru sejak dua tahun lalu, saat kami masuk sekolah menengah pertama. Selalu membaca buku saat berjalan pulang dari sekolah. Ibunya khawatir, dan menyuruhku menemaninya.
Kuamati wajah serius itu. kurasa dia mulai memasuki dunianya sendiri.
“Chane, berhenti,” ujarku saat Chane terus saja berjalan padahal lampu sedang hijau.
Chane sedikit gelagapan, namun tak bertahan lama. Ia kembali larut dalam khayalannya sendiri.
.
.
“Heh, kembalikan bukuku!!” jerit Chane saat aku mengambil novel yang sedang dibacanya.
“Apa ini? Harlequin? Memangnya anak empat belas tahun sepertimu sudah diperbolehkan membaca novel dewasa seperti ini?” kataku usil sambil membolak-balik halaman-halaman di buku itu.
“Bill, kembalikan atau aku akan laporkan pada ibumu kalau kau melakukan hal tak senonoh padaku!” ancam Chane, tangannya mengepal erat seakan ingin meninju perutku. Seperti beberapa hari lalu.
Aku menjulurkan lidahku, “Tidak akan. Akan kuberitahu ibumu kalau kau beli novel harlequin,” ganti aku yang mengancamnya. Karena aku tahu, ibu Chane tidak akan memperbolehkan anaknya membeli novel semacam itu.
Seketika wajah Chane langsung berubah saat mendengar ancamanku. “Tidak,” lirihnya seakan ia sedang depresi, “Jangan laporkan pada Mom. Aku mohon,” pintanya sambil menatapku penuh pengharapan. Aku tertawa kecil.
“Pada akhirnya, tetap Bill Jason Kingsleigh yang menang. Hehehe,” ujarku bangga, lalu menyodorkan novel yang kupegang pada Chane.
“Kau tahu aku tak akan pernah berani menghadap ibumu,” ujarku.
Chane menghembuskan napas lega. Tak berani menatapku, dia hanya menunduk.
“Terima kasih,” ujarnya super pelan, tapi aku masih bisa mendengarnya. Tunggu. Seorang Chane, berterima kasih? Kurasa ini waktu yang tepat.
“Kau mengatakan sesuatu, Chane?” ujarku, dengan menyiratkan sedikit nada usil. Dan yap! Prediksiku benar.
Wajah Chane berubah menjadi merah padam. “A-ah, tidak. Aku tidak mengatakan apa-apa,” ujarnya gugup, sambil menutupi mulutnya dengan punggung tangan kanannya.
Aku, sekali lagi, tersenyum usil. “Baiklah. Sama-sama, Chane.”Hohoho! Wajah Chane semakin merah, “Jadi kau mendengarnya?” lirihnya kebingungan. Aku tertawa puas, dan Chane memukul punggungku.
“Di-diam kau, Bill Kingsleigh!” jeritnya dengan wajah yang masih merah.