10. Orang Buangan

129 14 6
                                    

Hari Senin. Kesehatan gue mulai membaik, dan Dokter Stevan memperbolehkan gue untuk pergi mengikuti ujian Nasional.

Gue memasuki kawasan sekolah, bersama Kenan dan Madeva tentunya. Dua anak hilang yang selalu mengikuti gue kemanapun. Heran, gue kadang berfikir mereka tidak dimarahi dengan orang tuanya, gitu?

"Heh terong! Lo berdua harus bener-bener serius ngerjain! Jangan sampai kalian berdua ketahuan nyontek," ucap gue menegaskan kepada Kenan dan Madeva.

"Ya lo jangan sirik gara-gara lo tempat duduknya di depan gitu," balas Kenan.

Memang sih, karena awalan nama gue itu A, pastinya mendapat tempat paling depan. Itu sebuah kekurangan. "Enggak, lah! Gue pengen yang terbaik buat kita,"

"Anjirr!" Madeva merangkul bahu gue, "Siaplah!"

Kemudian gue, Kenan dan Madeva berjalan menuju kelas sambil bercanda.

"Altharra!" teriak seorang perempuan. Dan gue mengenalinya, siapa lagi kalau bukan Belvina. Dia berhenti di depan gue, "Lo apa kabar? Katanya lo abis sakit?"

"Yah, elo! Udah dijelasin masih nanya aja," balas Madeva. "Kayaknya kalian perlu privasi. Gue sama Kenan masuk duluan, mau belajar." Madeva menyeret Kenan menjauh dari gue dan Belvina.

Belvina melihat ke arah gue, tapi gue merasa risih ditatap seperti itu selain tatapan dari Aleeya. Gue berjalan menjauhinya.

"Altharra, sebentar," ucapnya.

"Kenapa?" balas gue malas-malasan.

Belvita memainkan tangannya sambil menunduk, "Gue tahu, lo ga sayang sama gue. Tapi... apa yang lo lakuin itu benar?"

Apa sih, maksudnya? Gue tidak merasakan membuat kesalahan dengan Belvina. Gue malah sering menghindar darinya.

"Bukan... maksud gue, kenapa lo suka cewek itu? Yang di masjid? Apa menurut lo itu benar?" lanjut Belvina.

Gue kaget. Darimana dia tahu? Apakah selama ini dia menguntit gue? sejak kapan dia tahu?

"Heh, Belvita, eh, Belvina," panggil gue. "Itu urusan gue, bukan urusan lo."

Gue kemudian langsung menghindarinya, tanpa ingin mendengar satu katapun terucap dari Belvina. Kenapa sih, dia selalu mengganggu kehidupan gue?

"Gue suka lo, Altharra!" teriaknya.

Ah, sudah gue duga. Tapi mengapa dia mengucapkan disini? Ini terlalu umum. Banyak sekali yang melihat gue dan Belvina. Gue tidak terlalu menyukai jika disorot oleh banyak orang, karena tidak ada yang bisa dibanggakan dengan itu.

Gue menarik tangan Belvina ke kelas yang sepi. Tapi, gue tidak habis pikir karena dia bawa perasaan gara-gara gue gandeng.

"Belvina," gue menekan perkataan, "Gue sayang sama orang lain. Jadi lo berhenti suka sama gue, karena itu percuma." Sekali lagi, gue mempertegas kepada Belvina agar dia memahami itu.

"Lo mau ngelarang perintah Tuhan lo? Cuma demi dia? Kenapa enggak sama gue aja?" tanyanya. Dia menahan tangis. Salah sendiri, berani membangunkan singa yang tidur.

"Itu urusan gue, bukan lo. Jadi gue mohon, carilah seseorang yang lebih baik dari gue. Kalau lo ngejar-ngejar gue lagi, percuma. Gue ga akan bisa luluh," gue kemudian keluar dari kelas, meninggalkan Belvina. Tetapi, di depan pintu kelas, ada Aiden yang sedang mengepalkan tangannya. Ia sepertinya bersiap untuk memukul gue.

"Bangsat lo jadi cowok!" ucapnya, lalu dia melayangkan tinjunya kepada wajah gue.

Darah segar menetes dari ujung mulut gue. Astaga! Di dunia ini tidak ada yang benar-benar menyayangi gue dengan tulus apa? Selain Kenan, Madeva, Bi Han dan Mang Ucup?

Ineffable ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang