When I was a B*tch

2.5K 144 45
                                    

Menjadi anak baru di tahun terakhir SMA adalah hal terburuk yang pernah kualami. Benar-benar tidak menyenangkan. Aku datang di saat akan ada perpisahan. Setidaknya aku memiliki kurang lebih setahun untuk mengenal teman-teman sekelasku—itupun kalau mereka bisa akrab denganku.

Aku tidak begitu mudah akrab dengan orang, apalagi yang baru kukenal, karena aku tak mudah peduli dengan mereka. Seharusnya di hari pertamaku sebagai anak baru, aku berbasa-basi menyapa, membawakan kue, bergurau atau bergunjing bersama teman-teman cewek sekelas, tapi aku memilih diam di tempat dudukku.

“Nih, gue bawain roti...” Seseorang meletakkan sebungkus roti isi cokelat di mejaku. Aku menengadahkan kepala dan menatapnya bingung, “Loe pasti laper kan?”

Alisku bertaut. Cowok itu memandangku tanpa ekspresi. Aku menerima pemberiannya lalu mengucap terimakasih, “Gue Nadira.” Aku mengulurkan tangan untuk bersalaman dengannya.

“Gue Faiz. Timing loe buat pindah sekolah sama sekali nggak bagus.”

“Ya, loe bener. Gue udah protes ke bokap tapi dicuekin. Nggak papa lah, itung-itung menguji keahlian gue beradaptasi.” Aku mengedikkan bahu, “By the way, gue utang berapa ke loe? Roti ini...”

“Ambil aja. Lagian bukan gue yang bayar.” Ia duduk di bangku sebelahku yang kosong sejak tadi. Beginilah nasib anak baru, harus duduk sendirian selama setahun.

Mataku mulai menelaah setiap jengkal tubuh Faiz. Oke, aku terdengar mesum—aku tidak memandangnya seperti itu, melainkan menyelidikinya. Aku bangga pada mulut pedasku dan aku lebih bangga lagi dari jarak radius beberapa meter pun aku bisa mengetahui mana pria tampan dan tidak tampan. Faiz tanpa kacamata berbingkai tebalnya itu termasuk pria tampan.

Sejak tadi pagi aku mengamati teman sekelasku, Faiz adalah tipe cowok yang tidak begitu pandai bergaul, penyendiri dan dijauhi gadis-gadis SMA yang menurutku cukup tolol karena tidak melihat potensi Faiz. Ia duduk di bangku depanku bersama seorang cowok botak yang tidur selama pelajaran.

“Jadi...” Faiz memulai pembicaraan denganku. Kuharap ia tidak menyuruhku menceritakan secara detail tentang sekolah lamaku, “... loe udah mulai mikirin ekskul apa yang bakal loe ikutin?”

Hah? Kenapa tiba-tiba membicarakan ekskul sih?

“Gue bukan tipe cewek yang rajin ikut ekskul. Mendingan gue tidur siang aja lah.”

Faiz tertawa, “Bagus dong, tidur siang biar sehat. Lebih sehat lagi kalo loe ikut ekskul bareng gue.”

Aku melipatkan tangan di dada, “Oh, jadi loe ngerekrut anggota baru dengan cara ngasih roti gratis, gitu?” Aku melipat bungkus roti yang sudah kumakan setengah dan mengembalikannya kepada Faiz, “Sori Faiz, gue nggak pengen ikut ekskul loe.” Aku tersenyum basa-basi.

“Kan gue belum bilang ekskul apa, kok loe udah nyerah.”

Baiklah, kali ini kutoleransi sikapnya karena Faiz adalah teman pertamaku di sini. Setidaknya sebagai tanda terimakasih, aku akan mendengarkan penawaran ekskulnya. Tapi kalau aku tidak tertarik, aku tidak akan bergabung.

“Ekskul apa emangnya?”

Tiba-tiba wajah Faiz berubah cerah. Ia bersiul layaknya memanggil anjing peliharaannya. Pandangannya terfokus ke arah pintu kelas. Aku membalikkan badan untuk melihat apa yang ia panggil—atau lebih tepatnya siapa, karena ia ternyata tidak memanggil anjing peliharaan melainkan seorang cowok. Kalau aku menjadi cowok itu, akan kutempeleng muka Faiz karena bersiul seperti memanggil anjing.

Cowok itu bergegas menghampiri kami. Ia mendekap buku tulisnya sambil tersenyum lebar ke arahku. Aku memandangnya horor—ini apa-apaan? Daritadi cowok ini menguping pembicaraanku dengan Faiz? Penguntit!

WHEN I WAS A B*TCHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang