Dia, #1

7 1 0
                                    

"Cintailah dia karena Allah, kelak akan kau halalkan dia dengan ridho Allah".

____________

Ali Aryan Shawqi pemuda berusia 25 tahun yang berkarir di luar kota semenjak dia menempuh pendidikan di kota tersebut, bahkan ia hampir lupa akan kota kelahirannya yang sudah lama ia tinggalkan.

Ia duduk memutar-mutar kursinya sambil sesekali memijit pelipisnya. Ia memikirkan pesan ibunya melalui telpon semalam yang memintanya untuk pulang dan menikah dengan perempuan di kota kelahirannya itu.

Bukan ingin membantah permintaan ibunya, tapi ia harus berpikir seribu kali lagi. Posisinya yang saat ini menjabat sebagai manajer keuangan di sebuah perusahaan tak semudah itu dia tinggalkan. Pusing tujuh keliling, apalagi ibunya memintanya untuk berhenti bekerja dari tempat itu. Yaa Salaam, kalau Ali yang menjadi nama sapaannya itu berhenti bekerja akan diberi makan apa anak istrinya nanti.

Hilya Azura gadis berparas cantik berkacamata yang berpenampilan sederhana berusia 23 tahun yang baru menyelesaikan pendidikannya di kota kelahirannya. Berbeda dengan teman-temannya yang memilih menempuh pendidikan di luar kota. Orang tua Hilya terus mendesaknya untuk segera menikah. Menurut Hilya, ia belum pantas membina rumah tangga, mengurus dirinya saja belum bisa apalagi mengurus suami yang pastinya butuh perjuangan saling memahami apalagi orang tua Hilya mengatakan belum mengenal pemuda yang akan dinikahkan dengannya.

"Arrrggghhhh....." Teriak Ali frustasi. Sontak membuat sekretarisnya menoleh keheranan.

"Ada apa pak Ali? Apa yang bisa saya bantu?" Ucap sekretarisnya yang sok formal. Padahal mereka adalah teman akrab semenjak duduk di bangku SMA. Mengingat jabatan Ali lebih tinggi darinya maka iapun harus mematuhi aturan yang ada di kantornya.

"Gue bingung nih, Mad." Sohibnya itu bernama Ahmad yang biasa dia panggil Mamad. "Nyokap gue minta gue untuk pulang dan nikah dengan gadis pilihannya." Ucap Ali lirih, takut yang lain mendengar.

"What? Masih ada perjodohan ya? Wah-wah jaman gini lho, sob? Lo sudah tau ceweknya?" Mamad tak percaya masih ada perjodohan di jaman modern seperti sekarang ini. Tapi tak ada salahnya juga, karena yang dia tahu, Ali tidak memiliki pacar, jadi menurutnya wajar kalau orang tuanya mencarikan jodoh untuknya.

"Ya belum lah." Obrolan mereka terhenti ketika Ali mendapat telepon dari rumah. Ali segera mengangkatnya. Raut wajah Ali berubah yang tadi frustasi sekarang terlihat panik dan khawatir. Barusan ia mendapat kabar bahwa ibunya sakit parah dan harus di rawat di rumah sakit.

"Mad, Lo handle kerjaan gue dulu ya! Gue harus pulang, ibuku dirawat di rumah sakit." Ucap Ali sembari menutup berkas-berkas laporannya. "Kalau sudah beres Lo kirim ke email biar nanti gue cek sambil ngerawat ibu." Sambungnya.

"Beres bos, asal tetap ada jatah makan." Begitulah Mamad yang selalu minta traktir makan, Ali tak mengapa karena ia tahu kondisi temannya itu. Hidup sendiri di kota orang, dengan penghasilan pas-pasan untuk biaya kos-kosan dan sisanya buat mencukupi kebutuhan ibu dan adik-adiknya di kampung.

Ali mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribuan dan memberikannya kepada Ahmad. Biasanya kalau makan, Ali yang membelikannya sekali dalam sehari.

Setelah minta ijin kepada CEO, Ali mengendarai motor ninjanya dengan kecepatan tinggi agar segera sampai di tempat ibunya. Ali selalu berusaha taat kepada ibunya, membahagiakan ibunya itu tujuannya meski jarak tempuh yang cukup jauh, akan ia tempuh.

"Bagaimana keadaan ibu saya, dok?" Tanya Ali setiba di rumah sakit dan dokter yang menangani ibunya baru keluar dari ruang ibunya.

"Alhamdulillah Bu Sarah sudah melewati masa kritisnya, namun harus tetap dijaga kestabilannya jangan sampai ada yang mengganggu pikirannya. Oh ya tadi ketika sadar dia menyebut nama Ali." Ucap dokter Bima, dokter syaraf di rumah sakit itu.

"Itu saya dok. Apakah saya boleh menemui ibu saya?"

"Iya silahkan tapi gunakan pakaian steril rumah sakit. Saya permisi dulu." Dokter Bima pamit.

"Bun, bagaimana keadaan bunda? Ini Ali pulang Bun, bunda cepat sembuh ya..." Tak terasa air mata Ali berlinang begitu saja.

"Bunda baik-baik saja kok nak, bunda senang Ali mau pulang. Sebelum bunda pergi, bunda ingin melihat anak bunda menikah dengan gadis pilihan bunda, Ali mau ya?"

"Bunda jangan bilang seperti itu, yang terpenting bunda sekarang sembuh ya... Masalah menikah nanti saja setelah bunda sembuh."

Raut wajah bundanya seketika berubah tadi tampak bahagia ketika melihat Ali datang sekarang seperti rasa kecewa. Bunda tahu kalau Ali berusaha menolak keinginan bundanya itu.

"Bunda akan sembuh kalau kamu menikah dengan dia." Ucap Sarah.

"Tapi bunda harus sembuh dulu ya? Nanti kalau bunda sudah sembuh, Ali akan menikah." Ucap Ali spontan, dengan berucap seperti itu berarti Ali menerima gadis pilihan ibunya.

Hilya mondar-mandir di pinggir kolam renang di rumahnya. Berulang kali menelpon temannya tak kunjung diangkat. 'ini telepon terakhir kalau tidak diangkat gue harus susul dia di markas.'

Rupanya tetap tidak diangkat, Hilya memutuskan mencarinya di Markaz. Ia naik taksi menuju tempat itu. Dugaannya benar temannya itu berada di sana. Mata Hilya memanas melihat temannya itu bermesraan dengan seorang wanita.

"Alfa."

"Ily..." Ucap Alfa ketika namanya terpanggil oleh Hilya. Alfa melepas tangannya yang masih merangkul pinggang wanita di sampingnya.

Alfa menghampiri Hilya. "Ada perlu apa?"

"Oh jadi gini ya kelakuan kamu di belakangku, bermesraan dengan perempuan lain?"

"Kenapa memangnya? Apa urusannya dengan kamu? Orang tuamu tidak menyukaiku dan akan menikahkan kamu dengan pilihan mereka, aku bisa apa?" Ucap Alfa meledak, ia sayang kepada Hilya tapi tidak bisa memiliki. Dulu mereka bersahabat tapi lambat laun ada rasa cinta yang tumbuh di hati mereka berdua. Mereka saling mengungkapkan dan akhirnya pacaran, padahal kedua orang tua Hilya melarang Hilya untuk pacaran.

Hilya tak bisa membendung air matanya dan amarah yang bergejolak di dalam dada, "jadi kamu memilih dia?" Tak ada jawaban dari Alfa. Hilya meninggalkan tempat itu dengan perasaan berkecamuk.

"Ily tunggu, maafin aku...." Ucap Alfa yang tidak ingin didengar Hilya.

Hilya berjalan di tengah derasnya hujan hingga ia tersadar badannya mulai menggigil kedinginan. Ia berteduh di parkiran mushola yang ia lewati sambil menggosok-gosok kedua telapak tangannya.

Hilya melihat ada seorang pemuda yang memarkirkan motornya di sebelahnya. Pemuda itu melepas helm dan jas hujannya. Lalu masuk ke mushola. Hilya masih bertahan di situ dengan pakaian yang basah kuyup.

"Gantilah pakaianmu!"

*****
Tulungagung, 2 Mei 2020/9 Ramadhan 1441 H

Dia, ImamkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang