00.02 : Kamu Percaya Takdir?

41 1 0
                                    

⊹ ──────  ‹ ✩ ☾ ☼*  

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

⊹ ──────  ‹ ✩ ☾ ☼
*   .       ˚ 
   ✧ · 
       ·   .    
                ✹
  ·  *     ˚   ✺  
        .  .     ✫
        · +   .

Jimin benci menunggu. Ini sudah hari ketiga sejak pertemuannya dengan lelaki itu. Embusan napas kasar keluar dari hidung, mood-nya berantakan, kepalanya pusing dipenuhi banyak pikiran.

Sebab hari pertemuan kedua mereka tak kunjung datang, Jimin sengaja mengambil libur sejenak dari Daycare. Mau cari udara segar katanya.

Niat Jimin didukung oleh cerahnya cuaca yang kali ini ramalannya tepat sekali. Senyum indah terlukis di bibir, sembari kakinya melangkah antuasias menyambut sejuknya kota Seoul pagi ini.

Entitasnya berhenti kala netra menangkap jauh satu pedagang kecil yang menjual permen kapas. Sudah ku beritahu belum ya, kalau Jimin adalah penggemar makanan manis nomor sekian di dunia? Pokoknya, makanan manis juara di hati.

“Nanny.”

Jimin melompat kecil dari tempat berdiri. Suara yang terdengar agak serak itu berada tepat di samping telinganya. Ia hilang fokus karena keasikan menatap kapas kapas manis itu. Terlalu mengagetkan.

“Hai, kamu lagi?”

“Hai, Nanny. Kamu percaya takdir?”

Tipikal Jeongguk. Selalu blak-blakan. Membuat orang seperti terkena serangan jantung mendadak.

“Apaan, sih?” jelas Jimin senang karena pertemuan yang didamba terkabul seperti ini. Tapi wajahnya agak cemberut, matanya memicing ke arah Jeongguk.

“Kalau aku percaya, Nanny. Buktinya di pagi yang cerah ini aku langsung dihadapkan sosok bidadari. Takdir yang indah, kan?” sebal sekali. Jeongguk masih bisa tertawa sedangkan Jimin sudah memerah dan mematung karena ulahnya.

Jimin mengendikkan bahu dan berjalan mendahului. Dibuatnya Jeongguk senyum senyum di belakang.

“Nanny, aku belikan permen kapas mau? Tunggu di sini, ya.”

Hendak protes, tapi Jimin dibuat bungkam karena tingkah Jeongguk yang berlari semangat menghampiri salah satu pedagang permen kapas di seberang jalan. Jimin geleng-geleng kepala sambil tersenyum.

Manis, menurut Jimin.

Beberapa saat kemudian, Jeongguk dengan wajah bangga datang dari arah berlawanan dengan membawa satu tangkai permen kapas besar. Warnanya biru, rasa bluberi. Senyum senang dan menawan milik Jeongguk tak sekalipun luntur dari bibir.

Oh, Tuhan. Jeongguk sangat senang hari ini.

“Makasih ... Sebenarnya kamu nggak perlu lari-lari kayak tadi.” tangan Jimin menerima permen itu dengan senang hati. Bibirnya mengerucut berusaha menyamarkan rasa malu yang ia tanggung saat ini.

“Anything for you, Nanny. Bahkan kalau aku harus jatuh, permen kapas ini harus berakhir di perut kamu. Gimana rasanya, manis?”

Mereka berjalan beriringan. Menikmati angin sejuk dan suasana damai di pinggir jalan. Hari ini tidak terlalu ramai berkerumun. Orang-orang masih bisa mendapat ketenangan untuk sekadar melihat-lihat kesibukan kota.

Jimin mengangguk sebagai jawaban, “Mm, manis. Permen kapas selalu manis. Namanya juga permen.”

“Aku kira nggak manis? Soalnya dari pandanganku, permen ini masih kalah daya saingnya sama paras kamu. Ah, kasihan produsen gula di bumi ini. Perusahaan mereka bisa bangkrut lho.”

Tipikal Jeongguk lagi. Bibirnya kelewat manis. Andal sekali kalau urusan gombal. Sampai-sampai Jimin speechless dibuatnya.

Satu tawa kecil lolos.

“Diam atau bibir kamu aku sumpal pakai daun-daun yang berserakan di sini.”

Defense.

Jimin berusaha agar Jeongguk tidak berucap aneh lagi. Tolong perhatikan jantung Jimin, dasar tukang gombal.

“Maunya disumpal pakai bibir Nann—”

Tangan kecil Jimin membungkam mulut Jeongguk. Ekspresi kesal tercipta di sana. Bibirnya mencebik, menggumamkan kalimat, “Kamu mau mati, ya?” amat pelan, tapi sungguh, Jeongguk bisa mendengarnya.

Dibalas cengengesan. Jimin berjalan mendahului Jeongguk sekarang.

“Hehehe. Pretty Nanny, can I have your number, please?”

Persetan dengan mulut Jeongguk. Dia mulai lagi. Dengan kaki panjangnya, kini Jeongguk sudah menyusul Jimin dan menempati posisi di depan. Jeongguk berjalan mundur sembari memerhatikan wajah Jimin.

Jimin mengembuskan napas, “Sorry. The number your calling is busy. Try again later.”

“Alright, so can I call you another time?”

“No.”

“It's a no? Change your mind I'm still waiting.”

“Why should I?”

Jeongguk berhenti berjalan dan membiarkan Jimin memimpin di depan. Mulutnya menganga.

“Woah, Nanny. Dapat nomor mu saja sulit sekali, ya.”

“Aku memang nggak mudah.” Jimin menoleh dan tersenyum. Jeongguk dibuat kejang saat itu juga. Tak bisa menyembunyikan bahagianya, Jeongguk mengacak rambut Jimin gemas. Tawa mereka memenuhi jalan setapak yang mereka lalui kala itu.

Seperti teringat satu hal, tawa Jimin luntur. Jeongguk bingung awalnya, hingga Jimin membuka mulut.

“Aku masih belum tahu namamu. Ini curang namanya.”

“Oh? Aku belum memperkenalkan diri, ya? Waktu itu aku mau memberitahu namaku, tapi lawan bicaraku menghilang begitu aja kayak angin.”

Jeongguk mengungkit pertemuan pertama mereka yang sebagian besar dipenuhi oleh pipi merah Jimin dan salah tingkahnya. Duh, mau sembunyi lagi rasanya.

“Terserah.”

“Jangan marah. Aku Jeongguk. Jeon Jeongguk. Mahasiswa tahun akhir di universitas dekat tempat kerja Nanny. Kemarin aku berteduh di sana bersama teman satu band ku. Kamu mau tahu satu hal lagi?”

Jimin menyimak. Mengingat betul satu persatu informasi yang Jeongguk utarakan.

“Apa?”

“Namaku Jeongguk, dan aku lagi jatuh hati.”

“Oh, ya? Sama siapa?”

“Kamu.”

──────────── tbc.
woundertale 00:17 am

took me so long to write and pour my ideas into this book </3

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 22, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

One Step Away [km] : discontinued.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang