Bab 1

7 1 0
                                    

Kesempurnaan fisik gak menjamin hidup lo bahagia

Drigantera

°○°

Hampir sebagian orang Jakarta bakalan malas bangun pagi-pagi hanya untuk mendengar ceramah yang unfaedah. Jelas, siapa  yang mau, ritual paling menyenangkan sedunia musti di gagalkan dengan teriakkan singa betina macam Nyonya Ambarwati?

Jangan pikir karena gue gantengnya tak tertandingi dengan dewa Yunani itu mesti sempurna tatanan kehidupannya. Eitsss, yang mau mukul gue karena omongan gue yang kadar songongnya gak kira-kira, kudu ditahan dulu. Gue emang begini aslinya. Lo semua musti ngantri kalo mau geplak kepala gue. Banyak soalnya yang kagak demen sama gue.

Gue itu tipikal cowok pemuja tidur, bahkan gue pernah punya mimpi, ada nggak yah pekerjaan yang kerjanya cuma tidur doang. Wahhh kalo ada, gue bakalan jadi orang pertama yang lamar pekerjaan di situ. Tapi yahh, gue yakin itu cuma ada di hayalan gue doang. Menyedihkan! Yang satu pemikiran sama gue, angkat tangan dong, kalo gak komen aja deh di bawah. Entar gue balas. Kalo gue ada waktu ya!

Oke, back to topic. Meski sebenarnya niat sang kanjeng ratu sangat mulia, membangunkan putra satu-satunya untuk bersekolah. Tapi, tetap aja gue nggak suka, gue nggak suka tidur gue di ganggu. Tidur itu semacam kebutuhan utama bagi gue, lebih utama dari pada sekedar makan atau minum. Bahkan gue pernah tuh dua hari nggak nyentuh nasi, cuma roti, itu pun sepotong yang masuk ke lambung gue, alhasil membuat gue masuk rumah sakit karena lambung di dalam perut gue bermasalah.

I love you lambung. Thank you masih mau bertahan sampai sekarang.

"Dirga, sayang ... Mama 'kan udah bilang kalo di meja makan ya makan bukannya melamum. Kamu tuh kalo di kasih tahu gak pernah dengar, sukanya ngajak debat. Emang kamu tuh hobinya debat ya, kalo iya nanti deh Mama daftarkan kamu jadi tukang debat," ujar wanita berumur empat puluh dua tahun yang terlihat selalu cantik dengan dress merah maroon hari ini.

Lihat, 'kan?

Gue hanya bisa memutar bola mata lantas mengambil segelas jus jeruk dan meminumnya hingga tandas. Tanpa bicara apa pun mengangkat bokong gue dan menyampirkan ransel di bahu.

"Eh, eh, mau ke mana itu sandwich nya di habisin dulu! Dirga! Hey!"

"Udah telat mah," bohong gue seraya melambaikan tangan tanpa berbalik.

Gue berjalan santai menghampiri mobil  berwarna navy milik gue. Yah, meski sebenarnya itu milik bokap gue, dia beliin itu buat gue saat gue menginjak usia tujuh belas tahun. Gue tuh paling anti mengakui barang yang di beliin orang jadi barang gue, meski sebenarnya itu pemberian tapi tetap aja gue ogah ngakuin itu. Karena, menurut gue apa pun yang gue punya harus berasal dari kerja keras gue sendiri. 

Belum jauh gue menjalankan Ranger Rover punya bokap, gue berhenti di tempat yang lumyan sepi. Sambil celingukan ke belakang, tangan gue mengambil sesuatu di dashboard. Mengeluarkan semua isi yang gue perlukan untuk menyamar menjadi cowok nerd. Setelah merubah wujud dari ujung kaki ampe ujung kepala, gue pun keluar dari mobil. Berdiri sembari menunggu seseorang. Sesekali mata gue ngelirik jam di pergelangan tangan.

Ah itu dia!

Gue menegak tubuh saat ban sepeda ontel itu berhenti di hadapan gue.

"Bapak lama amat, saya udah nunggu dari tadi," cecar gue setelah pria paruh baya itu turun dari sepeda tuanya.

Pak Darto menampilkan senyum di bibir keriputnya. "Maaf, Mas. Kan tadi saya harus nganter bapak ke kantor," ujarnya seraya menyerahkan sepeda tua miliknya ke gue.

"Yaudah kalo gitu saya berangkat dulu, seperti biasa ya, simpan aja mobilnya di tempat biasa, ini kuncinya." Gue pun menyerahkan kunci mobil ke Pak Darto kemudian mulai mengayuh sepeda menuju sekolah.

•••

Pernah menonton kisah beauty and beast atau pangeran kodok? Mungkin itulah perwujudan gue sekarang. Nyamar jadi sosok nerd tapi aslinya wajah gue ngalahin Zain Malik. Yang merasa fens Zain Malik gak usah kesel, oke? Candaan doang ini.

Sebenarnya gue tuh nyamar gini bukan buat cari pamor sana sini, tapi gue cuma mau hidup tenang. Selain tenang dari mata-mata genit, gue juga pengen nyari teman yang real friend, pokoknya yang gak mandang gue cuma dari harta atau pun tampang. Mungkin bagi kalian ini klise, tapi gue selalu mengedepankan hal ini untuk kehidupan gue selanjutnya.

"Ter, Teraaa!"

Gue menoleh ke sumber suara, mendapati cowok berambut keribo dengan kacamata Herry Potter miliknya, berjalan dengan langkah besar ke arah gue.

"Tumben nggak telat, biasanya kamu selalu datang di atas jam tujuh, dan selalu aja ngerepotin aku," keluhnya langsung seraya memperbaiki letak kaca matanya.

Gue memutar bola mata coklat milik gue dan mendengus kesal. Gue emang sering telat, tapi kalian mungkin udah tahu alasannya. Gue juga selalu ngerepotin ini anak untuk bukain pintu belakang buat gue, dan karena emang dianya terlalu baik, yaa dia selalu mau bantuin gue.

"Eh, ada kabar baik loh, mau tau nggak?" Milo berucap lagi setengah berbisik.

"Nggak," singkat gue.

"Ih kok gitu sih, nih ya aku kasih tau. Di kelas kita ada anak baru," bisiknya lagi.

Mendengar bisikan unfaedah itu, gue semakin mempercepat langkah kaki gue menuju kelas.

"Kok malah di tinggal! Teraa, Tungguin aku!"

Kaki panjang gue memasuki kelas dua belas Ipa2, tempat di mana manusia-manusia berotak mesin berkembang biak dan tentu aja gue termasuk ke dalamnya. Gue emang suka sih bermain dengan angka-angka, apa lagi kalo di ajak debat, seperti yang udah kanjeng Mami beritahu bahwa gue emang pada dasarnya suka adu mulut dan berargumen.

Setibanya di tempat duduk, gue langsung mengeluarkan buku biologi sebagai mata pelajaran pertama pagi hari ini.

"Teraaa, kamu tega banget ninggalin aku." Milo mendudukan dirinya di sebelah gue, dengan bibir mengkrucut ia melakukan hal serupa dengan gue.

"Kamu kasih berita yang gak penting sama sekali," kata gue kemudian.

Cepat, si kribo menoleh ke arah gue. "Penting Teraa, katanya anak barunya itu cewek," ucap Milo kembali berbisik. Kilatan antusias di wajah Milo justru buat gue mengerutkan kening.

Gue paling jengkel kalo Milo udah bahas hal yang gak penting kayak gini. Dia baklan ngomong Mulu soal itu-itu aja, tanpa tau kalo mulutnya udah bahas hal yang sama berulang kali. Bayangin aja gimana sengsaranya telinga gue ini.

Lagi, bola mata coklat gue berputar malas. "Terus?"

"Terus katanya dia pindahan dari Jerman, Teraa." Suara Milo semakin mengecil.

Perlahan tangan gue mulai membuka lembaran buku biologi.
"Terus?"

"Terus tuh ya, katanya dia caanntikkk bangett."

Gue melirik Milo. Dibalik bingkai bulat itu gue bisa melihat mata Milo berbinar menerawang.

"Terus?"

"Teruss ... eh nggak terus-terus lagi, orang aku gak tahu namanya siapa." Milo mencibik dan mulai menggoreskan pulpen di bukunya. "Udah dulu, bahasnya nanti lagi. Hari ini pelajaran kesukaanku."

Syukur! Gue menarik napas lega. Seenggaknya telinga gue selamat hari ini.

Gue menatap dalam teman yang sudah gue anggap sebagai sahabat. Selama ini yang mau berteman sama gue dengan tulus ya cuma Milo. Kebanyakaan dari mereka ngedekatin gue cuma karena gue pintar dan gampang dimanfaatin. Tapi tenang, gue gak bego-bego amat kok sampai mau dimanfaatin. Penampilan boleh nyamar, tapi sikap dan perilaku gak bisa disamar, Bro!

Kembali ke teman gue yang satu ini.

Milo Cinde jenis cowok cupu dengan kamampuan otak di atas rata-rata. Dia lahir dari pasangan miskin yang hidup di permukiman kumuh, meski begitu Milo dapat masuk ke sekolah elit begini berkat kecanggihan otaknya. Mungkin memang benar, kalo gue udah nemuin satu sahabat yang gue cari selama ini. Lantas setelah Milo, siapa lagi?

...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 20, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

I'ts Me, DirganteraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang