Prolog

686 17 4
                                    

Cowok berseragam itu berdiri menunduk di dalam ruangan salah satu sekolah yang cukup megah di Jakarta. Tangan kanannya mengepal keras. Badannya bergetar hebat entah kenapa. Sepertinya dia hendak memaksakan sesuatu... Yah, sesuatu. Tapi, ah hatinya ngga kuat!

Ngga lama dia kembali pada pendiriannya semula. Dia memilih untuk menyerah sebelum berperang. Mengibarkan bendera putih sebelum mencobanya. Padahal, orang tuanya sendiri sudah berusaha sekuat tenaga agar dia mau memulainya, tapi tetap tidak pilihannya. Pilihan yang dipilih hatinya.

"Ma, Pa, Tante, Om, pliiisss....," ujar cowok itu dengan nada lemah. Tatapannya sendu memandang bergantian empat sosok di hadapannya itu. "Justru karena itu aku ngga mau yang lain... A-aku... aku ngga bisa... Aku ngga mau... ngga mau, Tante... Om... Keputusan aku udah bulat. Aku akan tetap memilih kelas itu..."

Salah satu dari mereka, seorang wanita yang bersanggul, meneguk ludah khawatir. "Memang sih, kelas itu ngga aneh sedikit pun. Masalah gender muridnya itu, semua serba kebetulan, tapi..."

"Plis, tante..."

Setelah menghentakan kakinya keras, cowok itu pun membanting pintu dan keluar menuju tengah lapangan. Dia berlari. Berlari dengan segala pergumulannya. Matahari yang terik tak menjadi penghalang baginya untuk berdiri tegak disana. Dengan tangan yang masih mengepal, cowok itu mendongakkan kepalanya ke atas sambil memejamkan mata rapat-rapat. Tepat vertikal di bawah matahari.

'Gue... NGGA! Gue ngga boleh nangis... gue mesti kuat... karena emang inilah satu-satunya jalan... biar gue bi-bisa.. 'bisa...,' ujarnya terbata-bata dalam hati.

Ngga lama, setitik demi setitik keringat pun mulai keluar dari wajahnya dan terjatuh menetes dengan ritme yang teratur di dekat sepatunya. Namun, tepat pada menit kesepuluh, kepalan tangannya melemah, melemah, dan melemah. Cowok itu berusaha kuat untuk tetap berdiri. Tapi, entah kenapa kesadarannya malah juga mulai menghilang secara perlahan...

'Gue... gue...'

Karena memang bukan akibat keputusan yang telah diambil orang tuanya lah, cowok itu berkeras. Bukan! Hubungan di antara mereka semua memang sudah sangat baik dann terjalin bertahun-tahun, sampai akhirnya mereka berani memutuskan hal ini... Cowok itu juga jelas setuju dengan keputusan mereka karena memang itulah apa yang dikatakan hati kecilnya. Ta-tapi... dengan begini kan berarti dia harus...

Hanya itulah satu-satunya yang sempat membuatnya ragu.

Lantai demi lantai dilalui seorang gadis dengan menggunakan lift rumah sakit. Hatinya gundah dan nyaris akan hancur karena perih. Namun, masih ada sebuah harap di situ. Harapan yang menghidupkan perasaannya. Yah, entah mengapa dia yakin banget kalau orang yang dicarinya itu berada di lantai paling atas gedung itu. Lantai 25!

'Buat apa lo di atas sana? Buat apa...'

Ngga lama, pintu lift terbuka. Dia berlari sekencang-kencangnya menyusuri lorong, menaiki anak tangga kecil, membuka pintu besinya, dan...

Fight For LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang