P| 3 | maaf, Ayah

48 8 4
                                        


_________

Kembali bersua dibawah terik, wa-
lau tak ada satupun ranum yang
berusaha membuka dialog mesra
selain dalam diam sibuk menatap
asa. Mencoba melukis dialog baru
bersama cinta dan frasa lainnya.
Berharap—pada sang penulis ske-
nario, tuk pertemukan kita kemba
-li, namun kuharap dalam
dua frekuensi rasa.

_______

Sore itu Saluna memilih untuk tak langsung kembali ke rumahnya—setelah sibuk berkeliling kesana kemari mencari botol yang dimaksud oleh senior sebelumnya, akhirnya Saluna berhasil mendapatkannya. Ia juga tak sendiri, kali ini ditemani Gafa minus Abyan yang tak bisa ikut karena ada kumpul klub astronomi.

"Sa, Ayah gimana?"

Atensi Saluna berpindah dari ponselnya begitu suara Gafa mengintrupsinya, pemuda itu menaruh gelas sterofoam berisi americano dingin sementara Ia menyeruput kopinya sendiri ditangannya. Saluna menurunkan ponselnya, menaruh atensi sepenuhnya pada Gafa yang menyandar pada punggung kursi—tampak menunggu Saluna membuka suara.

"Enggak tau Gaf."Ia menghela nafas kasar. Pandangannya menyendu."Aku mungkin bakalan bohong sama Ayah, kalaupun aku bujuk gimana pun Ayah gak bakalan senang."

"Jadi...kamu gak akan ngasih tau sama sekali?"terka Gafa, matanya memicing sebelah. Anggukan Saluna lantas membuat kedua Alis Gafa terangkat."Kamu gak apa?"

"As you see, I'm okay."bibirnya mengulas senyum tipis. Kita lihat aja sampai kapan kamu benar-benar bertahan, Saluna.

Gafa mengecap pelan rasa kopi diujung bibirnya. Ekor matanya masih memandang lekat Saluna disebrangnya, seakan menemukan sesuatu yang janggal pada gadis itu. Dibawah lampu temaram kafe, obsidian gadis itu menyalang—namun tetap saja, hanya sendu yang pemuda itu temukan disana.

"Kalau semisalnya Ayah tau, kamu mau bilang apa?"tanya Gafa lagi.

Dwi netra Saluna menatap keatas, tampak tengah berpikir jawaban yang bagus untuk pertanyaan beberapa sekon lalu."Belum kepikiran hehe, mungkin aku bakalan tetap ambil klub matematika atau biologi? setidaknya aku gak bohong."

"Jadwal klub hari apa aja?"

"Senin sama Kamis tuh, kenapa?"tanya Saluna balik, sementara air muka Gafa berubah."Kok gitu liatnya?"

Gafa menipiskan bibir sesaat,"Kalau gitu, istirahatnya kapan Sa?"

Gendikan bahu Saluna menjawab pertanyaan Gafa yang sejujurnya terdengar menyinggung gadis itu. Ia sudah bulat dengan pilihannya, dan tak akan mungkin lagi merelakan pilihannya. Selagi Ia masih bisa sanggup untuk melakukannya sekaligus—kenapa Saluna harus mundur?

"Do'ain aja aku sanggup. Oke?"sebisa mungkin membuat ekspresi wajah tenang, tak lama menyisir rambutnya kebelakang telinga."Hadeh susah banget ya, kaya gini."

Sayup-sayup Gafa dengar gadis itu berdecak. Jelas paham dengan apa yang sejauh ini telah mengganggu pikiran Saluna. Terkadang pemuda itu pikir Saluna sudah punya pilihan, bahkan bukan pula suatu pilihan yang menyesatkannya. Pilihan yang bahkan menjadi impian untuk orang lain, sementara Saluna malah menyangkal apa yang sudah seharusnya menjadi pilihannya. Mungkin orang lain akan marah, diawal akan menganggap tindakan Saluna ini terkesan bodoh.

PURNA PITHALOKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang