Ephemeral

55 5 2
                                    

Tangannya yang berbalut sarung tangan merah menyisir pelan rambut pirang pucat milik lelaki yang berbaring di pangkuannya. Netra birunya menatap lelaki itu dengan tatapan teduh yang hangat. Bibirnya mengulas senyum tipis yang begitu dicintai rakyat Perancis pada masa kejayaannya. Ia kini menatap gadis di dekatnya, tanpa menghilangkan senyumannya, ia berucap dengan pelan.

"Kau akan membuat kerutan di wajah indahmu jika terus-terusan berekspresi seperti itu, loh, Master."

Sosok yang dipanggil master itu tak mengindahkan perkataan wanita itu. Ia memusatkan semua konsentrasi-nya pada luka di tubuh wanita bermata biru itu.

"Bertahanlah, bertahanlah, Marie! Aku tidak akan membiarkanmu mati di sini!" ucap gadis itu tanpa melirik ke arah wanita yang ia coba sembuhkan. Keringat beberapa kali meluncur dari pelipis sang master, napasnya mulai sesak karena tak berhenti mengeluarkan energi sihir dari tubuhnya. Namun sayang, semua usaha yang dilakukannya tidak membuahkan hasil.

"Master, sudah sebuah kenyataan bahwa aku dan Amadeus sudah lama tiada, bukan?" kata wanita itu--Marie Antoinette tanpa berhenti memainkan rambut Amadeus.

"Dan karena itulah aku tidak akan membiarkan kau dan dia mati di sini!"

Marie terdiam sejenak, raut wajahnya menunjukkan ekspresi terkejut. Marie tahu bahwa gadis itu sadar kalau tindakannya hanya akan berbuah kegagalan. Tapi kenapa? Kenapa gadis itu sangat bersikukuh untuk menyelamatkannya.

"Master, aku--kita semua hidup dalam bayang-bayang kematian. Dia bisa datang kapan saja, dimana saja, tanpa melihat keadaan. Terutama lagi, kita berada dalam kehidupan dimana kita harus bertarung demi nyawa yang tidak ditentukan kapan kematiannya. Itulah fakta yang menyakitkan, Master. Bisa saja ... setelah ini kau atau yang lain dijemput oleh kematian," Sang Ratu Perancis berucap dengan nada lembut.

"Aku tahu itu, aku selalu tahu akan hal itu--"

"--Tapi ... kau akan kembali, bukan? Kau dan Amadeus akan kembali bukan, Marie?" lanjut Luna sambil menatap Marie dengan seksama.

"Master ... maaf, tapi sepertinya kami tidak akan pernah kembali."

Luna bisa merasakan ada rasa aneh di perut serta dadanya ketika mendengar kalimat itu. Tidak bisa kembali katanya. Sebegitu mengerikannya luka akibat serangan musuh baru yang mereka hadapi ini.

Marie meletakkan telapak tangannya yang bebas di sekitaran lukanya sambil mengelusnya dengan pelan. "Luka ini, bukanlah luka biasa. Ini seperti kutukan yang akan membuat kami terkunci di tahta para pahlawan selamanya."

Kini sang wanita bermata biru muda itu menatap Luna dengan tatapan hangat. Tangannya yang tadinya mengusap lukanya beralih menangkup pipi gadis itu sambil mengusapnya sesekali. "Master, jangan tahan dirimu untuk menangis. Keluarkanlah semua perasaanmu, kesedihanmu, dan air matamu. Setelah itu, relakanlah kepergian kami dengan senyumanmu yang begitu kami sukai. Aku dan Amadeus akan selalu berada di sisimu, walau hanya dalam bentuk kenangan."

"Terima kasih, terima kasih telah memberikan kami kesempatan untuk hidup lagi walaupun hanya sebentar. Kau telah memberikanku banyak hal yang indah di kehidupanku ini, Master. Termasuk mempertemukan aku dengan Amadeus. Aku sangat bahagia, aku benar-benar bahagia. Terima kasih, Master. Vive la France!"

Perlahan-lahan sang ratu Perancis dan komposer ternama itu berubah menjadi butiran-butiran cahaya, yang terbang dan menghilang di antara pepohonan yang rimbun

Setetes air mata jatuh kelopak mata Luna, dan setetes lagi, dan setetes lagi. Air mata itu tak berhenti menetes walaupun sang gadis telah menyekanya berkali-kali. Ia berucap pada udara kosong, "Seharusnya ... aku yang berterima kasih kepada kalian, Marie, Amadeus." Gadis itu segera bangkit dari duduknya--lalu berlari untuk menyusul servant-nya yang lain.

----
"Karna! Bagaimana keadaan Rama?!"

"Master, maafkan aku tidak bisa melakukan apa-apa," ucap Karna kala melihat sang master yang tengah berlari ke arahnya. Luna menatap Rama sejenak lalu berlutut menghadap saber kebanggaannya yang bersender tak berdaya pada sebuah pohon

"Rama, hei, Rama!" Sang gadis memanggil pemuda itu sambil menepuk-nepuk pipinya dengan pelan.

"Oh? Master? Kau kah itu? Maaf aku tidak bisa melihatmu," jawab Rama. Ah, itu menjelaskan kenapa ada begitu banyak darah di sekitaran mata pemuda berambut merah itu.

"Hei, bertahanlah, oke?" Rama mencegat tangan gadis itu sebelum dapat menyentuh lukanya, "Master, hentikan, jangan lakukan hal yang sia-sia. Aku mendengar semua pembicaraanmu tadi. Hah ... sepertinya waktuku tidak banyak lagi. Sayang sekali di saat akhir hidupku aku tidak bisa melihat Sita dan Master." ucapnya sambil melemparkan senyum pada sang Master. Luna tertegun, ia hanya bisa berbisik, "Rama ...."

"Heh, kau menangis, ya? Tidak perlu ditahan, Master."

"Kau juga menangis, Rama."

Rama semakin mengembangkan senyumannya, namun senyum itu segera hilang ditelan rasa sakit dari luka yang didapatinya. Rama mengerang kesakitan, dan sesekali memuntahkan darah dari mulutnya.

Pemuda itu menggenggam erat tangan sang Master. Napasnya mulai tersengal-sengal, tenaganya perlahan menghilang. Dengan nada suara yang semakin lama semakin menghilang, Rama berkata.

"Master ... ugh ... jika, jika Sita datang ke Chaldea suatu hari nanti, tolong ... tolong katakan padanya bahwa aku ... aku sangat mencintainya seumur hidupku. Aku sangat ingin bertemu dengannya. Aku ingin terus berbicara dengannya. Aku ingin terus mendekapnya. Aku ... aku benar-benar mencintainya."

"Sita ... maafkan aku ...."

Sang Raja Kosala perlahan berubah menjadi butiran-butiran cahaya--sama seperti kedua servant sebelumnya. Tak ada yang tersisa dari raja muda itu, bahkan pedang yang selalu dibawanya ikut menghilang, mengikuti sang tuan yang sudah tiada.

Mash dan Karna tidak bisa berbuat banyak, semua hal itu terjadi di luar kemampuan mereka berdua. Kini yang bisa mereka lakukan adalah menenangkan master mereka yang mendadak histeris sambil berduka dalam diam.

---

"Ereshkigal-san ... apa menurutmu ... semua itu akan tersampaikan pada mereka?" Luna dan Ereshkigal kini menatap barang-barang yang mulai hangus dilahap oleh api. Sudah seminggu semenjak kejadian itu, dan Chaldea terasa begitu suram--hingga suatu hari salah satu servant mengusulkan untuk membuat hadiah untuk mereka bertiga lalu membakarnya dengan harapan hadiah itu akan sampai pada mereka.

Dan di sinilah Luna dan Ereshkigal, menatapi kobaran api kecil yang melahap semua hadiah itu dengan perlahan. Ereshkigal tidak mau berbohong, ia sebenarnya tidak yakin bahwa semua hadiah itu akan tersampaikan--karena para penerima berada di tahta para pahlawan dan bukannya di dunia bawah.

Sang dewi dunia bawah itu hanya bisa mengusap pelan bahu Luna. Sambil menarik gadis itu menjauh dengan perlahan ia berucap, "Mari kita berharap bersama, semoga mereka menerimanya, dan mengetahui seberapa besar kita menyayangi mereka. Ayo, Master, yang lain sudah menunggu kita."

Sang gadis berambut biru muda itu memahami banyak hal dari kejadian itu. Ia semakin paham jika kehidupan yang diberikan kepada para servant miliknya itu sama rapuhnya dengan kehidupan miliknya sendiri. Tak ada jaminan atas keabadian ketika mereka kembali ada di dunia ini, dan tak ada pula jaminan bahwa mereka akan selalu baik-baik saja. Ia juga memahami bahwa tidak semua hal akan bertahan selamanya di dunia. Bahkan jika mereka sudah mengikat janji sekalipun

EphemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang