Dingin

190 28 13
                                    

Yoongi terbiasa bersama dingin. Terlampau biasa karena dirinya pun tidak pernah lepas dari hawa tembus kulit itu. Min Yoongi yang dingin asumsi orang-orang diluar sana. Tidak mengelak, ia akui dingin seperti temannya karena hatinya sekeras es.

Buang semua itu, lupakan saja.

Hari ini Yoongi benci dingin. Rasa dinginnya menusuk bahkan ke sel-sel penyusun tulangnya takluk. Ia terbiasa, tapi nyatanya belakangan ini tidak. Peluk dan kecup hangat yang menjadi kebiasaannya hilang saat sempat mengisi cukup lama.

Tameng dinginnya hilang. Yoongi mengerung menghela nafas frustasi.

Sesapan pada pinggiran americano tidak membantu sama sekali. Musik pengiring cafe justru membuat Yoongi berjengit merasa tersindir saat lagunya berganti menjadi mantan terindah-Raisa.

Dahi pucatnya menyerah, ia jatuhkan ke meja dengan tangan terlipat sebagai alas. Americano baru masuk satu seruputan ia diamkan saja. Memilih mendengung tak jelas dengan bibir mengerucut.

"Yoon, aku tau kau bosan."

Suara lembut itu menggema di pikiran Yoongi. Sangat lembut sampai hati Yoongi bergetar, bahkan seluruh tubuhnya gemetar. Kalimat itu seperti mendobrak ulu hatinya.

"Kita sudah berjalan lama, Yoon. Dulu aku melihatmu bahagia sekali tapi sekarang sulit melihat senyummu di dekatku. Aku sudah lama ingin mengatakan ini, tapi sulit entah kenapa."

Yoongi ingat waktu itu bocah laki-laki di depannya menjeda sebentar, membuang nafasnya sia-sia. Sirat lelah luar biasa.

"Kau tidak banyak bercerita, seperti tidak ada apa-apa. Sampai aku tau kalau kau bertahan hanya karena aku."

Terlampau jelas. Yoongi ingat semua dengan persisi yang persis sama dengan semalam.

"Jika hanya karena aku Yoon, sumpah."

Tangannya digenggam erat saat kata 'sumpah' menggema di ruangan. Waktu itu Yoongi memilih wajah datar, menutupi hatinya yang kacau. Tak mau tau apa yang bocah itu katakan selanjutnya.

"Kau tak perlu sekasihan itu padaku."

Seperti jelly, tubuhnya lemas seketika. Jimin sakit, lelah, hancur. Yoongi tau itu dari sekali tatap matanya. Tidak bibirnya. Karena brengsek, Jimin masih menyediakan senyum untuknya.

"Kupikir aku tak bisa egois Yoon. Sulit melepasmu karena terbiasa bersama. Aku yang banyak berharap hingga membuatmu tak tega. Maaf."

Jimin sudahi dengan kecupan dipunggung tangan. Malam itu Yoongi hanya diam bahkan hingga Jimin pergi. Sial, bekas kecupannya masih terasa jelas. Yoongi mengerung lagi.

Jimin bodoh.

Brengsek.

Brengsek.

Sialan.

Jimin sialan. Beraninya dia menyudahi Yoongi seperti itu. Jimin brengsek yang memutusinya, membuatnya frustasi beralih mencari cafe untuk refleksi tapi tak berguna sama sekali.

Pelupuk Yoongi basah. Yoongi sadar betul dirinya menangis. Replika ulang saat dirinya bersama Jimin seperti terputar kembali, menamparnya keras ketika sadar bahwa Jimin pantas membuangnya.

Hatinya yang sekeras es ia rutuki. Bagaimana bisa ia selalu mengabaikan afeksi bocah itu? Bagaimana bisa celotehnya tak Yoongi dengarkan selama ini? Bagaimana bisa perasaannya tak sedikitpun dijamah?

Cinta yang Jimin berikan begitu besar.

"Yoon pakai mantelmu!"
"Yoon kau marah? Kenapa diam sekali?"
"Yoon kau lelah?"
"Yoon kau mau aku bagaimana?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 06, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dingin [MY]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang