#NOD, AWAL

18 1 0
                                    



           Letusan – letusan meriam saling bersahut – sahutan. Sebagian tepat sasaran, sebagian mengenai permukaan laut dan meninggalkan deburan ombak. Seisi kapal menjadi semakin tegang ketika dua bola besi berhasil mengenai sisi kiri kapal. Pecahan – pecahan kayunya terbang berhamburan hingga ke dek atas. Kapal hanya sedikit goyah, tidak sampai melubangi sisi kapal yang terkena bola meriam.
          “ Dekatkan kapalmu ke arah kapal musuh. Aku dan Rox akan melompat ke kapal mereka. Setelah itu bawa kapalmu sejauh mungkin, “ kataku kepada Kapten Kapal.

          “Aku tidak akan meninggalkan kalian begitu saja. “ tukas Kapten Kapal.

          “Maaf, anda harus melakukannya. Di kapal ini banyak nyawa yang menjadi tanggung jawab anda. Tapi, bila anda ingin tenggelam sia – sia disini. Tidak masalah. “ suara berat memotong. Dia adalah Rox. Seorang ksatria sepertiku. Hanya saja dia lebih seram dariku.

          “Baiklah, terima kasih atas semuanya. “ Kapten Kapal akhirnya menyerah.

          Aku dan Rox segera berlari mengambil posisi di pinggir pagar dek. Jarak kami semakin dekat dengan kapal Bajak Laut. Terlihat mereka sedang menyiapkan meriam-meriam untuk diluncurkan kembali. Meski begitu sepertinya mereka tidak berniat memuntahkan bola-bola meriam saat melihat kapal kami bergerak mendekat. Waktu rasanya seperti melambat. Adrenalin kami semakin terpacu. Jujur, aku tidak yakin dapat bertahan di tengah-tengah perompak liar itu. Aku menghembuskan napas perlahan. Pengorbanan kadang adalah hal terbaik untuk balas-budi.

          Ketika jarak kapal kami rasa sudah cukup memungkinkan untuk melakukan loncatan nekat. Serentak aku dan Rox melompat dengan bantuan tali yang menjuntai di ujung kapal. Kami berayun cukup berbahaya, melintasi celah antar kapal.

          “ Nod, tembak nahkodanya! “ teriak Rox. Ia langsung menghunus belatinya, memasang kuda-kuda.

          DOR!

          Sang Nahkoda ambruk. Peluruku berhasil mengenai dadanya. Kejadian itu berhasil memancing emosi semua Perompak. Aku segera menghunus pedangku, bersiap terjun ke arena pertempuran yang ekstream.

          “ Kau yakin akan melakukannya, Rox? “ aku meliriknya sekilas. Dia tampak berbeda. Tatapan tajam, dua bilah belati terhunus mengancam membuatnya semakin terlihat seram. Serius, kami butuh keajaiban.

          Tiba-tiba salah seorang menerjangku. Aku berkelit sedikit ke kanan, membiarkannya menerjang udara kosong. Sebelum terlalu jauh ku hujamkan pedangku ke punggungnya hingga menembus dadanya. Tidak jauh dariku Rox telah dikroyok oleh para Perompak. Gerakan belati cepatnya mampu menyaingi serangan-serangan brutal para Perompak. Semakin lama atmosfer pertempuran semakin pekat. Berkali-kali senjata muauh nyaris menyabetku. Setelah aku berhasil membunuh salah satu dari mereka tanpa halangan berarti. Para Perompak ini semakin ganas memburuku. Serangan mereka sungguh brutal.

          Beberapa langkah dariku Rox memberi perlawanan habis-habisan. Para Perompak terlihat kesulitan untuk melumpuhkannya. Empat perompak sudah tergeletak tak bernyawa. Ada beberapa bekas tikaman di tubuh mereka. Rox yang melakukannya. Bagaimanapun juga kami harus bertahan selama mungkin untuk mengulur waktu bagi kapal dagang yang telah menyelamatkan kami.

          Para Perampok menghentikan serangan mereka yang jelas terlihat asal-asalan. Mereka membentuk lingkaran besar mengelilingi Aku dan Rox. Sepertinya mereka merencanakan sesuatu untuk kami berdua.

          “ Berapa yang sudah kau bunuh, Nod? “ tanya Rox dengan napas sedikit tersengal.

          “ Hanya dua. Kira-kira apa yang akan mereka lakukan? “ pedangku tetap siaga. Sepertinya pertarungan masih belum akan berakhir.

          Seseorang maju ke tengah lingkaran mendekati kami. Aku dan Rox saling merapatkan punggung. Dari penampilannya dia terlihat seperti pemimpin mereka.

          “Kemampuan kalian berdua cukup mengesankan,” dia berhenti satu langkah di depanku, “Aku memberi tawaran bagi kalian untuk bergabung dengan kami,” penampilannya cukup rapi untuk seorang perompak bajak laut. Dia lebih terlihat seperti bangsawan.

          “Siapa kalian?” Rox angkat bicara. Orang itu tertawa lebar, “Dari benderanya sudah jelas, bukan?”

          “Ralat, siapa kau?” Aku bertanya.

          Dia tersenyum tipis, “Pertanyaanmu mungkin karena melihat penampilanku yang berbeda. Aku memang bukan bagian dari mereka, lebih tepatnya aku adalah tamu kehormatan mereka. Baiklah, sekarang kalian boleh beristirahat di kabin kapten. Terakhir, terima kasih telah membunuh kapten kapal ini.”

          Aku dan Rox saling bertatapan. Sebenarnya aku percaya dengan kata-katanya. Dia memang seperti pemimpin, namun pakaiannya lebih mirip seorang bangsawan. Baiklah, aku menyarungkan kembali pedangku. Rox menatapku heran. Aku hanya mengangkat kedua bahuku.

          “Silahkan ikuti aku.”

          Orang di depanku membalikkan badan dengan mengibarkan jubah bangsawannya. Para perompak menyarungkan senjata-senjata mereka. Sebagian dengan segera mengurus mayat-mayat rekan mereka. Sebagian kembali ke aktivitas semula.

          Aku memperhatikan semuanya dengan lekat. Ini terlalu aneh. Setahuku para bangsawan biasanya dikelilingi oleh prajurit-prajurit khusus kerajaan. Bukannya dikelilingi para perampok bajak laut yang minim skill bertarungnya.

          Dia benar-benar membawa kami ke kabin kapten. Ketika pintu kabin terbuka, wangi khas seketika menyeruak. Rox dan aku meski terlihat santai, kami tetap siaga. Orang itu membawa kami masuk ke dalam. Kabin kapten ini tidak terlalu luas. Namun, tertata dengan sangat rapi dan  memberi kesan elegan.

          “Mereka selamat,” kata Rox tiba-tiba. Aku menoleh ke arahnya berusaha mencari tahu maksud ucapannya tadi.

          “Kapal dagang beserta awaknya yang telat menyelamatkan kita, mereka selamat.”

          “Ya, mereka selamat. Namun, saat ini kita sedang dalam kondisi yang belum jelas. Belum bisa ditentukan keadaan ini bisa disebut apa.”

          BRAK!

          Tiba-tiba pintu kabin tertutup sendiri. Spontan aku memegang ganggang pedangku bersiap menghunusnya bila memang diperlukan. Rox diam tak bergeming.

          “Sekarang saat yang pas untuk kita bicara,” dengan membelakangi kami, dia melepas jubah bangsawannya.

          “K-kau!” Aku dan Rox sampai tidak bisa berkata-kata.

          Dia membalikkan badannya ke arah kami dengan penampilan legendaris kesatria naga. Baju zirah emasnya yang lentur  membuat kamu takjub. Dia adalah salah satu prajurit khusus legendaris kerajaan. Sungguh suatu kehormatan bisa sedekat ini dengan salah satu dari mereka.

          “Perkenalkan, namaku Am-Zam. Pimpinan dari Legiun Kesatria Naga. Aku dari kerajaan pusat, sama seperti kalian. Meski kalian telah melepas baju zirah kalian. Aku bisa mengenal kalian dari gaya bertarung kalian.” Orang yang bernama Am-Zam itu duduk di kursi kapten.

          “Mendekatlah kalian berdua!” kami mendekati hingga terpisah oleh meja, “Apakah sudah terjadi pemberontakan di wilayah kerajaan pusat?” Am-Zam menangkupkan kedua tangannya di atas meja.

          Aku menghembuskan napas perlahan, “Iya, telah terjadi pemberontakan besar,” kataku lemas. Sangat tidak mengenakkan mengingat itu.

          “Kerajaan pusat telah diambil alih 2 hari yang lalu. Banyak prajurit elite dan khusus legendaris yang berkhianat.” Am-Zam mengatakannya dengan nada terkendali khas perwira.

          “Bagaimana kami bisa mempercayai ucapanmu barusan?” tanya Rox tajam.

          “Akan kuberitahu. Tunggu sebentar,” dia mengangkat tangan kanannya, terlihat di telapaknya seperti bekas luka yang membentuk seperti huruf  “e”. Bekas luka itu mulai mengeluarkan cahaya kebiruan.

          Aku dan Rox menunggu apa yang akan terjadi. Tidak sampai satu menit tiba-tiba kapal terguncang hebat. Syukur tidak ada barang-barang yang terjatuh, lalu disusul dengan suara erangan monster.

          “Dia sudah datang.” Cahaya di tangan kanannya telah padam.

          Aku dan Rox segera menghambur keluar. Seluruh awak kapal menghentikan aktivitasnya. Semua pandangan tertuju ke atas, di daerah anjungan kapal. Siapa pun yang melihatnya pasti akan takjub bukan main. Dari semua hariku, hari ini bisa dihitung sebagai hari bersejarah. Pertama kalinya dalam hidupku menyaksikan langsung seekor naga dengan jarak sedekat ini. Tubuhnya yang berwarna biru terasa begitu kontras dengan cahaya jingga di sore hari. Dia bertengger di pagar pembatas kapal sambil menatap kami tajam dengan merentangkan kedua sayap besarnya.

          “Kawan besarku itulah yang memberitahuku.” Tiba-tiba Am-Zam telah berada di antaraku dan Rox, “Naga adalah salah satu makhluk dengan kekuatan besar. Sirkuit sihirnya sangat kuno sehingga cukup susah untuk ditiru oleh para penyihir. Hebatnya, Sang Penunggang naga juga mendapatkan kekuatan Sang Naga.” Ia berjalan mendekati Sang Naga, aku masih belum mengerti arah pembicaraannya.

          Naga itu sedikit merendahkan kepalanya agar Am-Zam dapat menungganginya. Aku dan Rox saling tatap. Apakah dia mau pergi begitu saja setelah memamerkan naganya?

          “Kalian berdua ikutlah denganku. Kapal ini akan berlabuh di daratan kekuasaan Abadon. Tujuan terakhir kita.” Dia masih merendahkan kepala naganya.

          Aku dan Rox saling tatap. Sejujurnya kami sedikit curiga dengannya. Namun, sebaiknya kami mengikuti alurnya saja terlebih dahulu. Kemi mengiyakan ajakan Am-Zam. Ketika kami duduk dengan berusaha senyaman mungkin, naga besar ini langsung mengepakkan sayap besarnya. Kapal sedikit oleng terkena hentakan angin dari kepakan sayap naga.

          Hewan raksasa ini membawa kami terbang ke atas langit dengan cepat. Aku mencekram kuat kedua bahu Am-Zam. Aku benar-benar takut terjatuh dari ketinggian seperti ini. Berbeda dengan Rox sepertinya dia sangat menikmati perjalanan terbangnya. Bahkan, sekarang dia sedang berusaha berdiri di belakangku.

          “Kita akan kemana?” teriakku di sebelah telinganya, berusaha mengalahkan suara angin.

          “Ke dunia yang tidak pernah dilihat oleh siapa pun kecuali aku dan Abadon,” jawabnya setengah berteriak pula.

          “Bahkan Warlock sekalipun?” tanyaku agak penasaran.

          Am-Zam mengangguk, lalu dia komat-kamit tidak jelas. Aku memperhatikannya dari belakang. Matanya terpejam seolah begitu menghayati ucapannya yang hanya dia sendiri yang bisa mendengarnya. Rox yang telah berhasil berdiri dengan baik menepuk pundakku.

          “Apa itu, Nod?” Rox menunjuk ke depan.

          Tidak jauh di depan kami awan-awan mulai berkumpul dengan cepat. Warnanya yang putih segera berganti hitam pekat diikuti letupan-letupan petir yang menyambar-nyambar. Aku diam terpaku menyaksikan itu. Tanpa kami sadari tangan kanan Am-Zam telah bercahaya terang. Ia mengangkat tangan kanannya ke arah gumpalan awan hitam yang penuh petir.

          “Sekarang, Eragon!” katanya setengah berbisik, lantas tiba-tiba naga besar ini menambah kecepatan secara drastis.

          “Hei, kenapa kita menuju awan hitam itu?!” Aku berteriak sekencang-kencangnya, berusaha mengalahkan hembusan angin yang seperti badai.

          “Am-Zam, petir itu bisa membunuh kita!” setelah mengatakan itu. Secepat kedipan mata, petir menyambarnya dengan suara menggelegar.

          “Am-Zam!” suaraku tidak terdengar lagi. Kalah oleh suara kilatan-kilatan petir.

          Tiba-tiba semuanya gelap. Rasanya aku sedang jatuh dari langit. Entah apa selanjutnya.
~•~

Dua DarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang