#bukanceritareligi
.
.
.
.Kedua jemari mungilnya sejak tadi tampak menjadi pelampiasan kegugupan. Remasan dan saling dikaitkan satu sama lain tetap saja melanda kerisauan hati. Embusan napas rendah perlahan dikeluarkan. Sejak lima belas menit rasa sesak itu tak juga memudar. Kekalutan lebih mendominasi pergerakan tubuhnya.
"Maaf, aku terlambat. Padahal aku yang minta kita ketemuan. Kamu sudah lama menunggu, Alara?" ucapnya sembari mengulurkan tangan yang disambut hangat.
"Nggak apa-apa. Mbak pasti sibuk."
Zahra Ghaniya adalah seorang wanita sempurna. Berpendidikan tinggi lulusan Kairo. Ilmu agama yang dimiliki pastilah luar biasa sebagai bibit istri shaliha yang mengagumkan. Pancaran dalam dirinya penuh dengan aura positif. Parasnya yang rupawan makin memesona dengan balutan busana muslimah syar'i. Daya magisnya membuat rasa percaya diri Lara merosot.
Inikah perempuan yang dicintai Mas Wafi sejak dulu?
"Kamu masih kenal sama aku, kan?"
Lara mengangguk. Bagaimana ia bisa lupa dengan paras cantik wanita itu. Meski hanya sekali bertemu pada acara pesta keluarga sang suami yang sangat dielukan oleh perempuan tua, Tantenya Mas Wafi. "Saya masih ingat Mbak Zahra, kok," sahutnya sopan.
Kening Zahra mengerut memerhatikan meja yang hanya terdapat satu gelas minuman jus. "Kamu nggak pesan makanan? Padahal lama, loh, nungguin aku."
Lara tersenyum simpul. Dalam situasi seperti ini ia benar-benar tak merasakan lapar dalam lambungnya. Meski saat ini sudah lewat dari jam dua siang. Bahkan Lara hanya baru mengonsumsi sarapan pagi tadi jam tujuh. "Saya nggak lapar, Mbak."
"Oh, kebetulan aku juga lagi buru-buru. Kalau gitu aku pesan minuman saja." setelah itu Zahra memanggil pelayan memberitahukan pesanannya. Selagi menunggu minuman datang Zahra tersenyum tipis memerhatikan wanita di depannya. Wanita sederhana dengan balutan dress bunga-bunga selutut dan rambut dibiarkan tergerai terlihat manis meski hanya riasan tipis yang melekat di wajahnya.
"Oke, kita langsung saja, ya."
Lara tersentak. Cukup terkejut bahwa minuman Zahra sudah ada di atas meja.
"Kamu melamun?" tanya Zahra menelisik gelagatnya.
"Maaf, saya hanya kurang fokus memikirkan anak saya di rumah," jawab Lara tak enak hati. Selain merasa canggung ia memang cemas sejak tadi mengabari ART-nya menanyakan balita tampan 4 tahun.
Ekspresi wajah Zahra berubah datar saat mendengar tentang balita tersebut. "Alara ..."
"Ya, Mbak."
Helaan napas berembus lelah. "Tolong kamu lepas Mas Wafi."
Untuk sesaat Lara terdiam. Ternyata dugaannya tidak salah.
"Aku rasa lima tahun ini sudah cukup kamu menahannya. Meski nggak bilang langsung aku tahu selama ini dia cukup tertekan dengan beban rumah tangga yang nggak pernah dia rancang bersama kamu. Entah berapa banyak impian yang terpaksa dikubur demi untuk menjadi tameng. Menjaga agar nama baikmu dan keluargamu tetap baik. Bahkan dengan kebesaran hati yang luar biasa, aku yakin Mas Wafi membutuhkan mental baja untuk menerima kehadiran anak itu menjadi bagian tanggung jawabnya. Walau pada akhirnya sekarang dia sangat menyayanginya."
Nyeri. Rasanya banyak ribuan jarum yang dimuntahkan dari intonasi kalimat itu. Suara Zahra memang halus dan sopan tapi terasa menyakitkan.
"Maaf, aku bukan maksud ingin merebutnya darimu. Tapi, bukankah kamu sudah tahu, bahwa sejak dulu cintanya Mas Wafi hanya untukku. Dia menungguku untuk meraih cita-cita pendidikan. Tapi dia malah dihadapkan oleh sebuah tanggung jawab yang seharusnya bukan dilakukan olehnya. Ya, Mas Wafi memang laki-laki baik. Laki-laki sempurna. Nggak akan tega membiarkan siapa pun yang ditemuinya mengalami keterpurukan. Seperti kamu yang saat dulu mengalami --"
KAMU SEDANG MEMBACA
Duka Lara (one shot)
Short StoryKetika kehadirannya menjadi penghalang sepasang manusia yang menyimpan sebuah cinta. Dia, Alara Nafisah ... perempuan rapuh yang penuh duka.