Entah, dari mana aku harus memulai kisah ini. Semua yang terjadi merupakan rangkaian peristiwa demi peristiwa sejak aku kecil hingga dewasa. Mungkin bisa dimulai dari masa kecilku. Terlahir sebagai anak bungsu dari lima bersaudara. Orang bilang anak bungsu menjadi anak kesayangan ayah bunda. Tapi menurutku tidak. Kasih sayang orang tuaku terbagi rata pada semua anak-anaknya. Bahkan kurasakan kasih sayang yang diberikan ayah dan ibuku kepada kak Shilla, kakak perempuan nomer empat, jauh lebih besar.
Mungkin karena kak Shilla lahir lebih dulu ketimbang aku. Dulu, orang tuaku menginginkan anak perempuan setelah memiliki tiga anak laki-laki. Dan harapan itu terkabul ketika kak Shila lahir. Selang empat tahun kemudian barulah aku lahir.Tapi kelahiranku mungkin tak memberikan surprise lagi, karena mereka sudah memiliki kak Shilla sebelumnya. Apalagi kak Shilla sering sakit-sakitan saat masih kecil, sehingga perhatian orang tuaku lebih banyak tercurah padanya.
Bahkan kudengar cerita dari tanteku, saat usiaku baru tiga bulan ibuku terpaksa harus menyapih aku karena beliau tak punya banyak waktu untuk mengurusku. Beliau harus bolak-balik ke rumah sakit menunggu kak Shilla yang panas dan kejang-kejang. Ketika aku mulai tumbuh besar, perhatian orangtuaku pun lebih banyak tercurah pada kak Shilla. Kondisi kak Shilla yang lemah dan ringkih memang membutuhkan pengawasan ekstra. Orang tuaku tidak menginginkan kak Shilla jatuh sakit.
Itulah mengapa segala upaya mereka lakukan demi melindungi dan menjaga kak Shilla. Mereka meminta anak-anaknya yang lain ikut menjaga kak Shilla. Jangan sampai kak Shilla tercederai, terluka, apalagi tersakiti. Sejak kecil aku dibiasakan untuk mengalah pada kak Shilla. Jika kami sedang bermain bersama dan mainanku diminta kak Shilla, maka aku harus memberikannya. Sebaliknya, aku tak boleh merebut atau meminta mainan kak Shilla. Aku selalu teringat pada kata-kata Ibu setiap kali aku berebut mainan dengan kak Shilla.
"Ify, kamu harus mengalah. Kak Shilla kan lagi sakit. Ayo, dong kasih mainannya. Kalau nanti Kak Shilla jatuh sakit lagi, bagaimana? Kan ibu yang susah...!"
Begitulah. Selalu aku yang harus mengalah. Dan biasanya, aku luluh bila Ibu sudah bilang begitu. Kutatap mata Ibu yang redup, wajahnya yang pias, gurat kesedihan yang membayang. Kusadari, betapa letih dan penat Ibu mengurus anak-anaknya, terutama kak Shilla. Tubuhnya sampai kurus kering karena seluruh energi dan pikirannya tercurah pada si 'anak lemah' itu. Dan aku pun tak tega menambah bebannya dengan sikap pemberontakan atau perlawanan.
Orang mungkin akan iba melihatku terasing dalam keluarga. Sebagai anak bungsu seharusnya aku yang menjadi tumpuan kasih sayang orang tua. Mereka khawatir aku akan menjadi pribadi yang minder dan tertutup, karena meratapi kemalangan diri. Tapi tidak, aku tidak senaif itu. Aku bukan seorang pencemburu atau iri hati. Aku menyadari, memang sudah nasibku harus mengalah pada kakakku. Sikap orangtuaku yang menginginkan agar aku selalu mengalah justru membuatku menjadi peka terhadap keadaan. Aku menjadi pribadi yang lebih mandiri, kuat, dan toleran.
Aku berusaha memahami dan menerima kenyataan yang ada. Aku pun berusaha melakukan segala sesuatunya sendiri tanpa bergantung dan mengharap bantuan orang lain. Aku berusaha mencari dan menciptakan sendiri kebahagiaan bagi hidupku.Mungkin di rumah aku tidak mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari keluarga, tapi aku bisa mendapatkan dari teman-teman, para tetangga, dan handai taulan. Aku menikmati duniaku dengan caraku sendiri. Sikap easy going tanpa beban dan selalu ceria menjadikan aku pribadi yang lincah dan periang. Banyak orang menyukai diriku. Karena kepada siapa pun aku mau bergaul dan bersikap ramah. Aku mendapatkan apa yang tidak kudapatkan di rumah!
Sebaliknya, kak Shilla yang mendapat banyak limpahan perhatian, perlindungan, dan kasih sayang dari orangtua justru menjadi pribadi yang manja, cengeng, dan rapuh. Ia tidak bisa hidup tanpa proteksi dan dukungan dari orang-orang di sekitarnya. Ia juga tidak peka dan rentan terhadap lingkungannya. Jika ada masalah sedikit saja. Ia tak henti mengeluh. Ia juga tidak tahan terhadap rasa sakit. Tersinggung oleh omongan pedas atau teguran kecil saja, ia bisa menangis seharian!
Meski kak Shilla kini sudah dewasa, sudah duduk di semester tujuh dan sudah punya pacar, sikapnya tak juga berubah. Ayah dan Ibu masih memperlakukannya seperti anak kecil. Kak Shilla masih suka manja, kolokan, dan selalu ingin diperlakukan seperti putri raja. Aku sendiri tidak merasa iri atau cemburu. Aku sudah terbiasa dengan kondisi itu. Justru aku merasa senang, tidak menjadi sumber kecemasan dan kerisauan. Dengan status 'anak terlantar', aku bisa bebas pergi ke mana aku suka. Tidak ada yang mencari dan menanyakan bila aku tidak ada. Aku pun bebas melakukan apa saja tanpa ada yang melarang dan menghalangi.
Ini berbeda dengan kak Shilla yang mau apa-apa serba dilarang dan dibatasi. Orang tuaku tidak ingin kak Shilla mengalami masalah. Maklumlah, ia punya riwayat kesehatan yang mengkhawatirkan. Acara di luar seperti outbounds, camping, traveling, atau kegiatan lapangan jarang atau hampir pasti tak pernah dinikmati kak Shilla.
Padahal pengalaman di luar itulah yang justru membuat orang terbuka wawasannya dan terpuaskan dahaga kemerdekaannya. Kalau boleh aku bilang, kak Shilla makhluk paling kuper sedunia. Remaja bilang tidak gaul.
Ia tidak bisa menikmati kebebasan seperti anak-anak muda lainnya. Ia tidak bisa merasakan indahnya dunia tanpa tepi. Dunia yang dihadapinya hanyalah sebatas ujung kecemasan orangtuanya.
Dengan membandingkan kenyataan seperti itu, membuat aku justru merasa lebih bahagia dibanding kak Shilla. Aku bisa melakukan apa yang tidak bisa dilakukan kak Shilla. Aku bisa mendapatkan apa yang tidak bisa didapatkan kak Shilla. Mungkin kak Shilla bisa mendapatkan lebih banyak cinta dan perhatian dari orangtua, tapi itu tak membuatku berkecil hati. Toh, menurutku tugas orangtua sudah cukup menghadirkan dan membesarkan anaknya. Setelah itu sang anak bisa mencari sendiri cinta sejatinya! Cinta sejati...?
Hatiku bergetar mengejanya. Cinta sejati. Ya, cinta sejati. Cinta yang bisa membuat seseorang merasa bahagia. Yang membuat seseorang menemukan dunia sesungguhnya. Karena memang sudah galibnya yang dicari manusia di dunia ini adalah cinta. Karena cinta sumber kebahagiaan. Cinta sumber kehidupan. Dengan cinta orang bisa hidup dan melanjutkan hidupnya. Cinta adalah telaga energi tak pernah kering, yang senantiasa menyuntikkan semangat dan gairah pada jiwa, yang senantiasa menyejukkan dan mendamaikan hati. Karena itu, siapa yang rela mengorbankan cintanya? Siapa pun pasti tidak mau. Sangat bodoh dan kerdil jiwanya jika seseorang mau memberikan cintanya pada orang lain. Itu sama juga membunuh hidupnya sendiri. Bila ada orang bilang mengorbankan cinta demi kebahagiaan orang lain, itu omong kosong belaka. Cinta seharusnya diperjuangkan, kalau perlu dengan mengorbankan jiwa dan harta benda. Cinta harus dimiliki, apapun taruhannya. Sekalipun harus disingkirkan dan diasingkan oleh keluarganya!
Bicara tentang cinta, banyak hal bisa diungkapkan. Benar kata orang, kehidupan cinta banyak diwarnai dengan suka-duka, tawa-tangis, manis-pahit, dan bahagia-derita. Aku bisa mengatakan demikian, karena cinta memang bagai dua sisi mata uang. Satu sisi menawarkan keindahan, keceriaan, dan kebahagiaan. Namun di sisi lain cinta juga menghadirkan penderitaan, kemalangan, dan duka lara. Kisah cinta yang romantis, heroik, sekaligus tragis. Itulah yang kualami dan akan kututurkan kisahnya...
bersambung....
cerita ini mungkin hanya beberapa part