Hari itu seisi rumah heboh ketika kak shilla pulang membawa seorang laki-laki. Apalagi laki-laki itu diaku sebagai kekasihnya. Namanya rio. Dia kakak kelas kak shilla dan sudah menjelang wisuda. Orangnya cukup ganteng, gagah, dan keren. Ayah dan Ibu terlihat resah. Mereka lalu menarik tangan kak shilla, membawanya ke kamar untuk diinterograsi. Jika orangtua lain cukup bahagia anak gadisnya sudah punya pacar, tidak demikian dengan orangtuaku.
"Sudah berapa lama kamu mengenal dia, shilla?" tanya Ayah seperti anggota intel negara.
"Sebenarnya sih, sudah lama, Yah. Tapi kita jadian baru satu minggu ini!" jawab shilla.
"Apa? Baru satu minggu kamu sudah menganggapnya pacar?" seru Ibu kaget.
"Memangnya kenapa, Bu? Tidak boleh aku pacaran? Aku kan sudah dewasa. Sebentar lagi aku juga lulus!"
"Ibu tahu, Nak. Tapi kenapa secepat itu. Kamu belum mengenal dia lebih jauh, tapi sudah memutuskan untuk pacaran. Ibu takut nanti dia akan menyakiti hatimu. Dia akan meninggalkanmu dan akhirnya kamu..."
"Sudahlah, Bu. Kenapa Ibu jadi parno begitu. Dulu, waktu SMA aku tidak boleh pacaran, bahkan sampai aku kuliah di tingkat dua. Aku mencoba menuruti keinginan Ibu. Tapi sekarang aku sudah cukup dewasa!"
"Ya, Ibu mengerti. Tapi...?"
Aku yang mendengar pembicaraan itu dari balik pintu hanya senyum senyum. Aku jadi penasaran, seperti apa cowok yang dibawa kak shilla. Aku segera menghampiri dia yang sedang duduk sendirian di ruang depan. Kasihan, tamu dibiarkan menganggur. Saat aku mengintip dari balik dinding yang memisahkan ruang depan dan ruang dalam, aku sempat terpana. Wah, cakep juga orangnya. Pantas Kak shilla ngotot pengen pacaran dengannya!
"Ehm!" Aku berdehem ketika sudah berdiri di sampingnya.
Dia jadi kaget karena tadi asyik memandangi akuarium yang ada di sudut ruangan.
"Oh, maaf, saya tidak lihat. Kenalkan, nama saya rio. Saya temennya shilla" kata rio sambil menyalami aku.
"Temen atau pacar?" godaku.
Wajah rio tersipu-sipu.
"Kamu...?"
"Aku ify, adiknya kak shilla. Silahkan duduk...!"
"Terima kasih!"
Kami duduk berhadapan. Aku jadi tersipu malu saat pandangan mata rio menyapu diriku dari ujung rambut hingga ujung kaki. Perasaanku jadi berdebar-debar sendiri.
"ify sekolah di mana?" tanya kak rio kemudian.
"Saya sekolah di SMA Negeri 1, sudah kelas tiga," jawabku kalem.
"Wah, sebentar lagi lulus. Mau nerusin ke mana setelah lulus?"
"Belum tahu, Kak. Belum dipikirkan..."
"Kok belum dipikirkan. Memang ify tidak punya cita-cita?"
"Punya, kak. Tapi... gimana ya? Takut tidak kesampaian saja..."
"Jangan suka ragu. Karena keraguan itu sudah merupakan bagian dari kegagalan. Jika kita punya tujuan, maka kita harus berusaha dengan sekuat tenaga mencapai tujuan itu. Apapun resiko yang harus dihadapi. Karena bisa meraih apa yang kita impikan, itu akan membuat kita puas dan bahagia!"
Aku tersenyum mendengar kata-kata kak rio yang bijak. Kayaknya kak rio orangnya enak diajak ngobrol. Pintar dan berwawasan luas. Pantas kak shilla memilihnya menjadi pacar. Tapi sayang, aku tak bisa berlama-lama ngobrol dengan 'calon iparku' itu. Tiba-tiba kak shilla sudah berdiri di sampingku, menampakkan wajah cemberut.