Beginning Arc - 07

61 17 0
                                    

Anak itu sangat cantik. Dia memberikan sinyal dengan bibir merah mudanya agar Zika segera menjawab.

Namun Zika malah balik bertanya, "Sejak kapan kau ada di sini, Shallie?"

Shallie tersenyum, entah apa yang berada dalam benaknya. "Cukup lama untuk tahu kau memiliki suatu kotak yang tampaknya..." Dia mengedipkan mata, "...rahasia."

Zika mengambil sepedanya, "Aku tak tahu apa maksudmu."

"Oh, hentikan sandiwaramu." Shallie merubah intonasi suaranya. "Aku tahu kau pintar. Tapi kau adalah orang dengan akting terburuk di pulau ini."

Zika memutar bola matanya dengan kesal. Dia bergegas ingin kabur.

"Hei... apa perlu kulaporkan pada Ridhan?"

Kali ini Zika menghadapi Shallie dengan serius. "Kau... berani?"

Itu tantangan.

Shallie menutupi mulutnya untuk menyembunyikan tawa kemenangannya, "Zika... Zika... Zika... Sebaiknya saat mengancam seseorang kakimu harus berdiri tegak."

Seketika Zika menunduk, menyadari kakinya bergetar hebat. Padahal dia pikir dia sudah mampu menutupi kegugupannya, dan ternyata tubuhnya sendiri mengkhianatinya.

"...maumu..."

"Eh?" Shallie mendekati Zika, "Ulangi."

"Apa maumu?"

Skakmat. Ini yang ditunggu-tunggu Shallie. "Pindahkan sebagian poin rumahmu ke rumahku. Lima ribu poin."

"Itu... gila. Tidak mungkin sebanyak itu!"

"Pilihanmu, Zika. Lima ribu atau perjanjian batal."

Akal sehatnya kembali, Zika berdecak pada Shallie, "Jika aku memberimu 5.000 poin maka Ridhan akan curiga. Tidak akan ada gunanya perjanjian ini."

Sepertinya Shallie akhirnya mengakui argumen tersebut. "Baik, 2.500."

"Tidak, aku cuma bisa 1.000. Terima atau lupakan," tandas Zika, masih dengan kakinya yang gemetaran.

***

Moldy menatap dengan tidak percaya pada layar poin di rumahnya. Berkurang 200 begitu saja. Dia berteriak pada istrinya dengan kalap, "IVANA! Lihat ini!"

Sebenarnya Ivana sedang menunggu Rion di dekat pintu masuk. Mendengar panggilan itu dia bergegas ke lantai dua ke kamar mereka. Moldy menunjuk layar digital yang terpasang di setiap kamar di setiap rumah. Awalnya Ivana kebingungan namun ketika dia menyadari apa yang terjadi, dia terkesiap dan mendadak gagap.

"Ri-ridhan?"

Suaminya mengangguk. Siapa lagi, pikirnya.

"Apa boleh begitu?" Ivana menggigit-gigit bibir dengan frustasi. "Poin rumah kita sudah paling rendah, Moldy!"

"Aku tahu itu!" sahut Moldy ketus. "Apa dia sudah kembali?" Yang dia maksudkan adalah Rion.

"Belum."

"Bagaimana persediaan makanan kita?"

Ivana hampir kehabisan nafas. Dia kini menyadari dengan sisa 50 poin untuk rumahnya berarti mereka tidak akan mendapat kiriman makanan selama seminggu. Keduanya bergegas menuju dapur dan mendapati Jer sedang duduk di lantai dapur dengan dikelilingi makanan. Pintu kulkas terbuka lebar. Anak itu mengunyah tanpa henti. Moldy dengan susah payah menarik Jer menjauhi tumpukan makanan sementara Ivana buru-buru merapikan segalanya dan mengembalikan semua makanan ke kulkas. Jer yang tidak mengerti apa yang terjadi meronta-ronta meminta makanannya lagi.

Di dekat mereka berdiri Rion. Rupanya dia sudah kembali. Air matanya mengalir deras, "Maaf," lirihnya. Lalu lirih itu berubah menjadi isakan panjang.

***

S.E.C.R.E.TWhere stories live. Discover now