INDRA

6 0 0
                                    

Di tengah matahari sudah menjenuhkan, jam menunjukan pukul empat lebih lima puluh dua. Aku masih berkutat dengan tugas makalah pembelajaran yang tidak pernah ku mengerti sama sekali di ruang evaluasi himpunan yang tidak terlalu besar ini. Ku dengar beberapa langkah sepatu murah yang mendekati pintu ruangan. "Dra! Anak-anak yang masih ada di sini disuruh ke ruangan Pak Dana," Cetus Rendra saat sudah memasuki ruangan dengan keadaan pintu masih terbuka. Aku mengemas buku-buku dan pulpen berwarna hasil rampasan tempat pensil anak rumahan, mengambil telepon seluler lalu berdiri. "Ngapain. Ren?" Tanyaku ke pada Rendra yang masih mengunyah sedikit roti sobek olehan resto. "Ya gak tau," jawabnya. Selang waktu beberapa lama, ku putuskan untuk menuruti maunya, mengulur beberapa langkah ke ruangan Pak Dana yang berada tidak jauh dari ruangan ini. I

***
Tok tok tok
"Assalamu'alaykum," ucapku di balik pintu yang masih tertutup. "Siapa?" Tanya Pak Dana yang masih tidak mengetahui persis suaraku walaupun sudah mengadakan perkumpulan beberapa kali. "Indra,Pak. BPM dari himpunan mahasiswa pengkaji tata tertib dan hukum," cetusku memeberkan supa ingatan pak Dana kembali berjalan dengan sewajarnya. Ia membuka pintu seraya memberi senyuman merekah yang selalu diberikan saat seorang mahasiswa keren menemuinya, tapi aku tidak keren. Salah. " besok ada diskusi tentang tata tertib, jam 9.15 di ruangan ini," cetus pak Dana yang sukses memutuskan jadwal bermain game dan menonton youtuber youtuber kurang kerjaan. "Jangan lupa kabarkan ke yang lain, semua harus hadir, atau kalau tidak yang penting ada perwakilan dari per komisi bidangya," aku hanya mengangguk ria dan kembali mendengarkan wejangan pak Dana yang pergi begitu saja setelah mengabari adanya diskusi dadakan. "Sialan! Kalau tau gitu gaakan ke sini," cetus Rendra tidak berguna. "Yaudah, sekarang kita balik, benerin makalah makalah yang selalu direvisi, haha," jawabku singkat padat tidak berguna.  "Ngebahas apa ya Dra?" Tanya Rendra lagi-lagi membuatku ingin mengumpat dan membungkam mulutnya. "Gatau lah Ren, kita kan cuma disuruh ngumpulin anak-anak," jawabku seraya menalikan tali sepatu. "Gimana besok aja," lanjutku.

***

Hari minggu, jam menunjukan pukul sembilan lebih tiga puluh menit. Tetapi diskusi belum mulai juga, tapi diskusi ini sepertinya serius sekali, ku lihat sekeliling— ada hal-hal yang biasanya ku temui di sidang paripurna setiap tiga bulan sekali. Ku hela napas panjang setelah beberapa kali mencoba masa bodoh dengan apa yang akan dicetuskan pada pagi ini. "Dra, di sini udah lama?" Tanya Syahma membuyarkan pikiran-pikiran yang sudah tersusun rapi di atmosfer keheningan. "Ngga, baru tadi-" jawabku singkat. Syahma hanya mengangguk dan menyudahi basa basinya lalu duduk di kursi ke dua sebelah kananku. "Mau ngapain ya?" Pertanyaan itu terlontar lagi-lagi. Ku jawab tidak tahu untuk kesekian kali.

Dari ujung pintu ruangan, ku lihat ada Pak Dana bersama pembina-pembina himpunan yang memakai pakaian terbaiknya. Mereka membawa buku buku lawas dan kertas berbalut map yang harus ditanda tangani. Mereka duduk lalu memulai diskusinya dengan nada yang punya tangga beraturan pada porsinya. Aku kembali melihat ke pada gerak-gerik mereka yang biasanya tidak seperti ini. Ketika diskusi dibuka, semua anggota himpunan berdiri lalu kembali duduk dan menyiapkan tulisan-tulisan di atas meja berlandaskan bosan tangan disidang mpan di tempatnya, atau tidak mau terus menerus duduk tegak bak pejabat musiman.

"Indra, dipanggil Bu Dini. Katanya ada sesuatu yang harus dibicarakan sama beliau," seru Dinda yang baru mendatangi ruangan diskusi. Ku anggukan kepala lalu meminta izin ke pada seluruh pimpinan yang menyelenggarakan diskusi. Lalu melangkahkan kaki menuju ruangan yang lain. Padahal ingin sekali aku mengetahui apa isi dari diskusi hari ini. Tapi apa boleh buat.

Jam menujukan pukul sebelas lebih dua puluh menit. Di sela tumpukan-tumpukan yang harus aku tanda tangani, diskusi pasti sudah selesai, Pak Dana pasti sudah mengambil kesimpulan yang aku tidak tahu apa isinya. "Terima kasih, Indra. Sekarang kamu boleh lanjutkan aktifitasnya," cetus bu Dini yang seharusnya dia lontarkan dari satu jam yang lalu. Aku hanya menganggukan kepala, meng iyakan apa yang ia perintah lalu kembali ke ruangan diskusi dengan mengucap salam terlebih dahulu. Setelah ku ulur beberapa langkah, tiba di pintu cokelat tua tanpa dibuka.

FA•NA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang