SYAHMA

2 0 0
                                    

Reruntuhan bangunan menghiasi Yerussalem yang panas dengan pasir dan perang. Menghirup bau mesiu dan kematian sudah menjadi rutinitas bagi siapa pun yang berani menentang. Namun langit selalu sabar dalam birunya, awan yang menyejukan hati para mujahid dalam menjemput gelar syahid. Burung merpati menari-nari di udara memandang dari kejauhan, mendengar dalam desiran angin, yang akan menjadi saksi jihad fisabilillah dalam mempertahankan bait ummat Islam di seluruh dunia. Kubah emas yang berkilau dari kejauhan, dan kubah hitam yang membuat haru siapa pun yang melihatnya. As-Sakhrah dan Al-Aqsa menjadi tempat damai bagi ibadahnya tiga agama. Namun zionisme menjadi penghancur dari sebuah peradaban yang dijaga bertahun-tahun.

Palestina, menjadi ujung tombak dalam mempertahankan kedamaian bait Allah, yang membuat haru bagi setiap orang yang mendengar kisahnya. Aku melangkah menuju aula yang akan mengubah cara pandang orang dalam berempati. Kutarik napas berat pasca melihat poster poster terpajang di sepanjang jalan koridor. Lalu berpikir, Ketika rumah-rumah itu dihancurkan oleh bulldozer dengan suara deru yang meresahkan, melepas puing puing rumah dan debu yang tercampur darah-darah insan tidak bersalah, ketika luasan perkebunan yang dipakai oleh gadis gadis kecil memamerkan hasil rangkaian bunganya disengketa seenaknya, ketika kiblat pertama kami dikeruki berbagai aksi pembodohan bawah tanah, lalu yang mereka injaki adalah kening kening suci kaum muslimin yang seharusnya masih bisa untuk berada di sana, ketika kamar-kamar terhiasi ketakutan, malam menjadi tiada arti karena siangpun sungguh menyiksa keadaan hati.Ah, bagaimana aku bisa melupakanmu?

Sepasang kekasih halal dengan anak-anaknya, pemuda pemudi dengan segala sadarnya, Sekumpulann orang yang katanya bersahabat, bahkan orang tua yang tidak pernah lupa akan ajalnya menjadi pemandangan indah yang menuntunku untuk duduk di depan mimbar yang belum terbakar setelah aku memasuki aula dan menanda tangani petisi melawan zionis yang tidak pernah didengar. Lalu beberapa saat kemudian, wanita-wanita bak peladen tersenyum dibalik cadarnya, menyodorkan kudapan yang dianjurkan sebagai teman, sampai acara ini selesai. Lalu seorang wanita tiba berdiri dibalik mimbarnya, menandakan acara sebentar lagi akan dimulai. Video kilas balik menjadi pembukaan merasakan bagaimana perjuangan saudara palestina setelah beberapa poster yang kutemukan di koridor tadi. Ada anak-anak yang terpaksa kehilangan orang tuanya, lalu tersenyum dan yakin bahwa surga terlihat lebih indah dari pada dunia yang fana. Ada orang tua yang terpaksa kehilangan anak-anaknya, setelah mereka berusaha membela atas mainannya yang berubah menjadi puing, atau karena jendela kamarnya yang berubah menjadi warna merah tua, ada juga yang mengikhlaskan separuh jiwanya, separuh keluarganya untuk menjadi budak kendati mereka akan melawan negaranya sendiri. Aku yakin, apa pun yang terlampir dalam video ini adalah sebagian kecil dari hancur hatinya semua raga yang ada di sana.

jam sudah menunjukkan pukul 12.00 menandakan acara sebentar lagi selesai. Seorang pemuda bertubuh tinggi memakai kemeja warna hitam, merupakan relawan palestina naik ke atas mimbar yang sudah panas. Lalu mengucap basmallah. " Ada salam dari palestina, ke pada teman-teman sekalian, warga Palestina sendiri yang berbicara dengan saya berkali-kali, bahwa warga palestina yakin, Indonesia akan kembali menjemput kemerdekaan Pelastina, bahwa Indonesia akan menjadi tangan-tangan kuat palestina yang menjadi pelawan pertama israel, bahwa warga Indonesia akan menjadi kaki kaki yang melangkah di berisan terdepan bersama palestina untukmerebut kembali nama Islam yang seharusnya jaya di sana." Pemuda itu menunduk seraya membawa suasana yang terpuruk, lalu kembali menghadap ke depan pendengar yang wajah- wajahnya sudah sayu. "Terima kasih, teman-teman sekalian," lanjutnya. Seseorang dengan isak tangis menyerukan takbir untuk kesekian kalinya, lalu seisi ruangan keluar dengan beberapa tujuan berbeda yang dibawanya.

"Syahma, di mana?" Tanya Diana lewat ponsel yang kugenggam. " di deket aula olahraga, Na. kenapa?"  jawab ku setelah beberapa menit mengabaikan pertanyaan itu. "Sini! Ke koridor," suruhnya. Siap-siap aku berdiri lalu berjalan ke arah koridor yang tidak terlalu jauh. Setelah beberapa langkah ku ulur, bertemulah dengan seorang gadis sipit berkacamata yang agak menyebalkan itu. Ya. Diana Az Zahra. "Syahma! Acaranya udahan?" Tanya Diana seraya mengambil ponsel yang tadinya tergeletak di atas buku. "Udah, Na. Aku jadi punya keinginan untuk jadi relawan di sana kalau masih ada kesempatan dikasih umur panjang sama Allāh," akuku membuat mata sipit Diana sedikit terlihat. "Lah, kenapa deh? Gini ya— Syahma Ainurrahma, kenapa kita gak berusaha untuk memerdekakan Indonesia dari segala kekangan dulu? Indonesia kan juga butuh pemudanya," sanggah Diana dengan sangat yakin. Aku menarik napas berat seraya menatap Diana dengan ketenangan. "Iya ... aku tau, tapi Na. Walaupun Indonesia jauh dari kata merdeka secata ekonomi, tapi Indonesia jauh lebih merdeka secara agama, Liat deh, Na. Kamu bisa pake jilbab warna warni kamu tanpa ada rasa takut, tapi kalau di sana. Kamu mau shalatpun susah. Ayahku adalah seorang musafir di sana, aku bahagiaa banget! Ketika ayahku syahid. Karena nanti pasti aku ketemu orang paling tampan itu di Surga yang paling indah," jawabku. "Lalu, yang ditegakkan di sana itu bukan cuma palestina. Na, yang merdeka itu bukan cuma Palestina. Tapi Islam. Al-Aqsa, Qiblat pertama kita. Kaum muslimin," lanjutku menegaskan. Diana menarik napas lalu menyibak air mata yang mengalir menetes di pipinya. "Duh, maafin aku, Ma. Aku terlalu mikirin dunia sampe lupa ada agama yang harus ditegakkan oleh pemudanya," aku tersenyum. "Yaudah,yuk! Kita pulang," ajakku. Syahma meng iyakan.

**

Malam gelap menyelimuti Yarussalem, aku terdiam di kamar kecil belakang pasar, kediamanku di Palestina. Malam adalah waktu yang tidak pernah berasa singkat untukku. Ketakutan dan keresahan menjadi selimut yang tidak pernah tergantikan.  Tapi tidak pernah kuanggap serius, sebelum dua rudal sampai di depan halaman rumah, ketika Zionis sedang lapar-laparnya. Aku berteriak. Ibu!! Ibu!! Di mana?? Aku menangis dalam isak tangis yang sangat menyesakkan hati.

Assalamu'alaykum warahmatullaah wabarakaatuh

Ke pada saudara Syahma Ainurrahma- Perkenalkan, saya Muhammad . Teman baik ayahmu. Ayahmu baik sekali, sangat baik, dan karena kebaikannya ... Allaah sengaja mengambil ibumu kembali ke hadapanNya dalam keadaan syahid. Ayahmu terkena ledakan bom Zionis saat mencoba mengobati anak-anak palestina yang sudah tidak punya harapan untuk kembali menemukan senyumnya.

Semoga Allaah selalu menyayangi kamu, anak shalehah. Semoga Allaah tabahkan kamu.

/Palestina, 29 April 2011

**

  

Lagi-lagi, kubuka surat cinta terakhir perihal kabar ayahku. Surat yang tidak pernah membuat air mataku surut walaupun sampai kering seharusnya, ingatan yang masih terpatri dalam hati, walaupun sudah sembilan tahun aku meninggalkan Palestina. Luka yang masih belum bisa terjahit, membuatku yakin. Bahwa Allaah menaqdirkan ini bukan tanpa alasan.

Ayahku pernah bilang, jangan pernah jadi pemuda yang tidak bisa menegakkan hak-hak seseorang, harus jadi pemuda yang taat dan istiqomah dalam taqwa. Karena pemuda tanpa iman dan taqwa bagaikan gelas yang tak berisi air, bagai api yang mudah padam, bagai sekumpulan roti di tengah-tengah perut yang kenyang, tidak akan ada gunanya. Semoga suatu saat. Gadis bernama Syahma Ainurrahma tidak hanya turut hadir dalam aksi bela Palestina setiap pekannya. Aamiin.

FA•NA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang