1.1

351 30 11
                                    

Suasana siang kota Seoul dengan terik matahari yang terlihat begitu menantang tak membuat warga Korea Selatan menghentikan aktifitasnya. Lee Donghae baru saja menghentikan mesin mobil di kawasan gedung apartemen di pinggir kota Seoul.

Berbeda dengan apartemen yang berada di tengah-tengah hiruk pikuk Seoul, apartemen ini terlihat begitu sepi bahkan sangat sepi. Ya cukup sepi. Hanya mobilnya yang terparkir manis di parkiran.

Menarik nafasnya perlahan, ada rasa ragu dengan pilihannya tapi Donghae tidak punya pilihan lain. "Kita sudah sampai." ujarnya pada adik perempuannya, Lee Junhee.

Perlahan, Junhee menatap bangunan tua itu dengan tatapan "lain" dari dalam mobil hitam milik Donghae. Dirinya enggan untuk keluar dari dalam mobil. Tak ada kata yang ingin dikeluarkan oleh Junhee. Hanya tatapan tajam dan bibir yang tertutup rapat.

"Ayo..." Ajak Donghae. Kali ini Donghae membukakan pintu mobil untuk Junhee. "Kita akan tinggal di sini, Junhee..." pelannya. Terlihat jelas dirinya sedang meyakinkan Junhee-dan mungkin dirinya juga-.

Junhee terdiam. Seakan merasakan sesuatu. Sesuatu yang membuatnya ingin menjerit tapi ditahannya dengan sangat baik. "Oppa, apa kau yakin apartemen ini bagus?" Nada kawatir di sela-sela bibir Junhee. Sebisa mungkin Junhee menutupi rasa kawatir dalam dirinya dari hadapan Donghae.

Donghae tau betul isi kepala Junhee. Bibirnya tersenyum kecil. "Aku tau isi kepala mu." Ceplosnya. "Ini hanya terlihat tua dan usang dari luar tapi ini tempat yang bagus. Jangan kawatir." Ujarnya. Donghae menarik nafasnya pelan. "Ayo..." -lagi- Donghae mengajak Junhee untuk keluar dari dalam mobil.

"Apa kita tidak bisa kembali ke rumah kita?" Junhee masih tidak ingin keluar dari dalam mobil.

"Bukan kah kita sudah sepakat menjual rumah itu?" Donghae mengingatkan Junhee dengan nada tegas, berbeda dengan beberapa detik yang lalu. "Kau tau kan apartemen di kota Seoul itu barang yang mahal, tempat ini memang tua dan tak begitu mewah tapi nyaman."

Junhee masih terdiam.

"Kau tidak percaya oppa mu?"

Junhee pun pasrah. Menghela nafasnya dengan irama yang begitu frustasi. Dirinya pun keluar dari dalam mobil.

Kaki mereka berdua membawa masuk ke bangunan tua itu. Ya. Sebuah gedung apartemen tua, namun tetap bersih. Pintu lift terbuka dan ornamen yang usang ada di dalam lift. Junhee meremas tangan Donghae kencang saat ke dua bola matanya sadar akan sesuatu.

Ini bukan pertama untuk Donghae dengan reaksi adiknya. "Tenanglah, aku bersama mu, Junhee." Tangannya merangkul Junhee erat.

Pintu lift terbuka dan lantai 12 sudah ada di depan mereka. "Aigoo." Junhee memutar tubuhnya cepat dan memeluk Donghae erat.

Donghae belum pernah melihat reaksi Junhee yang seperti ini. Ini pertama kalinya Junhee memeluk dirinya begitu erat. "Jangan kawatir." Pelan suara Donghae yang terlihat mulai kawatir.

"Ehm...." Saut Junhee menarik nafasnya, masih memeluk Donghae. Mata Junhee melihat sesuatu yang tidak mampu di lihat Donghae atau pun orang lain. Ya hal itu benar-benar membuat Junhee frustasi. Tapi tak ada bisa dilakukannya selain menerima 'pemberian' atau 'kutukan' yang sudah ada pada dirinya.

"Ayo." Donghae terus menggengam tangan Junhee untuk tetap di dekat. "1202." Seru Donghae berhenti disebuah pintu bernomorkan 1202. Donghae membuka pintu itu dan kakinya sudah masuk ke dalam. Tapi tiba-tiba tertahan.

"Oppa..." Suara takut Junhee.

Donghae membalikan tubuhnya dan melihat Junhee yang sudah berkaca-kaca. Donghae pun membulat sempurna melihat lengan kiri Junhee. "Aigoo." Kagetnya.

The Secret of 1202Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang