Chapter 1 (Arthenia)

14 3 0
                                    

Sunyi, sepi, dan hening, itulah yang kurasakan saat ini. Aku termenung untuk sejenak, menatap sekeliling dan menenangkan hati ku sebentar. Sinar matahari masuk menerobos jendela kamar ku, dan menyinari seluruh kamar ku dengan sinar jingga nya. Hangat, satu kata yang bisa ku ucapkan saat itu.

Aku beranjak dari tempat tidur ku, merapikan nya, lalu mempelajari ilmu sihir. Rutinitas yang setiap hari kulakukan. Membosankan, tentu saja.

Namaku Arthenia Ravlest Vryina. Panggil saja Thenia. Aku adalah seorang penyihir yang tinggal sendiri di sebuah rumah yang merupakan peninggalan dari orangtuaku. Aku dihidupi oleh paman ku, kakak dari ibuku. yang tidak tinggal bersama ku. Dimana orangtuaku? Hilang, bagaikan ditelan bumi. Aku bahkan tidak tahu bagaimana kejadian nya mereka meninggal dan kapan hal itu terjadi. Ibuku merupakan seorang penyihir Supra Physictra, dan ayahku seorang manusia biasa.

Kini aku harus menghabiskan masa remaja ku dengan mempelajari ilmu-ilmu sihir dari sebuah buku yang diwariskan ibuku. Garis takdirku berbeda dengan ibuku. Aku adalah penyihir Atsa Chemistra.

Penyihir dibagi menjadi 3 jenis yaitu Physictra, Chemistra dan Biologtra. Selain itu, terbagi lagi menjadi 3 kelas, Compra (kelas terendah), Supra (sedang), dan Atsa (kelas tertinggi). Setiap makhluk memiliki garis takdir tersendiri, tidak pandang garis keturunan maupun lainnya. Seorang manusia bisa saja memiliki keturunan yang merupakan penyihir.

Tentu aku tidak sendirian setiap harinya. Aku cukup dianggap ramah dengan warga desa sekitarku. Tentu dengan identitas yang kututup rapat-rapat. Hanya ada satu orang yang mengetahui identitas asli ku.

Aku berjalan keluar untuk menghirup udara di pagi hari yang menyegarkan ini. Udara di desa jauh lebih sejuk dan segar dibanding di kota. Dulu aku pernah diajak paman ke kota dan hal itu membuat ku sangat tidak nyaman. Menurutku manusia-manusia di kota pasti tidak sehat organnya dengan udara yang begitu kotor.

Aku seorang Atsa Chemistra, udara yang baik untuk dihirup adalah udara yang mengandung Nitrogen dan Oksigen yang cukup. Sedangkan udara di kota sudah banyak tercemar dengan gas beracun seperti asam sulfat dan asam sulfida yang berasal dari pabrik-pabrik. Menyedihkan.

Warga sekitar tersenyum dan menyapa ku saat aku sedang menikmati udara di depan rumahku. Aku tersenyum dan membalas sapaan mereka.

"Thenia!" Suara yang tak asing di telinga ku memanggil nama ku yang membuat ku refleks menoleh ke arah sumber suara. Seorang laki-laki berbadan tinggi menghampiri ku membawa sebuah kantong kecil.

"Hai. Ada apa kemari?" Sapaku lembut. Laki-laki itu mendekatiku dan memberikan kantong kecil yang ia bawa tadi. Aku mengernyitkan dahi, menerka-nerka apa yang ada di dalamnya.

"Lyra membuatkan makanan untuk mu. Aku disuruhnya untuk mengantarkan ini padamu." Jawabnya dengan nafas yang terengah-engah. Keringat membasahi seluruh wajahnyaberhara. Aku merogoh saku celanaku, berharap menemukan sesuatu yang kucari, dan mendapatkannya. Aku mengambil beberapa tisu dan memberikannya padanya.

"Lap keringat mu itu. Sejauh itukah rumah mu dengan rumah ku Leon?" Ya, namanya Leon. Dan Lyra, adalah adik perempuannya. Lyra memang suka memasak dan memberikannya padaku untuk mencicipi nya. Aku cukup kenal baik dengan ibunya karena beliau adalah teman ibuku. Tentunya mereka adalah manusia biasa, yang mengetahui identitas asli ibuku tanpa mengetahui punya ku. Ya, mereka tidak tahu aku adalah penyihir, bahkan penyihir kelas tinggi. Sudah ku katakan bukan, tidak ada yang mengetahui identitas ku, kecuali satu orang, ibuku sendiri.

"Sebelum mengantar makanan ini, aku sedang pergi bermain sepatu roda bersama teman-teman ku. Lalu Lyra datang dan menyuruhku membawakannya padamu. Sekalian untuk bertemu dengan mu." Jelasnya panjang lebar dengan mengedipkan sebelah matanya di akhir kalimatnya. Aku menatapnya sinis, ada-ada saja kelakuan manusia di depannya ini.

"Pulanglah, sampaikan ucapan terimakasih ku pada Lyra." Ucapku singkat lalu masuk ke dalam rumah. Sebelum itu, aku sempat mendengar teriakannya yang membuat ku sedikit terkekeh.

"Jangan terlalu sinis, tidak baik buat kesehatan jiwamu." Ada-ada saja perkataan yang ia lontarkan. Aku masuk ke dalam rumah dan menuju ke dapur dan meletakkan makanan yang diberikan Leon padaku.

Kini aku memutuskan untuk mulai mempelajari ilmu sihir dengan lebih serius mengingat usia ku sudah mau memasuki angka 17. Aku mengambil tas coklat ku dan memasukkan buku bertuliskan "Livro Mágico" ke dalam nya. Mengambil jubah biru gelap ku, keluar dari rumah dan tak lupa untuk mengunci pintu.

Setibanya aku di gunung Reztrad, salah satu gunung di sebelah desa ku, gunung dimana satu-satunya tempat aku berlatih untuk menggunakan sihir ku. Manusia jarang sekali ke tempat ini, karena banyak mitos bodoh yang mengelabui pikiran mereka. Betapa dangkalnya mereka, ada mitos bahwa di sana ada sebuah danau yang teracuni dihidrogen monoksida. Tentu saja itu adalah air. Memang sih, desa ini pengetahuannya cukup terbelakang. Dan ternyata separah itu.

Setibanya di gubuk milikku yang ada di gunung ini, aku mengeluarkan buku yang kubawa itu, mempelajari dan mencoba memahaminya. Tentu ini sangat sulit bagiku, belajar sendiri tanpa ada yang mengajari. Yang kupelajari ini saja masih ilmu kelas Compra, kelas terendah. Apalagi ilmu Atsa, tidak terbayang oleh ku saat ini.

Setelah beberapa jam aku berada di sini, aku merasa ada sesuatu di depan gubuk ku. Aneh, seharusnya tidak akan ada orang disini. Adakah warga yang ternyata tidak mempercayai mitos bodoh itu? Mustahil.

Aku beranjak pelan-pelan menuju jendela kecil terdekat ku, mengintip sedikit, dan ternyata ada manusia. Habis sudah, jangan sampai aku ketahuan.

Aku keluar melalui pintu belakang gubuk ku, lalu menutup kepala ku dengan jubah biru ku, lalu pergi masuk ke dalam hutan yang ada di gunung itu.

Sepanjang perjalanan, aku terus merasa gelisah. Siapa manusia yang berani ke gunung ini? Apa yang dia inginkan? Jangan-jangan dia mengikuti ku sepanjang perjalanan menuju gubuk ini? Tidak-tidak, aku tidak boleh terlalu banyak berfikir. Tenangkan hati, lebih baik sekarang aku cepat kembali ke desa sebelum manusia itu mengetahui keberadaan ku.

Aku memberanikan diri untuk keluar dari hutan dan langsung pulang ke desa, kali ini, nasib baik berpihak padaku. Aku selamat tanpa ada yang mengetahui ku.

Secreta ImisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang