2. like a dream

7 1 0
                                    

Nelia sudah sampai di Bogor beberapa jam lalu. Kini ia tengah merebahkan badannya di atas kasur. Untuk sementara waktu, Nelia tinggal di rumah adik dari mamanya.

Sebenarnya sang mama telah menitipkan Nelia pada adiknya itu, namun Nelia menolak dengan alasan ingin mandiri. Mau bagaimana pun, mamanya tidak bisa menolak karena tekad Nelia sudah tidak bisa diganggu gugat.

Drrrttt

Ponsel pintar milik Nelia bergetar menandakan ada panggilan masuk. Nelia sangat lelah sehingga ia lebih memilih mengabaikan panggilan tersebut.

Drrrttt

Ah sepertinya ini benar-benar penting. Nelia beranjak dari kasur ke meja rias dimana ponselnya berada. Ia melihat rentetan nomor tidak dikenal yang sedang melakukan panggilan kepadanya.

"Halo?"

"Akhirnya diangkat juga."

Deg.

Nelia mengenal bias suara ini. Suara seseorang yang pernah memporak-porandakan isi hatinya.

"Apakah kau masih disana, Nelia?"

Nelia tak menjawab. Ia memilih mematikan sambungan telepon itu. Bohong kalau ia tak merindukan sosok itu. Tapi tidak untuk saat ini, Nelia hanya belum siap.

◞◞◞

Setelah kejadian tadi, Nelia memutuskan untuk pergi ke dapur mengambil jus melon di kulkas. Kerongkongannya terasa kering sekarang.

Saat Nelia sedang berada di dapur, netra matanya tak sengaja melihat sesuatu yang tak asing di ingatannya. Sebuah hiasan di pintu yang terbuat dari kayu. Tak ada hal aneh pada hiasan itu, namun Nelia tetap merasa ada hal janggal.

Memikirkan hiasan tersebut, tanpa sadar Nelia melamun dengan badan tersender di pintu kulkas.

"Hei, ngapain lu ngelamun disini? Kesambet mampus dah," ucap Arga sambil mendorong pelan bahu Nelia.

"Eh ayam poligami."

Arga tertawa terbahak-bahak. Entahlah, padahal itu tidak lucu.

"Ish, lu mah ngagetin. Gue lagi minum jus, mau?" tawar Nelia sambil menyodorkan segelas jus di tangannya.

Arga menggeleng, "Gausah, bosen gue minum jus melon mulu."

Nelia membulatkan bibirnya mendengar kalimat dari Arga.

"Btw, ikut gue jalan-jalan yuk? Lu kan udah lama ga kesini, pasti kangen suasana sini 'kan?"

Nelia bersorak senang, "Ih ayo, dari tadi gitu kek ngajak jalan-jalan daripada gue gabut sendirian disini."

Arga mengusak rambut Nelia, "Siap-siap sana, gue tunggu di gerbang."

Setelah menyetujui ajakan Arga, Nelia segera berlari ke kamarnya untuk mengambil tas dan ponsel. Tidak perlu mandi atau ganti baju, ia baru saja mandi setelah sampai di rumah tadi.

𖤐𖤐𖤐

Langit sudah berhiaskan awan gelap. Terdengar gemuruh di kejauhan. Rintik air sedikit demi sedikit mulai menetes di atas jalanan. Bulan pun telah siap menerangi malam.

Nelia dan Arga sudah berkeliling kota Bogor—masih di area komplek Arga, sejak matahari bersinar terik hingga sang mentari kembali ke sarangnya. Mereka bergandengan tangan seolah pasangan romantis di film bergenre drama remaja.

Hey, mereka itu saudara. Jangan berpikiran mereka saling mencintai layaknya pria dan wanita.

"Ga, capek," sungut Nelia dengan wajah cemberut.

"Kasian. Lu duduk dulu, gue mau beli nasi goreng buat bunda di rumah," sahut Arga.

Nelia mengangguk pelan. Ia sangat lelah. Bagaimana tidak, Arga benar-benar mengajaknya jalan dalam artian sesungguhnya. Awalnya ia pikir mereka akan berkeliling dengan kendaraan, nyatanya tidak.

Arga sudah pergi ke penjual nasi goreng. Kini hanya Nelia sendiri yang terduduk di kursi taman. Penglihatannya bergerak kesana-kemari mengamati masyarakat yang lalu-lalang di depannya. Tak ada yang menarik baginya.

Hingga pergerakan matanya terhenti pada satu objek. Seorang lelaki yang tengah difoto di depan gerbang komplek. Menatap dengan lamat, Nelia melebarkan bola matanya. Ia terkejut, benar-benar terkejut. Rasanya seperti mimpi, entah ini mimpi indah ataupun mungkin mimpi buruk.

⌒ . ⌒⌒ . ⌒

©hembusan rasa

hembusan rasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang