Ayah bekerja sebagai petani, ibu juga bekerja ikut suami. Sedangkan aku pulang sekolah langsung kekebun untuk membantu pekerjaan ayah dan ibu.
Aku sering menjual sayur-mayur hasil kebun yang orang tua ku tanami. Pulang dari sekolah kegiatan itu tak pernah absen dilakukan selama masa sekolah SMA. Mendekati ujian kelulusan aku diminta untuk fokus belajar agar aku lulus sekolah. Yang aku lakukan selalu aku bermenung dikala ada rasa bully dari teman-teman sejawat ku. Karena seorang anak usia remaja di tuntut untuk bekerja sebagai posisi orang dewasa. Pekerjaan yang di lakukan, yang aku kerjakan tak pernah aku merasa terasingkan, tersisihkan, dan di diamkan oleh teman-teman ku. Karena prinsip setiap insan yang Tuhan ciptakan kepada kita sebagai manusia berbeda-beda pandangan. Tak lain dan tak bukan seperti aku. Prinsip ku, hidup satu kali, matipun juga satu kali.
Selagi kita tidak membebankan hidup seseorang, merisaukan seseorang, kenapa kita harus malu dan pilu di naluri.
Selama masa SMA, selama masa itu menjadi benalu dan pilu di naluri ku. Selalu aku termenung dan bermunajat pada Tuha yang Maha Esa semakin usia ku bertambah semakin aku merasa kalau kedua orang tua ku sudah mau lansia. Khususya ayah sudah berusia 73 tahun sedangkan ibu berusia 54 tahun.
Sejak mendekati kelulusan SMA ibu dan ayah selalu bertanya pada ku. Kenapa ? Bagaimana? dan dimana untuk kedepan yang aku tempu dalam kehidupan yang mendatang. Ayah tidak pernah mengizinkan diri ini untuk berjauhan darinya sedangkan ibu terserah pada anaknya.
Sekarang dan kedepan termendung di tepi pohon di kebun. Aku menghadap kelangit disaat cuaca yang mendukung sore hari dan malamnya aku bermunajat kepada Tuhan yang maha Esa. Berikan yang terbaik untuk diri ku dan orang-orang di sekitar ku dalam mengambil keputusan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ikhlas Demi Cinta
Non-FictionKeinginan bertolak belakang dengan Kebutuhan. Cerita kehidupan yang membawa pelajaran akan menuju Kejayaan atapun keterpurukan