Suara celotehan dan tawa anak-anak yang sedang asyik bermain pasir di depannya terdengar bagai lagu indah. Membuatnya betah berlama-lama meski dia tahu, akan ada orang yang sangat khawatir jika dirinya tidak segera pulang. Sudah lebih sejam dia duduk di bangku kayu di taman kota, tak jauh dari kediaman Williams, tempat tinggalnya kini. Memandangi kelucuan anak-anak yang sering kali berkumpul di sana, bermain.
Ada kerinduan yang menyesakkan dada. Kerinduan yang dia tidak tahu berasal dari mana.
Sebuah bola plastik kecil warna-warni melayang ke arahnya. Dengan sigap, ditangkapnya bola itu. Tak berapa lama, seorang gadis kecil berbaju pink dan berkucir dua berlari ke arahnya.
Gadis kecil berusia sekitar tiga tahun itu menatap ragu. Hendak meminta kembali bolanya namun tak tahu apa yang harus dia ucapkan.
"Ini bolamu?" Vanya tersenyum seraya membungkuk. Mensejajarkan kepalanya dengan tinggi badan gadis kecil itu.
Kepala berkuncir di depannya mengangguk pelan. Vanya melebarkan senyumnya. Disodorkannya bola itu yang langsung disambut gembira oleh si gadis kecil.
"Telimakaciii" senyum riang mengembang di wajah mungilnya yang manis.
"Sama-sama," angguk Vanya. "Siapa namamu, Manis?"
"Elika!" jawabnya lucu.
Deg!! Vanya merasakan hentakan halus di dadanya.
(Erika. Ayo, sayang. Sudah main airnyaa!!)
Bayangan itu melintas cepat bagai meteor. Lalu menghilang.
Apa tadi?
Vanya terengah, merasa dadanya tiba-tiba sesak.
Dipandanginya punggung gadis kecil bernama Erika itu yang kini kembali ke tengah area bermain.
Kerinduan kembali kental terasa. Gadis itu menunduk, memandangi kakinya yang terbalut sepasang sandal wedges.
E ~ RI ~ KA....
Pelan diejanya nama yang kini begitu mengusik hati.
Kakinya tanpa sadar mengikuti, menggoreskan nama itu di pasir yang kini dipijaknya.
"Erika~Erika~Erika," bisiknya berulang-ulang. Tiba-tiba saja kesedihan teramat sangat menyergap hatinya.
Vanya tersentak saat setetes air mata melompat ke pipi.
Apa ini? Kenapa rasanya begitu sakit?
Tak kuasa lagi menahan kesedihan yang terasa begitu menyakitkan, air mata bercucuran tanpa dapat dicegah. Mati-matian dirinya berusaha menghentikan airmata, namun rupanya, matanya tidak mau lagi menuruti perintah otaknya.
Apa yang sudah terjadi padaku? Siapa Erika? Mengapa rasanya begini menyakitkan mengingat nama itu?
Gadis itu mulai terisak. Menekan dadanya untuk meredakan rasa sakit yang menghujam di sana.
"Vanya?"
Sebuah suara bariton membuatnya mengangkat wajah. Seraut wajah tampan nampak sedang memandangnya penuh kekhawatiran,
"Vanya, kau kenapa?" Bram berjongkok untuk meraih lengan gadis itu yang tertangkup di pangkuannya. "Apakah kau sakit? Kepalamu pusing lagi?" Bram bertanya dengan cemas melihat betapa pucatnya wajah Vanya.
Vanya menggeleng. Gadis itu berusaha menahan isakannya.
"Bram ," mata bulatnya nampak berkilau oleh air mata. " Siapakah Erika?"
Deg!!!
Jantung Bram seketika melompat ke leher.
"Erika. Siapakah dia? Apakah~aku pernah mengenal seseorang bernama Erika? Mengapa~mendengar nama itu hatiku menjadi sangat sakit?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Love
Romance(Sekuel One More Chance) Dari Lover Concerto: " Aku sedang jatuh cinta. Rasanya sakit sekali. Tapi aku ingin merasakan sakit selamanya."