5.0: I See You

64 12 0
                                    

[Warning!]
[17+]
[Bloody flashback, abuse, dumbness, silly]


Author POV-

Pemuda itu masih setia ditempatnya. Di balik pohon maple yang kokoh, ia menyandarkan bahunya lelah. Mencoba bernapas sedikit melalui mouth guard nya, sesekali melirik ke arah jendela lantai dua kamar gadis itu.

Tak mengapa jika ia disebut penguntit amatiran. Gadis itu merebut hatinya. Kehidupan yang tak jauh berbeda, dengan dirinya.

Ia tak suka jika melihat gadis itu termenung. Menahan tangisnya. Sembari memasang wajah datar tanpa ekspresi kesemua orang.

Pemuda itu rindu senyuman gadisnya. Gadis kecil yang dulu tak sengaja bertatapan dengannya saat mengobrol dengan Pak Tua penjual senjata. Ada sesuatu yang membius di balik tatapannya. Ia tak mengerti.

Kehidupan keras yang telah lama dijalani, penuh darah, tangis, dan teriakan orang-orang penuh dosa. Gadis itu berada di dalam lingkungan orang-orang itu. Ia ingin melindunginya, sangat amat ingin.

Tapi, ia tahu. Jauh di dalam lubuk hati dan pikiran gadis itu, pasti. Ada rasa lelah. Lelah diperlakukan tak mengenakan, lelah diperlakukan seperti budak, dan terkecilkan. Ia tahu. Suatu saat, itu akan terjadi.

Titik jenuh gadis itu. Tak berbeda jauh dengan dirinya.


•••


Toby POV-

“Hey Masky, Masky, Masky, Masky, Masky, Masky, Masky, Masky, Masky, Masky,” sapaku tanpa henti. Dapat dipastikan, dibalik topeng putihnya Masky sedang menampilkan wajah masam. Tak suka dengan panggilan yang terdengar agak ribut ini.

Dia menoleh malas. Bertanya ada apa, ku sahut saja tidak ada apa-apa. Ya karena, memang tidak ada apa-apa, sih. Hehe.

“Hoody, bagaimana calon victim kita? Masih sering lewat depan hutan pinus itu?” tanya Masky pada Hoody yang sibuk dengan resleting celananya yang tidak mau menutup.

“Hah? Eh, iya. Masih, kok. Tapi sepertinya ia sering membawa anaknya kesitu. Agak berbahaya kalau kita menyerangnya tiba-tiba seperti rencana kemarin. Anaknya masih terlalu kecil dan tidak berdosa, aku kasihan jika dia melihat Ayahnya terpotong-potong di depan hidungnya,” celoteh Hoody masih terfokus dengan celana yang di pakainya.

Ah, mereka membosankan. Tak ada pembahasan lain selain, victim, victim, dan victim lagi. Terlalu repot-repot bekerja. Tinggal 'sret' gitu saja, kan, selesai. Repot sekali harus sampai membahas anaknya segala.

“Aku akan berkeliling mansion sebentar. Kalian membosankan. Di hari libur pun masih membahas victim. Huh,” cetusku. Mereka masih sibuk dengan pembahasan itu, dan Hoody masih belum bisa menutup resleting nya. Padahal dari tiga hari yang lalu resleting itu terbuka, dia masih hidup saja.

Tok tok tok tok…

“Hei, Ben! Kau di dalam?” panggilku. Kamar dengan pintu hijau ini—mungkin lumutan, agak menyeramkan jika dilihat sepintas. Seperti pintu kapal yang habis karam. Heh, bukannya si bocil itu memang tenggelam, ya?

Tak ada yang menyahut. Hanya ada seperti suara ketikan keyboard. Hah, apa-apaan, terlalu freak dengan komputer. Dasar anak TK pervert. Mungkin dia sedang berkomentar di website porno.

BLAM!

Ku buka pintu itu agak kasar, menampilkan seorang gadis kurus tinggi dengan rambut hitam sepinggang. Ia duduk di sebuah kursi dengan komputer menyala di depannya. Berada di kamar yang sedikit pencahayaan seperti itu, membuatnya terlihat seperti kuntilanak.

Partner || Ticci TobyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang